Pada forum yang cukup resmi itu, aku melihat wajah pimpinan sangat marah dan matanya tertuju padaku... tak lama dia membuka rapat dengan mengatakan "Ada yang membuka tentang pekerjaan kita kepada wartawan, dan yang membuka adalah orang kita sendiri" begitu katanya sambil menatapku sekilas. "Saya tidak perlu menyebut namanya, tapi dia akan dipindah dari tempat kita..."
Saat itu anak panah rasanya menancap ke dadaku. Jelas ucapannya ditujukan ke arahku. Secara logika siapa yang selama ini dekat dengan wartawan? Semua orang pasti akan menunjuk aku. Yah aku memang dekat dengan dunia wartawan, tidak saja karena aku mengajar di STIKOSA AWS yang lulusannya banyak yang jadi kuli disket, tapi teman-teman wartawan hampir semuanya adalah sahabatku waktu kuliah, bahkan beberapa dari mereka adalah mantan mahasiswaku, dan ada yang juga masih magang di salah satu surat kabar dan televisi. Jika mendekati Tugas Akhir, banyak mahasiswa ini yang mampir ke tempat kerja untuk konsultasi bimbingan skripsi. Aku memang memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk mampir ke kantorku apabila mereka membutuhkan bimbingan skripsi, tapi itupun aku minta pada mereka sekitar pukul 15.30 Wib mendekati jam pulang kantor.
Namun demikian, aku tidak bebal, aku masih waras untuk tidak berbicara masalah pekerjaan. Aku tahu dan kenal betul dunia jurnalistik. Maka jika ada yang mencurigai aku membicarakan masalah kantor ke orang lain terutama ke wartawan, sungguh picik.
Saat itu aku sudah siap untuk membela diri, tapi sayang Kepala Kepegawaian secara bersamaan memanggilku. Selanjutnya dengan perasaan yang campur aduk, aku tepaksa meninggalkan ruangan rapat menuju ke ruangan BKD, di sana Kepala BKD memintaku membantunya dalam acara Surabaya Juang.
"Baiklah kita lihat saja nanti siapa yang keluar" begitu kata mbak anik teman dekatku di kantor, yang punya proyek yang beritanya sudah menjadi running di media. Walaupun dia katakan bahwa yang dimaksud itu bukan aku tapi "orang lain". Pimpinan juga sudah tahu orangnya. Begitu kata mbak Anik, ngadem-ngademi aku. Tapi aku tetap merasakan ada sesuatu di sini, sesuatu yang mengatakan bahwa aku harus menyiapkan diri....
Akhirnya, prediksi dan radarku terbukti. 23 November, dua minggu setelah ucapan pimpinan di ruang rapat menjawab semua pertanyaan " SIAPA YANG KELUAR?" . Aku menerima amplop coklat mutasi!
Malam harinya aku cerita ke Ustaz Kuswandi, salah satu ustaz yang sering memberi pengajian di Masjid Mulyosari. Aku telepon dia, aku menangis kepadanya. Wejangan Ustaz Kuswandi, cukup memberikan pencerahan kepadaku. Katanya aku harus bersyukur, bahwa aku telah dihijrahkan oleh Allah dari tempat yang buruk. Katanya Allah mencintai aku, dipisahkan dari orang-orang yang tidak baik. Aku harus bersyukur, aku harus iklas. Aku harus yakin, bahwa aku dalam perlindungan Allah. Namun, ustaz Kuswandi juga menyarankan agar aku menemui pimpinan menanyakan apakah ada kaitannya antara ucapannya dengan kepindahanku?
Besoknya sesuai saran Ustaz Kuswandi, aku menemui Pimpinan. Aku tak perlu berbasa basi, langsung saja menanyakan apakah ada kaitannya dengan ucapannya dengan output mutasi ini? Jawaban yang sudah aku duga : dia menjawab TIDAK. Katanya itu hanya perasaanku saja. Tapi aku katakan ini bukan perasaan tapi saya berbicara FAKTA, dan ini menyangkut harga diri. Aku katakan lagi, tidak masalah bagi saya pindah dari kantor ini, tapi saya tidak ingin kepindahan ini karena saya dianggap membocorkan pekerjaan ke wartawan, itu menyakitkan bagi saya, karena sama saja mengatakan saya penghianat. Dia diam saja. Kemudian saya melanjutkan, apakah dia tidak memahami perasaanku dihadapan teman lain yang hadir pada waktu rapat itu? Dia mengatakan lagi-lagi itu hanya perasaanku saja. Saya kembali mengatakan ini bukan perasaan, tapi FAKTA, FAKTA dari ucapan yang disampaikan pada waktu rapat.
Sebetulnya saat itu aku ingin sekali dia mengatakan penyesalannya dan meminta maaf apabila saya tersinggung, dan meralat pada forum yang sama untuk meluluhkan hati saya. Tapi dia tidak mengatakan sama sekali. dan tampaknya tidak ada penyesalan dan rasa bersalah terhadap apa yang pernah disampaikan.
Baiklah, kata saya dalam hati. Terserah saja apa maumu. .....Aku berbisik lirih: Tuhan kuatkan hati dan jiwaku, aku yakin Kau dengar do'aku, dan aku tahu Kau tidak tidur dan Maha Tahu atas semuanya.... Tuhan aku dalam kondisi puasa... dengarkanlah doaku.
Sore harinya aku meluncur ke Ustaz Yono, salah satu Ustaz yang mengasuh anak-anak yatim. Sampai di sana berbarengan dengan waktu maghirb. Aku bersujud kepada Allah, menangis di mushollah Ustaz Yono. Dan akupun bercerita kepadanya tentang kegundahanku. Jika Ustaz Kuswandi mendinginkan hatiku dan memberi semangat kepadaku untuk tetap kuat, maka dengan Ustaz Yono aku mempelajari arti kesetiakawanan, arti sebuah pekerjaan, arti sebuah jabatan dan belajar untuk melupakan apa yang aku alami.
"berapa orang sih.... maaf ... orang yang baik di sana...?" tanyanya.
"Jika sahabat panjenengan percaya bahwa panjenengan bukanlah orang yang membuka rahasia, apalagi Tuhan...?" Saya tahu dan mengenal betul situasi pekerjaan di sana... maka bersyukurlah telah Hijrah" katanya. membuat air mataku mengalir deras bagaikan anak sungai.
"Saya berpesan panjenengan harus menghapus nama pimpinan itu dari benak dan pikiran... usahakan jangan diingat-ingat lagi" nasehatnya.
Dua orang Ustaz yang demikian luar biasa, telah mensupport aku. Aku yakin mereka juga mendoakan diriku, atau paling tidak nasehat yang berupa semangat untukku itu juga doa bagiku dalam melangkah di hari-hariku.
Dan, dua hari sebelum aku betul-betul meninggalkan kantor, ada sms dari pimpinan. Ya Tuhan sms-nya demikian kasar sekali. Aku terima sms itu ketika posisiku akan berbuka puasa. Dia marah, hanya karena aku bertanya nomor telepon kepala dinas PU yang baru. Aku butuh nomor itu karena dia meminta aku mengundang seluruh SKPD melalui sms gateway dalam rapat, dan tinggal nomor dari PU itu yang belum aku punyai. Aku sudah berusaha menanyakan ke SKPD lain tentang nomor kepala PU ini, tapi semuanya hanya menjanjikan saja. Lantas siapa lagi yang aku tanya kalau bukan pimpinan sendiri? Apa yang salah dalam hal ini? Bukankah dia memiliki jaringan dan kenalan antar SKPD dari daripada aku? Aku tidak mengerti.... toh akhirnya nomor kepala PU juga aku dapat dari dia.
Namun ketika dia tahu aku lagi puasa dan akan berbuka, sms-nya agak lunak. Tapi aku yang terlanjur sedih dan kecewa terhadapnya akhirnya membalas smsnya: "Terimakasih Pak, maaf saya tidak selera untuk berbuka, hanya air putih saja... saya sedih membaca sms bapak..." Karena sudah tidak ada selera untuk makan, saya ndoprok sholat maghrib dan beroda: "Ya Allah, umatmu ini sedang puasa, rasa lapar dan kesedihan yang sangat luar biasa ini semoga mampu menjebolkan langitMu atas perlakuan yang aku terima".
Semoga dia sadar atas perlakuaknnya kepadaku...