Jumat, Desember 10, 2010

HARLAH, NATAL, DAN MAULID



Ditulis ulang dari tulisan  Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Menggunakan ketiga kata di atas dalam satu napas tentu banyak membuat
orang marah. Seolah-olah penulis menyamakan ketiga peristiwa itu
karena bagi kebanyakan Muslimin, satu dari yang lain sangat berbeda
artinya.

Harlah (hari lahir) digunakan untuk menunjuk pada saat kelahiran
seseorang atau sebuah institusi.Dengan demikian, ia memiliki "arti
biasa" yang tidak ada kaitannya dengan agama. Sementara bagi
Muslimin, kata Maulid selalu diartikan saat kelahiran Nabi Muhammad
SAW.

Kata Natal bagi kebanyakan orang, termasuk kaum Muslimin dan terlebih-
lebih umat Kristen, memiliki arti khusus yaitu harikelahiran Isa Al-
Masih.

Karena itulah, penyamaannya dalam satu napas yang ditimbulkan oleh
judul di atas dianggap "bertentangan" dengan ajaran agama. Karena
dalam pandangan mereka, istilah itu memang harus dibedakan satu dari
yang lain. Penyampaiannya pun dapat memberikan kesan lain, dari yang
dimaksudkan oleh orang yang mengucapkannya.

Natal, yang menurut arti bahasanya adalah sama dengan kata harlah,
hanya dipakai untuk Nabi Isa al-Masih belaka. Jadi ia mempunyai arti
khusus, lain dari yang digunakan secara umum -seperti dalam bidang
kedokteran, seperti perawatan prenatal yang berarti "perawatan
sebelum kelahiran". Yang dimaksud dalam peristilahan 'Natal' adalah
saat Isa Al-Masih dilahirkan ke dunia oleh "perawan suci" Maryam.
Karena itulah ia memiliki arti tersendiri, yaitu saat kelahiran anak
manusia bernama Yesus Kristus untuk menebus dosa manusia. Karena kaum
Nasrani mempercayai adanya dosa asal. Anak manusia yang bernama Yesus
Kristus itu sebenarnya adalah anak Tuhan, yang menjelma dalam bentuk
manusia, guna memungkinkan "penebusan dosa" tersebut.

Sedangkan Maulid adalah saat kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pertama
kali dirayakan kaum Muslimin atas perintah Sultan Shalahuddin al-
Ayyubi dari Dinasti Mamalik yang berkebangsaan Kurdi itu. Dengan
maksud untuk mengobarkan semangat kaum Muslimin, agar menang dalam
Perang Salib (crusade), maka ia memerintahkan membuat peringatan hari
kelahiran Nabi Muhammad tersebut, enam abad setelah Rasulullah wafat.
Peristiwa Maulid itu hingga kini masih dirayakan dalam berbagai
bentuk, walaupun Dinasti Sa'ud melarangnya di Saudi Arabia. Karya-
karya tertulis berbahasa Arab banyak ditulis dalam puisi dan prosa
untuk "menyambut kelahiran" itu.

Karenanya dua kata (Natal dan Maulid) yang mempunyai makna khusus
tersebut, tidak dapat dipersamakan satu sama lain, apa pun juga
alasannya. Karena arti yang terkandung dalam tiap istilah itu masing-
masing berbeda dari yang lain, siapapun tidak dapat membantah hal ini.
Sebagai perkembangan "sejarah ilmu", dalam bahasa teori Hukum Islam
(fiqh) kedua kata Maulid dan Natal adalah "kata yang lebih sempit
maksudnya, dari apa yang diucapkan" (yuqlaqu al'am wa yuradu bihi al-
khash). Hal ini disebabkan oleh perbedaan asal-usul istilah tersebut
dalam sejarah perkembangan manusia yang sangat beragam itu. Bahkan
tidak dapat dimungkiri, bahwa kata yang satu hanya khusus dipakai
untuk orang-orang Kristiani, sedangkan yang satu lagi dipakai untuk
orang-orang Islam.

Natal, dalam kitab suci Alqur'an disebut sebagai "yauma wulida" (hari
kelahiran, yang secara historis oleh para ahli tafsir dijelaskan
sebagai hari kelahiran Nabi Isa, seperti terkutip: "kedamaian atas
orang yang dilahirkan (hari ini)" (salamun yauma wulid) yang dapat
dipakaikan pada beliau atau kepada Nabi Daud.
Sebaliknya, firman Allah dalam surat al-Maryam: "Kedamaian atas
diriku pada hari kelahiranku" (al-salamu 'alaiyya yauma wulidtu),
jelas-jelas menunjuk kepada ucapan Nabi Isa. Bahwa kemudian Nabi
Isa "dijadikan" Anak Tuhan oleh umat Kristiani, adalah suatu hal yang
lain lagi, yang tidak mengurangi arti ucapan Yesus itu.
Artinya, Natal memang diakui oleh kitab suci al-Qur'an, juga sebagai
kata penunjuk hari kelahiran-Nya, yang harus dihormati oleh umat
Islam juga. Bahwa, hari kelahiran itu memang harus dirayakan dalam
bentuk berbeda, atau dalam bentuk yang sama tetapi dengan maksud yang
berbeda, adalah hal yang tidakperlu dipersoalkan. Jika penulis
merayakan Natal adalah penghormatan untuk beliau dalam pengertian
yang penulis yakini, sebagai Nabi Allah SWT.

Sedangkan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi (Saladin the Saracen),
penguasa dari wangsa Ayyub yang berkebangsaan Kurdi/ non-Arab itu,
enam abad setelah Nabi Muhammad SAW wafat, harus berperang melawan
orang-orang Kristiani yang dipimpin Richard berhati singa (Richard
the Lion Heart) dan Karel Agung (Charlemagne) dari Inggris dan
Prancis untuk mempertanggungjawabkan mahkota mereka kepada Paus,
melancarkan Perang Salib ke tanah suci.
Untuk menyemangatkan tentara Islam yang melakukan peperangan itu,
Saladin memerintahkan dilakukannya perayaan Maulid Nabi tiap-tiap
tahun, di bulan kelahiran beliau. Bahwa kemudian peringatan itu
berubah fungsinya, yang tidak lagi mengobarkan semangat peperangan
kaum Muslimin, melainkan untuk mengobarkan semangat orang-orang Islam
dalam perjuangan (tidak bersenjata) yang mereka lakukan, itu adalah
perjalanan sejarah yang sama sekali tidak mempengaruhi asal-usul
kesejarahannya.

Jadi jelas bagi kita, kedua peristiwa itu jelas mempunyai asal- usul,
dasar tekstual agama dan jenis peristiwa yang sama sekali berbeda.
Ini berarti, kemerdekaan bagi kaum Muslimin untuk turut menghormati
hari kelahiran Nabi Isa, yang sekarang disebut hari Natal. Mereka
bebas merayakannya atau tidak, karena itu sesuatu yang dibolehkan
oleh agama. Penulis menghormatinya, kalau perlu dengan turut bersama
kaum Kristiani merayakannya bersama-sama.

Dalam literatur fiqh, jika kita duduk bersama-sama dengan orang Lain
yang sedang melaksanakan peribadatan mereka, seorang Muslim
diperkenankan turut serta duduk dengan mereka asalkan ia tidak turut
dalam ritual kebaktian. Namun hal ini masih merupakan "ganjalan" bagi
kaum muslimin pada umumnya, karena kekhawatiran mereka
akan "dianggap" turut berkebaktian yang sama.
Karena itulah, kaum Muslimin biasanya menunggu di sebuah ruangan,
sedangkan ritual kebaktian dilaksanakan di ruang lain. Jika telah
selesai, baru kaum Muslimin duduk bercampur dengan mereka untuk
menghormati kelahiran Isa al-Masih.

Inilah "prosedur" yang ditempuh oleh para pejabat kita tanpa mengerti
sebab musababnya. Karena
jika tidak datang melakukan hal itu, dianggap "mengabaikan" aturan
negara, sebuah masalah yang sama sekali berbeda dari asal-usulnya.
Sementara dalam kenyataan, agama tidak mempersoalkan seorang pejabat
datang atau tidak dalam sebuah perayaan keagamaan. Karena jabatan
kenegaraan bukanlah jabatan agama, sehingga tidak ada keharusan
apapun untuk melakukannya. Namun seorang pejabat, pada umumnya
dianggap mewakili agama yang dipeluknya. Karenanya ia harus
mendatangi upacara-upacara keagamaan yang bersifat 'ritualistik',
sehingga kalau tidak melakukan hal itu ia akan dianggap 'mengecilkan'
arti agama tersebut.

Itu adalah sebuah proses sejarah yang wajar saja. Setiap negara
Berbeda dalam hal ini, seperti Presiden AS yang tidak dituntut untuk
mendatangi peringatan Maulid Nabi Saw. Di Mesir umpamanya, Mufti kaum
Muslimin-yang bukan pejabat pemerintahan- mengirimkan ucapan selamat
Natal secara tertulis, kepada Paus Shanuda (Pausnya kaum Kristen
Coptic di Mesir).

Sedangkan kebalikannya terjadi di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha,
bukan pada hari Maulid Nabi SAW. Padahal di Indonesia pejabat
beragama Kristiani, kalau sampai tidak mengikuti peringatan Maulid
Nabi SAW akan dinilai tidak senang dengan Islam, dan ini tentu
berakibat pada karier pemerintahannya.

Apakah ini merupakan sesuatu yang baik atau justru yang buruk,
penulis tidak tahu. Kelanjutan sejarah kita sebagai bangsa, akan
menunjukkan kepada generasi-generasi mendatang apakah arti moral
maupun arti politis dari "kebiasaan" seperti itu.

Di sini menjadi jelas bagi kita, bahwa arti pepatah lain padang lain
ilalang, memang nyata adanya. Semula sesuatu yang mempunyai arti
keagamaan (seperti perayaan Natal), lama-kelamaan "dibudayakan" oleh
masyarakat tempat ia berkembang. Sebaliknya, semula adalah sesuatu
yang "dibudayakan" lalu menjadi berbeda fungsinya oleh perkembangan
keadaan, seperti Maulid Nabi saw di Indonesia.

Memang demikianlah perbedaan sejarah di sebuah negara atau di
kalangan suatu bangsa. Sedangkan di negeri lain orang tidak pernah
mempersoalkannya baik dari segi budaya maupun segi keyakinan agama.
Karenanya, kita harus berhati-hati mengikuti perkembangan seperti
itu. Ini adalah sebuah keindahan sejarah manusia, bukan? *