Senin, April 27, 2009

FLU dan DOKTER

Selasa, minggu lalu badan saya benar-benar membunyikan alarm. Alarm itu berupa rasa mual, dan badan panas, serta tenggorokkan kering. Malam harinya rasa panas mendera menjadikan saya tanpa sadar mengigau, memanggil nama almarhum Bunda... Pagi harinya saya izin kantor untuk istirahat di rumah.

Saya termasuk salah satu manusia yang malas pergi ke dokter, jika itu menyangkut kondisi atau kesehatan saya sendiri. Tapi untuk orang lain, saya paling cerewet mengajak untuk ke dokter. Tapi karena rasa panas di tenggorokkan dan suara saya sudah mendekati serak-serak mendesah, alias hampir hilang karena batuk yang tidak berhenti, maka terpaksa pagi itu saya berkunjung ke dokter di medical center ITS.

Setelah ditanya apa yang saya keluhkan, mulailah dokter memeriksa tenggorokkan dengan menyenter sak- klebatan... kemudian mengeluarkan stetoskop sekedar menempelkan di dada, semua berlangsung hanya hitungan detik!

Setelah itu baru dia menuliskan resep, sambil bilang "Hanya radang tenggorokan". Dia menulis resep sebanyak 5 macam, tanpa memberitahu obat apa saja, dan kapan harus diminum. Saya sebetulnya ingin menanyakan, karena berhubungan dengan tubuh saya... tapi melihat kesan pelit bicara, dan tampak terburu-buru dan tidak ramah, maka saya urungkan keinginan bertanya.

Ketika saya menuju tempat pembelian obat yang satu lokasi dengan medical center ini, barulah saya menanyakan kepada petugas di sana. Dari penjelasan Mas penerima resep dokter inilah baru saya tahu bahwa jenis obat yang diresepkan untuk saya diantaranya obat flu, alergi, panas, antibiotic, dan obat batuk.

Saya heran, kenapa pada jaman seperti ini masih saja ada dokter yang pelit bicara dan tidak ramah. Apa karena hanya sakit flu saja, maka dokter ini merasa tidak perlu memberi penjelasan obat apa yang harus dan wajib dihabiskan, bagaimana efek samping obat yang saya minum (saya jadi ngantuk, mual dsb), apakah ada tanda-tanda jika saya alergi atau tidak cocok dengan obat yang diresepkan itu? Semua info yang harusnya dijelaskan kepada pasien, tidak saya terima sama sekali. Barangkali saya yang memang cerewet dan merasa sudah membayar, maka merasa mokong untuk tahu..

Akhirnya saya hanya membeli obat batuknya saja... sambil makan soto daging yang panas. Lumayan melegakan perut dan tenggorokkan.