Kamis, Juni 21, 2012

Bicara dengan angka



Aku dan dia sungguh beda. Aku yang suka bermain dengan huruf, merangkai huruf menjadi kalimat dan ucapan, kadang tidak nyambung dengan dia yang lebih suka mengungkapkan dengan data dan angka. Dia umek dengan rumus dan probabilitas, aku sibuk dengan gesture, ungkapan, bahkan kadang dengan komunikasi antar personal. Sibuk menterjemahkan bahasa gesture dan non verbalnya....h h h h h .....

 Sungguh menjengkelkan, akhirnya aku benar-benar berkomunikasi dengan diriku sendiri, sibuk meng-gesture dirinya. Dia bicara memakai kuping... tapi tanpa reaksi. Dia lebih memakai bahasa non verbal, bahasa isyarat, bahasa gesture. Menunjuk, mengangguk, menggeleng atau angkat bahu. Kadang malah tidak ada reaksi..... alamaaaaakkk puyeng kepalaku.

Tempo hari ketika ponakan, putra mbarep kakak yang di Kendari ndaftar ikut tes di ITS ambil jurusan statistik dan juga tes di Unair ambil manajemen. Ndilalah, dua-duanya ketrima. Lantas kita-kita ini diajak urun rembug sama bapaknya, mana yang sebaiknya dimasuki. Mbakyu-ku, suamiku dan adikku menyarankan masuk di ITS saja. Ini berarti  yang diambil adalah statistik. Lantas aku kasih pandangan berbeda sama si ponakan'an ini.

"Nis (namanya Anis),  kamu lihat Om Dwi, lulusan statistik to? Bulek udah kumpul dengan Om-mu ini hampir 20 tahun, tapi lihat sikapnya... jadi aneh. Dia gak pernah ngomong, sibuk dengan internet dan angka, sibuk dengan grafik. Sibuk dengan dunianya sendiri, gak pernah ngreken bulek. Kalau bulek ajak bicara wajahnya jadi aneh. Kalau bulek tanya gak njawab.  Untung bulek ini sabar.  Ini gara-gara dia berkutat dengan rumus dan angka, berkutat dengan probabilitas, dan random. Kamu mau jadi kayak begitu?. Mas Dwi, bojoku,  
yang dengar  cuma senyam senyum. Mbencekno.



 
"Terus Nis", lanjutku. "Kamu lihat Bulek Wiwik? Lulusan statistik to, apa yang dia lakukan? Melakukan penelitian melulu, sibuk dengan dirinya sendiri. Sampai gak tahu kalau anaknya ga pulang, gak tahu anaknya udah makan apa belum, kadang sampe kelaparan. Kalau ambil rapot bulek Puri yang ambil rapot anak-anaknya. Bulek Wiwik ini selalu mengukur sesuatu dengan untung rugi, mana yang menguntungkan dia ambil, kalau perlu dengan segala cara sampai titik darah penghabisan. Semangat puoll kalau ngejar duit. Ini karena diotaknya ada rumusan dan hitungan statistik" kataku. Mbak Wik tertawa keras mendengar aku mendiskrpsikan dirinya. 

"Nah Nis, kamu lihat Om Yoyok. Lulusan statistik juga to?  Lihat dia gak pernah pulang. Bulek Aris cuma jadi satpam di rumah, saking seringnya ditinggal Om Yoyok keliling Indonesia melakukan penelitian. Pulang paling cuma seminggu, setalah itu pergi lagi. Di rapot anaknya tertulis pekerjaan Om Yoyok itu Peneliti. Di keluarga besar ini ada 3 manusia yang lulusan statistik, semua  mirip-mirip tingkah lakunya, sibuk dengan dunianya sendiri berkutat dengan angka dan rumus. Masak kamu akan nambahi Nis?" Kataku.

Setelah merenung sejenak, Anis bilang "Yo wis bulek, aku ikut saran bulek masuk Unair saja" katanya seraya toss denganku. "Horeeeeee" aku teriak kegirangan.

Satu lagi Nis, "Kalau bisa ya... kalau bisa jangan kawin dengan orang statistik... coba tanya bulek Aris itu. Wis bulek aja sama tante Aris yang ngalami" Dik Aris tertawa lebar. Bojoku Mas Dwi mecucu.



Aku yakin tidak semua orang statistik kayak Mas Dwi, yang diem cuek bebek. Tapi aku kan juga kadang butuh teman bicara, teman diskusi. Masak mau ngomong dengan dia kudu mikir dulu, cari kalimat yang tidak berupa pertanyaan yang jawabannya ya atau tidak. Masalahnya kalau aku bertanya sesuatu yang jawabannya ya atau tidak, dia cuma menggeleng atau mengangguk. Bayangkan kalau aku ga lihat dia, aku kan gak tahu apa jawabannya. Kadang jawabannya malah mengangkat bahu... duuhhhh ...!!!