Jumat, Desember 10, 2010

SALEH DAN MALU



Dikutip dari Buku Kang Sejo Melihat Tuhan oleh Mohammad Sobary
Beruntung, saya pernah mengenal tiga orang saleh. Ketiganya
tinggal di daerah yang berbeda, sikap dan pandangan agamis
mereka berbeda, dan jenis kesalehan mereka pun berbeda.
Saleh pertama di Klender, orang Betawi campuran Arab. Ia
saleh, semata karena namanya. Orang menyukainya karena ia
aktif siskamling meskipun bukan pada malam-malam gilirannya.
Orang kedua, Haji Saleh Habib Farisi, orang Jawa. Agak aneh
memang, Habib Farisi sebuah nama Jawa. Tapi ia saleh dalam
arti sebenarnya. Minimal kata para anggota jamaah masjid
kampung itu.
Jenggotnya panjang. Pici putihnya tak pernah lepas. Begitu
juga sarung plekat abu-abu itu. Tutur katanya lembut,
seperti Mas Danarto. Ia cekatan memberi senyum kepada orang
lain. Alasannya: “senyum itu sedekah”.
Kepada anak kecil, ia sayang. Hobinya mengusap kepala
bocah-bocah yang selalu berisik pada saat salat jamaah
berlangsung. Usapan itu dimaksudkan agar anak-anak tak lagi
bikin gaduh. Tapi bocah tetap bocah. Biar seribu kali kepala
diusap, ribut tetap jalan. Seolah mereka khusus dilahirkan
buat bikin ribut di masjid.
“Ramai itu baik saja,” katanya sabar, (ketika orang-orang
lain pada marah), “karena ramai tanda kehidupan,” katanya
lagi. “Lagi pula, kita harus bisa salat khusyuk dalam
keramaian itu.”
Mungkin ia benar. Buktinya ia betah berjam-jam zikir di
masjid. Sering salatnya sambung-menyambung tanpa terputus
kegiatan lain. Selesai magrib, ia tetap berzikir sambil
kepalanya terangguk-angguk hingga isya tiba.
Jauh malam, ketika semua orang masih lelap dalam mimpi
masing-masing, ia sudah mulai salat malam. Kemudian zikir
panjang sampai subuh tiba.
Selesai subuh, ia zikir lagi, mengulang-ulang asmaul husna
dan beberapa ayat pilihan sampai terbit matahari, ketika
salat duha kemudian ia lakukan. Pendeknya, ia penghuni
masjid.
Tidurnya cuma sedikit. Sehabis isya, ia tidur sekitar dua
jam. Kemudian, selesai salat duha, tidur lagi satu jam.
Selebihnya zikir, zikir, zikir…. Pas betul dengan
nama-nama yang disandangnya. Dasar sudah saleh, plus Habib
(nama sufi besar), ditambah Farisi (salah seorang sahabat
Nabi).
Kalau kita sulit menemui pejabat karena banyak acara, kita
sulit menemui orang Jawa ini karena ibadahnya di masjid
begitu padat.
Para tetangga menaruh hormat padanya. Banyak pula yang
menjadikannya semacam idola. Namun, ia pun punya kekurangan.
Ada dua macam cacat utamanya. Pertama, kalau dalam salat
jamaah tak ditunjuk jadi imam, ia tersinggung. Kedua, kalau
orang tak sering “sowan” ke rumahnya, ia tidak suka karena
ia menganggap orang itu telah mengingkari eksistensinya
sebagai orang yang ada di “depan”.
“Apakah ia dengan demikian aktif di masjid karena ingin
menjadi tokoh?” Hanya Tuhan dan ia yang tahu.
Pernah saya berdialog dengannya, setelah begitu gigih
menanti zikirnya yang panjang itu selesai. Saya katakan
bahwa kelak bila punya waktu banyak, saya ingin selalu zikir
di masjid seperti dia. Saya tahu, kalau sudah pensiun, saya
akan punya waktu macam itu.
“Ya kalau sempat pensiun,” komentarnya.
“Maksud Pak Haji?”
“Memangnya kita tahu berapa panjang usia kita? Memangnya
kita tahu kita bakal mencapai usia pensiun?”
“Ya, ya. Benar, Pak Haji,” saya merasa terpojok
“Untuk mendapat sedikit bagian dunia, kita rela menghabiskan
seluruh waktu kita. Mengapa kita keberatan menggunakan
beberapa jam sehari buat hidup kekal abadi di surga?”
“Benar, Pak Haji. Orang memang sibuk mengejar dunia.”
“Itulah. Cari neraka saja mereka. Maka, tak bosan-bosan saya
ulang nasihat bahwa orang harus salat sebelum disalatkan.”
Mungkin tak ada yang salah dalam sikap Pak Haji Saleh. Tapi
kalau saya takut, sebabnya kira-kira karena ia terlalu
menggarisbawahi “ancaman”.
Saya membandingkannya dengan orang saleh ketiga. Ia juga
haji, pedagang kecil, petani kecil, dan imam di sebuah
masjid kecil. Namanya bukan Saleh melainkan Sanip. Haji
Sanip, orang Betawi asli.
Meskipun ibadahnya (di masjid) tak seperti Haji Saleh, kita
bisa merasakan kehangatan imannya. Waktu saya tanya, mengapa
salatnya sebentar, dan doanya begitu pendek, cuma melulu
istighfar (mohon ampun), ia bilang bahwa ia tak ingin minta
aneh-aneh. Ia malu kepada Allah.
“Bukankah Allah sendiri menyuruh kita meminta dan bukankah
Ia berjanji akan mengabulkannya?”
“Itu betul. Tapi minta atau tidak, kondisi kita sudah dengan
sendirinya memalukan. Kita ini cuma sekeping jiwa telanjang,
dari hari ke hari nyadong berkah-Nya, tanpa pernah memberi.
Allah memang mahapemberi, termasuk memberi kita rasa malu.
Kalau rezeki-Nya kita makan, mengapa rasa malu-Nya tak kita
gunakan?” katanya lagi.
Bergetar saya. Untuk pertama kalinya saya merasa malu hari
itu. Seribu malaikat, nabi-nabi, para wali, dan orang-orang
suci –langsung di bawah komando Allah– seperti serentak
mengamini ucapan orang Betawi ini.
“Perhatikan di masjid-masjid, jamaah yang minta kepada Allah
kekayaan, tambahan rezeki, naik gaji, naik pangkat. Mereka
pikir Allah itu kepala bagian kepegawaian di kantor kita.
Allah kita puji-puji karena akan kita mintai sesuatu. Ini
bukan ibadah, tapi dagang. Mungkin bahkan pemerasan yang tak
tahu malu. Allah kita sembah, lalu kita perah rezeki dan
berkah-Nya, bukannya kita sembah karena kita memang harus
menyembah, seperti tekad Al Adawiah itu,” katanya lagi.
Napas saya sesak. Saya tatap wajah orang ini baik-baik.
Selain keluhuran batin, di wajah yang mulai menampakkan
tanda ketuaan itu terpancar ketulusan iman. Kepada saya,
Kong Haji itu jadinya menyodorkan sebuah cermin. Tampak di
sana, wajah saya retak-retak. Saya malu melihat diri
sendiri. Betapa banyak saya telah meminta selama ini, tapi
betapa sedikit saya memberi. Mental korup dalam ibadah itu,
ternyata, bagian hangat dari hidup pribadi saya juga.

Hijrah dan Kultus Individu


Ditulis ulang dari  Komunitas Kenduri Cinta  Emha Ainun Nadjib

Tidak ada satu peristiwa apa pun dalam kehidupan yang dihuni oleh manusia ini yang tidak bersifat hijrah. Seandainya pun ada benda yang beku, diam dan seolah sunyi abadi: ia tetap berhijrah dari jengkal waktu ke jengkal waktu berikutnya.

Orang jualan bakso menghijrahkan bakso ke pembelinya, dan si pembeli menghijrahkan uang ke penjual bakso. Orang buang ingus, buang air besar, melakukan transaksi, banking, ekspor impor, suksesi politik, revolusi, apapun saja, adalah hijrah.

Tidak ada satu peristiwa apa pun dalam kehidupan yang dihuni oleh manusia ini yang tidak bersifat hijrah. Seandainya pun ada benda yang beku, diam dan seolah sunyi abadi: ia tetap berhijrah dari jengkal waktu ke jengkal waktu berikutnya.

Inti ajaran Islam adalah hijrah. Icon Islam bukan Muhammad, melainkan hijrah. Muhammad hanya utusan, dan Allah dulu bisa memutuskan utusan itu Darsono atau Winnetou, tanpa ummat manusia men-demo Tuhan kenapa bukan Muhammad. Oleh karena itu hari lahirnya Muhammad saw. tidak wajib diperingati. Juga tidak diletakkan sebagai peristiwa nilai Islam. Hari lahir Muhammad kita ingat dan selenggarakan peringatannya semata-mata sebagai peristiwa cinta dan ucapan terima kasih atas jasa-jasanya melaksanakan perintah Tuhan.

12 Rabiul Awal bukan hari besar Islam sebagaimana Natal bagi ummat Kristiani. Sekali lagi, itu karena Islam sangat menghindarkan ummatnya dari kultus individu. Wajah Muhammad tak boleh digambar. Muhammad bukan founding father of islam. Muhammad bukan pencipta ajaran, melainkan pembawa titipan. Tahun Masehi berdasarkan kelahiran Yesus Kristus, sementara Tahun Hijriyah berdasarkan peristiwa hijrah Nabi, yang merupakan momentum terpenting dari peta perjuangan nilainya. Kesadaran hijriyah menghindarkan ummat dari penyembahan individu, membawanya menyelam ke dalam substansi ajaran -- siapa pun dulu yang diutus oleh Tuhan untuk membawanya.

Hijrah adalah pusat jaring nilai dan ilmu. Dari gerak dalam fisika dan kosmologi hingga perubahan dan transformasi dalam kehidupan sosial manusia. Manusia Muslim tinggal bersyukur bahwa wacana dasar hijrah sedemikian bersahaja, bisa langsung dipakai untuk mempermatang cara memasak makanan, cara menangani pendidikan anak-anak, cara mengurus organisasi dan negara.

Hijrah Muhammad saw. dan kaum Anshor ke Madinah, di samping merupakan pelajaran tentang pluralisme politik dan budaya, juga bermakna lebih esoterik dari itu.

Peristiwa Isra' Mi'raj misalnya, bisa dirumuskan sebagai peristiwa hijrah, perpindahan, atau lebih tepatnya transformasi, semacam proses perubahan atau 'penjelmaan' dari materi ke (menjadi) energi dan ke (menjadi) cahaya.

Sebenarnya sederhana saja. Kalau dalam ekonomi: uang itu materi, kalau diputar atau digerakkan atau 'dilemparkan' maka menjadi enerji. Itu kejadian isro' namanya. Tinggal kemudian enerji ekonomi itu akan digunakan (dimi'rajkan) untuk keputusan budaya apa. Kalau sudah didagangkan dan labanya untuk beli motor: motornya dipakai untuk membantu anak sekolah atau sesekali dipakai ke tempat pelacuran.

Di dalam teknologi, tanah itu materi. Ia bisa ditransformasikan menjadi genting atau batu-bata. Logam menjadi handphone, besi menjadi tiang listrik, atau apapun. Tinggal untuk apa atau ke mana mi'rajnya.

Peristiwa isro' bergaris horisontal. Negara-negara berteknologi tinggi adalah pelopor isro' dalam pengertian ini. Pertanyaannya terletak pada garis vertikal tahap mi'raj sesudahnya. Kalau vertikal ke atas, berarti transform ke atau menjadi cahaya. Artinya produk-produk teknologi didayagunakan untuk budaya kehidupan manusia dan masyarakat yang menyehatkan jiwa raga mereka dunia akhirat. Kalau garis vertikalnya ke bawah, berati transform ke atau menjadi kegelapan. Mesiu Cina diimport ke Eropa menjadi peluru, meriam dan bom. Kita bisa dengan gampang menghitung beribu macam produk teknologi isro' pemusnah manusia, perusak mental dan moral masyarakat.

Dalam pengertian umum dan baku selama ini, Isra' Mi'raj selain merupakan peristiwa besar dalam sejarah, namun pada umumnya berhenti sebagai wacana dongeng, dan belum digali simbol-simbol berharganya atas idealitas etos tranformatif.

Dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan rumus di atas, segala sesuatu yang menyangkut kehidupan manusia-baik di bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan sebagainya-terjadi secara berputar membentuk bulatan. Yang sehari-hari sajapun: badan kita (materi), tentu, jika tidak diolah-ragakan (dienergikan), mengakibatkan tidak sehat. Tidak sehat adalah kegelapan.

Setelah badan kita sehat dan menyehatkan, lantas dipergunakan untuk kegiatan yang baik, yang memproduk cahaya bagi batin kehidupan kita, serta bermanfaat seoptimal mungkin bagi sesama manusia dan alam-lingkungan.


HARLAH, NATAL, DAN MAULID



Ditulis ulang dari tulisan  Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Menggunakan ketiga kata di atas dalam satu napas tentu banyak membuat
orang marah. Seolah-olah penulis menyamakan ketiga peristiwa itu
karena bagi kebanyakan Muslimin, satu dari yang lain sangat berbeda
artinya.

Harlah (hari lahir) digunakan untuk menunjuk pada saat kelahiran
seseorang atau sebuah institusi.Dengan demikian, ia memiliki "arti
biasa" yang tidak ada kaitannya dengan agama. Sementara bagi
Muslimin, kata Maulid selalu diartikan saat kelahiran Nabi Muhammad
SAW.

Kata Natal bagi kebanyakan orang, termasuk kaum Muslimin dan terlebih-
lebih umat Kristen, memiliki arti khusus yaitu harikelahiran Isa Al-
Masih.

Karena itulah, penyamaannya dalam satu napas yang ditimbulkan oleh
judul di atas dianggap "bertentangan" dengan ajaran agama. Karena
dalam pandangan mereka, istilah itu memang harus dibedakan satu dari
yang lain. Penyampaiannya pun dapat memberikan kesan lain, dari yang
dimaksudkan oleh orang yang mengucapkannya.

Natal, yang menurut arti bahasanya adalah sama dengan kata harlah,
hanya dipakai untuk Nabi Isa al-Masih belaka. Jadi ia mempunyai arti
khusus, lain dari yang digunakan secara umum -seperti dalam bidang
kedokteran, seperti perawatan prenatal yang berarti "perawatan
sebelum kelahiran". Yang dimaksud dalam peristilahan 'Natal' adalah
saat Isa Al-Masih dilahirkan ke dunia oleh "perawan suci" Maryam.
Karena itulah ia memiliki arti tersendiri, yaitu saat kelahiran anak
manusia bernama Yesus Kristus untuk menebus dosa manusia. Karena kaum
Nasrani mempercayai adanya dosa asal. Anak manusia yang bernama Yesus
Kristus itu sebenarnya adalah anak Tuhan, yang menjelma dalam bentuk
manusia, guna memungkinkan "penebusan dosa" tersebut.

Sedangkan Maulid adalah saat kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pertama
kali dirayakan kaum Muslimin atas perintah Sultan Shalahuddin al-
Ayyubi dari Dinasti Mamalik yang berkebangsaan Kurdi itu. Dengan
maksud untuk mengobarkan semangat kaum Muslimin, agar menang dalam
Perang Salib (crusade), maka ia memerintahkan membuat peringatan hari
kelahiran Nabi Muhammad tersebut, enam abad setelah Rasulullah wafat.
Peristiwa Maulid itu hingga kini masih dirayakan dalam berbagai
bentuk, walaupun Dinasti Sa'ud melarangnya di Saudi Arabia. Karya-
karya tertulis berbahasa Arab banyak ditulis dalam puisi dan prosa
untuk "menyambut kelahiran" itu.

Karenanya dua kata (Natal dan Maulid) yang mempunyai makna khusus
tersebut, tidak dapat dipersamakan satu sama lain, apa pun juga
alasannya. Karena arti yang terkandung dalam tiap istilah itu masing-
masing berbeda dari yang lain, siapapun tidak dapat membantah hal ini.
Sebagai perkembangan "sejarah ilmu", dalam bahasa teori Hukum Islam
(fiqh) kedua kata Maulid dan Natal adalah "kata yang lebih sempit
maksudnya, dari apa yang diucapkan" (yuqlaqu al'am wa yuradu bihi al-
khash). Hal ini disebabkan oleh perbedaan asal-usul istilah tersebut
dalam sejarah perkembangan manusia yang sangat beragam itu. Bahkan
tidak dapat dimungkiri, bahwa kata yang satu hanya khusus dipakai
untuk orang-orang Kristiani, sedangkan yang satu lagi dipakai untuk
orang-orang Islam.

Natal, dalam kitab suci Alqur'an disebut sebagai "yauma wulida" (hari
kelahiran, yang secara historis oleh para ahli tafsir dijelaskan
sebagai hari kelahiran Nabi Isa, seperti terkutip: "kedamaian atas
orang yang dilahirkan (hari ini)" (salamun yauma wulid) yang dapat
dipakaikan pada beliau atau kepada Nabi Daud.
Sebaliknya, firman Allah dalam surat al-Maryam: "Kedamaian atas
diriku pada hari kelahiranku" (al-salamu 'alaiyya yauma wulidtu),
jelas-jelas menunjuk kepada ucapan Nabi Isa. Bahwa kemudian Nabi
Isa "dijadikan" Anak Tuhan oleh umat Kristiani, adalah suatu hal yang
lain lagi, yang tidak mengurangi arti ucapan Yesus itu.
Artinya, Natal memang diakui oleh kitab suci al-Qur'an, juga sebagai
kata penunjuk hari kelahiran-Nya, yang harus dihormati oleh umat
Islam juga. Bahwa, hari kelahiran itu memang harus dirayakan dalam
bentuk berbeda, atau dalam bentuk yang sama tetapi dengan maksud yang
berbeda, adalah hal yang tidakperlu dipersoalkan. Jika penulis
merayakan Natal adalah penghormatan untuk beliau dalam pengertian
yang penulis yakini, sebagai Nabi Allah SWT.

Sedangkan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi (Saladin the Saracen),
penguasa dari wangsa Ayyub yang berkebangsaan Kurdi/ non-Arab itu,
enam abad setelah Nabi Muhammad SAW wafat, harus berperang melawan
orang-orang Kristiani yang dipimpin Richard berhati singa (Richard
the Lion Heart) dan Karel Agung (Charlemagne) dari Inggris dan
Prancis untuk mempertanggungjawabkan mahkota mereka kepada Paus,
melancarkan Perang Salib ke tanah suci.
Untuk menyemangatkan tentara Islam yang melakukan peperangan itu,
Saladin memerintahkan dilakukannya perayaan Maulid Nabi tiap-tiap
tahun, di bulan kelahiran beliau. Bahwa kemudian peringatan itu
berubah fungsinya, yang tidak lagi mengobarkan semangat peperangan
kaum Muslimin, melainkan untuk mengobarkan semangat orang-orang Islam
dalam perjuangan (tidak bersenjata) yang mereka lakukan, itu adalah
perjalanan sejarah yang sama sekali tidak mempengaruhi asal-usul
kesejarahannya.

Jadi jelas bagi kita, kedua peristiwa itu jelas mempunyai asal- usul,
dasar tekstual agama dan jenis peristiwa yang sama sekali berbeda.
Ini berarti, kemerdekaan bagi kaum Muslimin untuk turut menghormati
hari kelahiran Nabi Isa, yang sekarang disebut hari Natal. Mereka
bebas merayakannya atau tidak, karena itu sesuatu yang dibolehkan
oleh agama. Penulis menghormatinya, kalau perlu dengan turut bersama
kaum Kristiani merayakannya bersama-sama.

Dalam literatur fiqh, jika kita duduk bersama-sama dengan orang Lain
yang sedang melaksanakan peribadatan mereka, seorang Muslim
diperkenankan turut serta duduk dengan mereka asalkan ia tidak turut
dalam ritual kebaktian. Namun hal ini masih merupakan "ganjalan" bagi
kaum muslimin pada umumnya, karena kekhawatiran mereka
akan "dianggap" turut berkebaktian yang sama.
Karena itulah, kaum Muslimin biasanya menunggu di sebuah ruangan,
sedangkan ritual kebaktian dilaksanakan di ruang lain. Jika telah
selesai, baru kaum Muslimin duduk bercampur dengan mereka untuk
menghormati kelahiran Isa al-Masih.

Inilah "prosedur" yang ditempuh oleh para pejabat kita tanpa mengerti
sebab musababnya. Karena
jika tidak datang melakukan hal itu, dianggap "mengabaikan" aturan
negara, sebuah masalah yang sama sekali berbeda dari asal-usulnya.
Sementara dalam kenyataan, agama tidak mempersoalkan seorang pejabat
datang atau tidak dalam sebuah perayaan keagamaan. Karena jabatan
kenegaraan bukanlah jabatan agama, sehingga tidak ada keharusan
apapun untuk melakukannya. Namun seorang pejabat, pada umumnya
dianggap mewakili agama yang dipeluknya. Karenanya ia harus
mendatangi upacara-upacara keagamaan yang bersifat 'ritualistik',
sehingga kalau tidak melakukan hal itu ia akan dianggap 'mengecilkan'
arti agama tersebut.

Itu adalah sebuah proses sejarah yang wajar saja. Setiap negara
Berbeda dalam hal ini, seperti Presiden AS yang tidak dituntut untuk
mendatangi peringatan Maulid Nabi Saw. Di Mesir umpamanya, Mufti kaum
Muslimin-yang bukan pejabat pemerintahan- mengirimkan ucapan selamat
Natal secara tertulis, kepada Paus Shanuda (Pausnya kaum Kristen
Coptic di Mesir).

Sedangkan kebalikannya terjadi di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha,
bukan pada hari Maulid Nabi SAW. Padahal di Indonesia pejabat
beragama Kristiani, kalau sampai tidak mengikuti peringatan Maulid
Nabi SAW akan dinilai tidak senang dengan Islam, dan ini tentu
berakibat pada karier pemerintahannya.

Apakah ini merupakan sesuatu yang baik atau justru yang buruk,
penulis tidak tahu. Kelanjutan sejarah kita sebagai bangsa, akan
menunjukkan kepada generasi-generasi mendatang apakah arti moral
maupun arti politis dari "kebiasaan" seperti itu.

Di sini menjadi jelas bagi kita, bahwa arti pepatah lain padang lain
ilalang, memang nyata adanya. Semula sesuatu yang mempunyai arti
keagamaan (seperti perayaan Natal), lama-kelamaan "dibudayakan" oleh
masyarakat tempat ia berkembang. Sebaliknya, semula adalah sesuatu
yang "dibudayakan" lalu menjadi berbeda fungsinya oleh perkembangan
keadaan, seperti Maulid Nabi saw di Indonesia.

Memang demikianlah perbedaan sejarah di sebuah negara atau di
kalangan suatu bangsa. Sedangkan di negeri lain orang tidak pernah
mempersoalkannya baik dari segi budaya maupun segi keyakinan agama.
Karenanya, kita harus berhati-hati mengikuti perkembangan seperti
itu. Ini adalah sebuah keindahan sejarah manusia, bukan? *




Anggota DPM Fasilkom UI

Ketika anakku mbarep diterima UI, ada rasa khawatir dekaligus bangga. Khawatir karena dia baru saja menginjak usia 15 tahun dan harus kuliah di jakarta. Sebagais eorang Ibu perasaan khawatir selalu terselip seperti siapa yang mengurus makannya, uang sakunya dan sebagainya. Bangga kareena dia mahasiswa termuda dan tampak matang bagi anak seusianya.

Pertama kali dia ke Jakarta, aku menghabiskan waktu seharian di kamar untuk membuat taplak maja makan dengan ukuran  diameter 2meter. Dalam waktu tiga hari aku menyelesaiakn 3 taplak meja untuk menyelimurkan pikiranku kepadanya.

Tapi dia selalu bisa menenangkan hatiku.."Mama gak usah bingung, aku akan baik-baik saja dan IP-ku pasti diatas3,5" begitu katanya.
Begitulah hanya rangkaian doa yang aku kirimkan untuknya. Dan sekarang dia bilang dia bisa menyelesaikan kuliah dalam waktu 3 tahun, itu berarti kurang satu tahun lagi...
Oalaaa... Nak kataku, itu berarti usiamu masih 18 tahun.  Akhirnya disepakati, perkuliahan akan ditempuh 3,5 tahun. Dan saat ini dia sudah sibuk dengan berbagai aktifitas.

Sejak mauk kuliah dia sudah mulai aktif di organisasi. Sepertinya dia menikmati betul aktifitasnya ini yang memang tidak pernah dia ikuti waktu duduk di bangku SMP dan SMA. Selain sekolah yang ditempuh masing2 hanya 2 tahun, dia disibukkan dengan berbagai lomba Olympiade. Saat ini seakan dia ingin merasakan aktifitas itu. Maka aku lihat agenda kegiatannya sangat padat, menjadi ketua ini itu, menjadi anggta ini itu.

Dan kemarin dia meminta izinku agar bisa mengikuti pemilihan anggota Indiependen DPM UI. Entah aku sendiri tidak begitu paham apa itu DPM. Aku hanya berpesan hati-hati dan jangan sampai semua aktifitas itu mengganggu kuliahnya yang sebentar lagi selesai. Dia bilang ingin dapat beasiswa LN, salah satu syarat untuk emndapatkan beasiswa itu adalah sering aktif diorganisasi kampus.

Oalaaa Anakku, doa ibumu semoga selalu mengiringi setiap langkahmu. Semoga kelak engkau juga mampu menembus Harvard atau Oxford dan menjadi salah satu mahasiswa di sana...

Kamis, Desember 09, 2010

Sudah berasa

Perasaanku sebetulnya sudah  memberi peringatan kepada pikiran dan hatiku. Bahkan sangat kuat. Saking kuatnya, aku bahkan sudah menceritakan hal ini pada teman dekatku. Tapi aku masih berpikir positif terhadap pimpinan. sampai suatu ketika pada hari Jum'at 5 November sekitar pukul 10.00 kami semua dikumpulkan di ruang rapat.
Pada forum yang cukup resmi itu, aku melihat wajah pimpinan sangat marah dan matanya tertuju padaku... tak lama dia membuka rapat dengan mengatakan "Ada yang membuka tentang pekerjaan kita kepada wartawan, dan yang membuka adalah orang kita sendiri" begitu katanya sambil menatapku sekilas. "Saya tidak perlu menyebut namanya, tapi dia akan dipindah dari tempat kita..."

Saat itu anak panah rasanya menancap ke dadaku. Jelas ucapannya ditujukan ke arahku. Secara logika siapa yang selama ini dekat dengan wartawan? Semua orang pasti akan menunjuk aku. Yah aku memang dekat dengan dunia wartawan, tidak saja karena aku mengajar di STIKOSA AWS yang lulusannya banyak yang jadi kuli disket, tapi teman-teman wartawan hampir semuanya adalah sahabatku waktu kuliah, bahkan beberapa dari mereka adalah mantan mahasiswaku, dan ada yang juga masih magang di salah satu surat kabar dan televisi.  Jika mendekati Tugas Akhir, banyak mahasiswa ini yang mampir ke tempat kerja untuk konsultasi bimbingan skripsi. Aku memang memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk mampir ke kantorku apabila mereka membutuhkan bimbingan skripsi, tapi itupun aku minta pada mereka sekitar pukul 15.30 Wib mendekati jam pulang kantor.

Namun demikian, aku tidak bebal, aku masih waras untuk tidak berbicara masalah pekerjaan. Aku tahu dan kenal betul dunia jurnalistik. Maka jika ada yang mencurigai aku membicarakan masalah kantor ke orang lain terutama ke wartawan, sungguh picik.

Saat itu aku sudah siap untuk membela diri, tapi sayang Kepala Kepegawaian secara bersamaan memanggilku. Selanjutnya dengan perasaan yang campur aduk, aku tepaksa meninggalkan ruangan rapat menuju ke ruangan BKD, di sana Kepala BKD memintaku membantunya dalam acara Surabaya Juang.

Aku akui, setelah peristiwa rapat tersebut, radar perasaanku demikian cepat bergetar dan berputar. Arah pendulum sudah nampak, bahwa aku akan dijadikan realisasi atas ucapan pimpinan pada tanggal 5 November. Aku ceritakan semua ini ke Timut. Reaksi yang ditujukan kepadaku sungguh luarbiasa. DIA MENANGIS. Dia tahu betul istrinya memang tidak asing dengan dunia jurnalistik, tapi dia juga yakin bahwa istrinya tidak melakukan seperti yang dicurigai orang lain.
"Baiklah kita lihat saja nanti siapa yang keluar" begitu kata mbak anik teman dekatku di kantor, yang punya proyek yang beritanya sudah menjadi running di media. Walaupun dia katakan bahwa yang dimaksud itu bukan aku tapi "orang lain". Pimpinan juga sudah tahu orangnya. Begitu kata mbak Anik, ngadem-ngademi aku. Tapi aku tetap merasakan ada sesuatu di sini, sesuatu yang mengatakan bahwa aku harus menyiapkan diri....

Akhirnya, prediksi dan radarku terbukti. 23 November, dua minggu setelah ucapan pimpinan di ruang rapat menjawab semua pertanyaan " SIAPA YANG KELUAR?" . Aku menerima amplop coklat mutasi!

Malam harinya aku cerita ke Ustaz Kuswandi, salah satu ustaz yang sering memberi pengajian di Masjid Mulyosari. Aku telepon dia, aku menangis kepadanya. Wejangan Ustaz Kuswandi, cukup memberikan pencerahan kepadaku. Katanya aku harus bersyukur, bahwa aku telah dihijrahkan oleh Allah dari tempat yang buruk. Katanya Allah mencintai aku, dipisahkan dari orang-orang yang tidak baik. Aku harus bersyukur, aku harus iklas. Aku harus yakin, bahwa aku dalam perlindungan Allah. Namun, ustaz Kuswandi juga menyarankan agar aku menemui pimpinan menanyakan apakah ada kaitannya antara ucapannya dengan kepindahanku?

Besoknya sesuai saran Ustaz Kuswandi, aku menemui Pimpinan. Aku tak perlu berbasa basi,  langsung saja menanyakan apakah ada kaitannya dengan ucapannya dengan output mutasi ini? Jawaban yang sudah aku duga : dia menjawab TIDAK. Katanya itu hanya perasaanku saja. Tapi aku katakan ini bukan perasaan tapi saya berbicara FAKTA, dan ini menyangkut harga diri. Aku katakan lagi, tidak masalah bagi saya pindah dari kantor ini, tapi saya tidak ingin kepindahan ini karena saya dianggap membocorkan pekerjaan ke wartawan, itu menyakitkan bagi saya, karena sama saja mengatakan saya penghianat. Dia diam saja.  Kemudian saya melanjutkan, apakah dia tidak memahami perasaanku dihadapan teman lain yang hadir pada waktu rapat itu? Dia mengatakan lagi-lagi itu hanya perasaanku saja. Saya kembali mengatakan ini bukan perasaan, tapi FAKTA, FAKTA dari ucapan yang disampaikan pada waktu rapat.

Sebetulnya saat itu aku ingin  sekali dia mengatakan penyesalannya dan meminta maaf apabila saya tersinggung, dan meralat pada forum yang sama untuk meluluhkan hati saya. Tapi dia tidak mengatakan sama sekali. dan tampaknya tidak ada penyesalan dan rasa bersalah terhadap apa yang pernah disampaikan.

Baiklah, kata saya dalam hati. Terserah saja apa maumu. .....Aku berbisik lirih: Tuhan kuatkan hati dan jiwaku, aku yakin Kau dengar do'aku, dan aku tahu Kau tidak tidur dan Maha Tahu atas semuanya.... Tuhan aku dalam kondisi puasa... dengarkanlah doaku.

Sore harinya aku meluncur ke Ustaz Yono, salah satu Ustaz yang mengasuh anak-anak yatim. Sampai di sana berbarengan dengan waktu maghirb. Aku bersujud kepada Allah, menangis di  mushollah Ustaz Yono. Dan akupun bercerita kepadanya tentang kegundahanku. Jika Ustaz Kuswandi mendinginkan hatiku dan memberi semangat kepadaku untuk tetap kuat, maka dengan Ustaz Yono aku mempelajari arti kesetiakawanan, arti sebuah pekerjaan, arti sebuah jabatan dan belajar untuk melupakan apa yang aku alami.
"berapa orang sih.... maaf ... orang yang baik di sana...?"  tanyanya.
"Jika sahabat panjenengan percaya bahwa panjenengan bukanlah orang yang membuka rahasia, apalagi Tuhan...?" Saya tahu dan mengenal betul situasi pekerjaan di sana... maka bersyukurlah  telah Hijrah" katanya. membuat air mataku mengalir deras bagaikan anak sungai.
"Saya berpesan panjenengan harus menghapus nama pimpinan itu dari benak dan pikiran... usahakan jangan diingat-ingat lagi"  nasehatnya.

Dua orang Ustaz yang demikian luar biasa, telah mensupport aku. Aku yakin mereka juga mendoakan diriku, atau paling tidak nasehat yang berupa semangat untukku itu juga doa bagiku dalam melangkah di hari-hariku.

Dan, dua hari sebelum aku betul-betul meninggalkan kantor, ada sms dari pimpinan. Ya Tuhan sms-nya demikian kasar sekali. Aku terima sms itu ketika posisiku akan berbuka puasa. Dia marah, hanya karena aku bertanya nomor telepon kepala dinas PU yang baru. Aku butuh nomor itu karena dia meminta aku mengundang seluruh SKPD melalui sms gateway dalam rapat, dan tinggal nomor dari PU itu yang belum aku punyai. Aku sudah berusaha menanyakan ke SKPD lain tentang nomor kepala PU ini, tapi semuanya hanya menjanjikan saja. Lantas siapa lagi yang aku tanya kalau bukan pimpinan sendiri? Apa yang salah dalam hal ini? Bukankah dia memiliki jaringan dan kenalan antar SKPD dari daripada aku? Aku tidak mengerti.... toh akhirnya nomor kepala PU juga aku dapat dari dia.
Namun ketika dia tahu aku lagi puasa dan akan berbuka, sms-nya agak lunak. Tapi aku yang terlanjur sedih dan kecewa terhadapnya akhirnya membalas smsnya: "Terimakasih Pak, maaf saya tidak selera untuk berbuka, hanya air putih saja... saya sedih membaca sms bapak..." Karena sudah tidak ada selera untuk makan, saya ndoprok sholat maghrib dan beroda: "Ya Allah, umatmu ini sedang puasa, rasa lapar dan kesedihan yang sangat luar biasa ini semoga mampu menjebolkan langitMu atas perlakuan yang aku terima".

Tengah malam aku terima sms dari pimpinanm, entah apa yang menggerakan jarinya untuk mengirimkan sms dan menulis permintaan maaf kepadaku.... tapi aku tidak membalasnya, aku tidak peduli lagi.... apakah dia lupa, bahwa dia juga punya anak yang kelak juga akan bekerja? Biarlah Tuhan yang menentukan semuanya...
Semoga dia sadar atas perlakuaknnya kepadaku...