Ada kepedihan di sini menyeruak menusuk sampai ke tulang sum sum. Kepedihan dan rasa sesal selalu datang terlambat, menyesakkan dada menggumpal perih yang tak mungkin terhapus. Padahal luka itu mula-mula hanya tipis saja, tapi semakin dalam dan akhirnya menusuk menghunjam.
Rasa sesal itu selalu datang terlambat karena dibutakan dengan keangkuhan untuk mengakui bahwa ini adalah salah. Padahal jelas-jelas tergambar apa yang dilakukan hanya sebuah penuntasan rasa penasaran dan balas dendam pada masa lalu yang seharusnya tidak perlu dilewati. Namun mengapa justru masa lalu itu dilewati saja? Padahal masa lalu itu adalah jalan yang tidak pernah diniati untuk ditempuh, tak terbersit sedikitpun saat itu untuk dilalui, tapi kini mengapa justru bermain-main dengan sesuatu yang seharusnya sudah terkubur..?
Kesadaran ini sebetulnya sangat terlambat datangnya. Itupun jika tidak disebabkan karena sebuah feeling, maka kesadaran ini tak akan pernah muncul. Seperti disayat itulah, rasa sadar ini baru muncul. Dan kemarahanpun meledak, karena merasa terlecehkan, tertipu, terusik harga diri. Ah masihkah ada sebuah harga diri dengan apa yang sudah terjadi? Tentu saja, semua argumen juga dibantah, bahwa ini hanya pikiranku saja yang dirangkai-rangkai... akhirnya kemarahan pun bergaung diseluruh ulu hati, dada, dan seluruh nadiku. Entah sampai kapan rasa marah ini akan mereda? Yang pasti rasa menyesalku mengaliri seluruh hidupku....
Jumat, Agustus 21, 2009
Kamis, Agustus 20, 2009
SAHUR BERSAMA
Seperti halnya kebiasaan di bulan Ramadhan, kita selalu menyediakan takjil yang dikirimkan ke masjid-masjid, agar mereka yang berpuasa segera dapat berbuka puasa. Mula-mula sayapun juga menyediakan takjil untuk teman-teman jamaah yang berada di Masjid Masyitoh, di kawasan Mulyosari. Kadang saya kirim, terkadang pula mereka ambil sekitar pukul lima sore atau menjelang maghrib.
Namun sejak adik saya yang juga jamaah di sana mengatakan, kalau takjil banyak yang nyediakan tapi kalau sahur tidak ada. Para jamaah ini butuh sahur dan mereka tidak sempat beli, bahkan terkadang tidak ada dana untuk sahur. Mereka sibuk tadarus, apalagi saat minggu terakhir bulan Ramadhan, bisa dipastikan akan banyak jamaah yang bertadarus dan itikaf. Adik saya bertanya apakah saya bisa menyediakan sahur untuk teman-temannya? Sayapun menyanggupi, mengingat sayapun ketika kost juga mengalami ha yang sama, tapi saya mohon agar diambil karena saya tidak ada kendaraan untuk mengantarkan ke sana.
Maka sejak saat itu sampai sekarang sudah hampir sembilan tahun saya selalu menyempatan diri untuk menyediakan sahur mereka. Makanan sahur yang saya masak sejak pukul 19.00 atau terkadang sepulang dari sholat Taraweh saya siapkan di teras rumah, dan akan diambil sekitar pukul 23.00 - 24.00 WIB. Nasi dan lauk-nya saya pisah. Tapi saya tidak pernah menyediakan menu ayam, karena teman-teman masjid tidak makan ayam potong yang dijual di pasar, kecuali ayam yang disembelih sendiri. Menu yang saya buatpun sederhana.
Setiap tahun, yang mengambil sahur ini orangnya selalu bergantian. Jadi saya selalu menemui wajah baru. Yang dulunya bertugas mengambil sahur, pada tahun berikutnya sudah bekerja atau lulus kuliah, atau sudah menikah. Jadi selalu saja ada penggantinya. Dan saya sendiri belum satu kalipun mengikuti pengajian di Masjid Masyitoh ini, juga belum pernah sholat taraweh di sana. Sekali saya ke sana untuk sholat maghrib dan isya berjamaah serta tasykauran, ketika akan menyunatkan anak saya. Pada saat itulah Pak Suwandi sang ustadz
memperkenalkan saya, inilah wajah yang mengirimkan sahur setiap ramadhan.
Sahur yang saya kirimkan ke masjid MAsjitoh ini sesungguhnya adalah manifestasi dari balas dendam ketika saya kesulitan untuk sahur ketika kuliah dulu. Waktu saya kost, setiap sahur dan buka saya sering nimbrung di tempat kost sahabat, karena memang keuangan saya sangat ngepas untuk buat makan. Mengetahui hal ini, ibu kost saya yang bernama Bu Syarifudin mengajak saya sahur bersama. JAdilah malam-malam ramadhan saya dan hanya ibu kost makan saur bersama yang disediakan pembantunya. Ibu Kost saya ini berusia sekitar 72 tahun, tidak memiliki anak dan hidup hanya dengan pembantunya saja. Saya adalah penghuni nomor tiga, yang sudah dianggap anak olehnya.
Sejak saat itu, saya ingin, kelak bisa menyediakan sahur buat orang-orang yang tidak bisa sahur. Selain dengan masjid Masyitoh, pelampiasan dendam saya juga saya lampiaskan ke anak-anak kost di rumah. Mula-mula saya hanya menyediakan untuk 2 orang yang kost di rumah. Setiap pukul setengah tiga pagi, saya ketuk pintu kamar mereka untuk sahur. Kemudian tahun berikutnya meningkat menjadi 4 orang, dan sekarang menjadi sekitar 8 orang. Jika mereka mengajak temannya belajar bersama, saya juga meminta agar temannya itu pun ikut sahur juga.
Kini terbersit keinginan, saya ingin menyediakan sahur juga bagi mereka yang tidak bisa sahur. Saya ingin siapa saja yang butuh sahur, tapi tidak punya uang untuk beli makanan, silahkan datang ke rumah. Saya ingin menyediakan di teras rumah, dekat lapangan basket yang dibuat mas Dwi, suami saya. Kalau banyak anak-anak main basket setiap sore di rumah saya, seharusnya lapangan basket itupun juga bisa berfungsi untuk sahur gratis.
Tapi mas Dwi sepertinya tidak setuju dengan gagasan saya. Dia bilang saya akan merugikan usaha pedagang makanan, warung-warung yang berjualan karena mereka yang seharusnya membeli, beralih ke tempat saya. Saya bilang, saya meneydiakan untuk mereka yang memang tidak bisa membeli makanan sahur. Mas Dwi mengatakan, bisa saja yang datang ke tempat saya adalah orang yang seharusnya bisa membeli di penjual-penjual makanan. Dan saya termasuk orang yang merugikan pedagang.
Sungguh saya tidak ada niatan untuk merugikan orang lain, dan saya juga tidak ingin pamer. Saya hanya ingin agar para tukang becak, satpam, anak-anak kost yang orang tuanya tidak mampu bisa ikut menikmati masakan saya. Jika seandainya yag datang adalah mereka yang mampu membeli, itu di luar prediksi saya. Dan saya yakin, Tuhan tidak akan mematikan para pedagang itu. Saya selalu yakin ada faktor X, faktor keajaiban diluar prediksi dan hitung-hitungan statistik maupun rumus manusia. Mas Dwi adalah pakar statistik, dan dia selalu menghitung probabilitas, menghitung prediksi dan kemungkinan-kemungkinan. Sedangkan saya adalah orang yang mempercayai bahwa ada kekuatan yang menakjubkan diluar perkiran dan prediksi. Air mata saya hampir menetes, ketika saya memutuskan tidak menyediakan sahur di lapangan basket. Apalah artinya jika mas Dwi tidak mendukungku?
Jika anda membaca ini tolong kirimkan pendapat anda pada email saya so_puri@yahoo.com, karena pada blog ini tidak saya sediakan kolom komentar. Terimakasih.
Namun sejak adik saya yang juga jamaah di sana mengatakan, kalau takjil banyak yang nyediakan tapi kalau sahur tidak ada. Para jamaah ini butuh sahur dan mereka tidak sempat beli, bahkan terkadang tidak ada dana untuk sahur. Mereka sibuk tadarus, apalagi saat minggu terakhir bulan Ramadhan, bisa dipastikan akan banyak jamaah yang bertadarus dan itikaf. Adik saya bertanya apakah saya bisa menyediakan sahur untuk teman-temannya? Sayapun menyanggupi, mengingat sayapun ketika kost juga mengalami ha yang sama, tapi saya mohon agar diambil karena saya tidak ada kendaraan untuk mengantarkan ke sana.
Maka sejak saat itu sampai sekarang sudah hampir sembilan tahun saya selalu menyempatan diri untuk menyediakan sahur mereka. Makanan sahur yang saya masak sejak pukul 19.00 atau terkadang sepulang dari sholat Taraweh saya siapkan di teras rumah, dan akan diambil sekitar pukul 23.00 - 24.00 WIB. Nasi dan lauk-nya saya pisah. Tapi saya tidak pernah menyediakan menu ayam, karena teman-teman masjid tidak makan ayam potong yang dijual di pasar, kecuali ayam yang disembelih sendiri. Menu yang saya buatpun sederhana.
Setiap tahun, yang mengambil sahur ini orangnya selalu bergantian. Jadi saya selalu menemui wajah baru. Yang dulunya bertugas mengambil sahur, pada tahun berikutnya sudah bekerja atau lulus kuliah, atau sudah menikah. Jadi selalu saja ada penggantinya. Dan saya sendiri belum satu kalipun mengikuti pengajian di Masjid Masyitoh ini, juga belum pernah sholat taraweh di sana. Sekali saya ke sana untuk sholat maghrib dan isya berjamaah serta tasykauran, ketika akan menyunatkan anak saya. Pada saat itulah Pak Suwandi sang ustadz
memperkenalkan saya, inilah wajah yang mengirimkan sahur setiap ramadhan.
Sahur yang saya kirimkan ke masjid MAsjitoh ini sesungguhnya adalah manifestasi dari balas dendam ketika saya kesulitan untuk sahur ketika kuliah dulu. Waktu saya kost, setiap sahur dan buka saya sering nimbrung di tempat kost sahabat, karena memang keuangan saya sangat ngepas untuk buat makan. Mengetahui hal ini, ibu kost saya yang bernama Bu Syarifudin mengajak saya sahur bersama. JAdilah malam-malam ramadhan saya dan hanya ibu kost makan saur bersama yang disediakan pembantunya. Ibu Kost saya ini berusia sekitar 72 tahun, tidak memiliki anak dan hidup hanya dengan pembantunya saja. Saya adalah penghuni nomor tiga, yang sudah dianggap anak olehnya.
Sejak saat itu, saya ingin, kelak bisa menyediakan sahur buat orang-orang yang tidak bisa sahur. Selain dengan masjid Masyitoh, pelampiasan dendam saya juga saya lampiaskan ke anak-anak kost di rumah. Mula-mula saya hanya menyediakan untuk 2 orang yang kost di rumah. Setiap pukul setengah tiga pagi, saya ketuk pintu kamar mereka untuk sahur. Kemudian tahun berikutnya meningkat menjadi 4 orang, dan sekarang menjadi sekitar 8 orang. Jika mereka mengajak temannya belajar bersama, saya juga meminta agar temannya itu pun ikut sahur juga.
Kini terbersit keinginan, saya ingin menyediakan sahur juga bagi mereka yang tidak bisa sahur. Saya ingin siapa saja yang butuh sahur, tapi tidak punya uang untuk beli makanan, silahkan datang ke rumah. Saya ingin menyediakan di teras rumah, dekat lapangan basket yang dibuat mas Dwi, suami saya. Kalau banyak anak-anak main basket setiap sore di rumah saya, seharusnya lapangan basket itupun juga bisa berfungsi untuk sahur gratis.
Tapi mas Dwi sepertinya tidak setuju dengan gagasan saya. Dia bilang saya akan merugikan usaha pedagang makanan, warung-warung yang berjualan karena mereka yang seharusnya membeli, beralih ke tempat saya. Saya bilang, saya meneydiakan untuk mereka yang memang tidak bisa membeli makanan sahur. Mas Dwi mengatakan, bisa saja yang datang ke tempat saya adalah orang yang seharusnya bisa membeli di penjual-penjual makanan. Dan saya termasuk orang yang merugikan pedagang.
Sungguh saya tidak ada niatan untuk merugikan orang lain, dan saya juga tidak ingin pamer. Saya hanya ingin agar para tukang becak, satpam, anak-anak kost yang orang tuanya tidak mampu bisa ikut menikmati masakan saya. Jika seandainya yag datang adalah mereka yang mampu membeli, itu di luar prediksi saya. Dan saya yakin, Tuhan tidak akan mematikan para pedagang itu. Saya selalu yakin ada faktor X, faktor keajaiban diluar prediksi dan hitung-hitungan statistik maupun rumus manusia. Mas Dwi adalah pakar statistik, dan dia selalu menghitung probabilitas, menghitung prediksi dan kemungkinan-kemungkinan. Sedangkan saya adalah orang yang mempercayai bahwa ada kekuatan yang menakjubkan diluar perkiran dan prediksi. Air mata saya hampir menetes, ketika saya memutuskan tidak menyediakan sahur di lapangan basket. Apalah artinya jika mas Dwi tidak mendukungku?
Jika anda membaca ini tolong kirimkan pendapat anda pada email saya so_puri@yahoo.com, karena pada blog ini tidak saya sediakan kolom komentar. Terimakasih.
Selasa, Agustus 18, 2009
Tuhan Ampuni Aku
Minggu-minggu ini air mata tertahan di pelupuk mata. Aku ingin menangis, bahkan menjerit agar beban penyesalan sedikit berkurang. Tapi aku tidak yakin, jika seandainya aku bisa mencucurkan air mata atau menjerit sampai tenggorokaanku kering, rasa sesal itu akan hilang. Tidak aku katakan tidak... bahkan sampai kapanpun akan melekat erat di ingatan dan hati. Aku telah melakukan hal yang sangat bodoh, naif dan sangat tidak elegan. Yang ingin aku lakukan hanyalah mengunci kamar, tidur, dan krukupan selimut. Rasanya tidak ingin ketemu siapapun, bahkan untuk telepon pun aku malas mengangkatnya.
Tapi sungguh Tuhan Maha Agung, Dia yang menciptakan hati manusia dari segumpal darah, masih menyisakan rasa sesal yang mengaliri seluruh urat nadiku. Paling tidak urat sesal dan nadi malu masih belum terputus, dan mengalir deras dalam darahku. Seandainya Tuhan memutus salah satunya, aku pasti tidak memiliki rasa malu maupun rasa sesal. Itulah salah satu alasanku akhir-akhir ini berusaha rajin sholat tahajjud, bersimpuh memohon ampunan dan kekuatan hati, agar hati yang kelam dan menjijikan ini dapat dicuci-Nya... yak aku katakan jijik, karena hati dan pikiranku senantiasa menjijikan, sehingga terkadang kepala ini menggerakkan hati atau hati yang menggerakkan kepala untuk berbuat hal yang menjijikan. Dan agar Tuhan masih berkenan melekatkan dengan erat urat malu-ku dan sesa-lku, sampai Dia akhirnya berkenan untuk memutuskan kontrak roh dari jasadku.
Tuhan ampuni aku... apakah sisa usiaku ini masih cukup untuk bersujud memohon ampunan-Mu? ... permohonanku pada-Mu ya Rabbi, berikanlah berkah, kesehatan dan usia panjang yang bermanfaat untuk suamiku Mas Dwi, terlalu banyak luka dan kecewa yang aku buat untuknya, rasa cintanya yang demikian besar telah menutupi rasa kecewanya padaku, dan itupun tidak aku imbangi dengan kasih sayangku padanya. Maka izinkanlah aku bersimpuh kepada-Mu, muliakanlah suamiku ini, selama ini dia telah bersikap seperti malaikat, hidupnya hanya untuk menyenangkan orang lain... Izinkanlah aku bersujud pada-Mu, memohon dengan sepenuh jiwa-ku, berikan usia yang panjang dan bermanfaat yang membuatnya bahagia, melebihi usiaku... bahkan jika seandainya dia akan menikah lagi, berikan padaku rasa iklash untuk merestuinya...
Tapi sungguh Tuhan Maha Agung, Dia yang menciptakan hati manusia dari segumpal darah, masih menyisakan rasa sesal yang mengaliri seluruh urat nadiku. Paling tidak urat sesal dan nadi malu masih belum terputus, dan mengalir deras dalam darahku. Seandainya Tuhan memutus salah satunya, aku pasti tidak memiliki rasa malu maupun rasa sesal. Itulah salah satu alasanku akhir-akhir ini berusaha rajin sholat tahajjud, bersimpuh memohon ampunan dan kekuatan hati, agar hati yang kelam dan menjijikan ini dapat dicuci-Nya... yak aku katakan jijik, karena hati dan pikiranku senantiasa menjijikan, sehingga terkadang kepala ini menggerakkan hati atau hati yang menggerakkan kepala untuk berbuat hal yang menjijikan. Dan agar Tuhan masih berkenan melekatkan dengan erat urat malu-ku dan sesa-lku, sampai Dia akhirnya berkenan untuk memutuskan kontrak roh dari jasadku.
Tuhan ampuni aku... apakah sisa usiaku ini masih cukup untuk bersujud memohon ampunan-Mu? ... permohonanku pada-Mu ya Rabbi, berikanlah berkah, kesehatan dan usia panjang yang bermanfaat untuk suamiku Mas Dwi, terlalu banyak luka dan kecewa yang aku buat untuknya, rasa cintanya yang demikian besar telah menutupi rasa kecewanya padaku, dan itupun tidak aku imbangi dengan kasih sayangku padanya. Maka izinkanlah aku bersimpuh kepada-Mu, muliakanlah suamiku ini, selama ini dia telah bersikap seperti malaikat, hidupnya hanya untuk menyenangkan orang lain... Izinkanlah aku bersujud pada-Mu, memohon dengan sepenuh jiwa-ku, berikan usia yang panjang dan bermanfaat yang membuatnya bahagia, melebihi usiaku... bahkan jika seandainya dia akan menikah lagi, berikan padaku rasa iklash untuk merestuinya...
Rabu, Agustus 12, 2009
Dus Gusti...
aku tak bisa mengatakan apa-apa.... mengapa hati ini begitu lemah? masihkah ada dendam yang harus aku tuntaskan? ..... Jika itu dendam, mengapa harus mengorbankan yang seharusnya tidak terjadi?... Duh Gusti, mata-MU yang sangat tajam tertutup oleh hati kelamku... akankah tahajjudku disepanjang sajadah malam akan membuatku menemukan keteduhan-MU? akankah sholat tasbihku di pagi dan malam sunyi bakal menumbuhkan rasa sesalku? dan apakah bacaan surah Al-Fathekah seribu kali dari bibirku di malam hening akan membeningkan hati dan pikiranku? Duh Gusti, ampuni aku... berikan kekuatan untukku agar aku tak melakukannya, sampai Engkau mengizinkan dengan Rakhmat dan Hidayah-Mu ...Pintaku kepada-Mu, biarkan malam hening mendekapku dalam tahajjud dengan kebeningan hati ini, agar aku bisa merasakan genggaman Tangan-MU...
Selasa, Agustus 11, 2009
Puasa Menuju Makan Sejati
Puasa : Menuju Makan Sejati
(Emha Ainun Nadjib)
Puasa itu jalan sunyi
Tersedia makanan tapi tak dimakan
Tersedia kursi tapi tak diduduki
Tersedia tanah tapi tak dipagari
Puasa itu jalan sunyi
Menggambar tapi tak terlihat
Bernyanyi tapi tak terdengar
Menangis tapi tak diperhatikan
Puasa itu jalan sunyi
Menjadi tanpa eksistensi
Pergi menuju kembali
Hadir tapi tak dikenali
ILMU Rasulullah Muhammad, "hanya makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang", telah menjadi pengetahuan hampir setiap pemeluk Agama Islam, tetapi mungkin belum menjadi ilmu. Puasa demi puasa, Ramadlan demi Ramadlan beserta fatwa demi fatwa yang senantiasa menyertainya dengan segala kerendahan hati harus saya katakan belum cukup mengantarkan kita dari permukaan pengetahuan menuju kedalaman ilmu.
Ada jarak yang tak terkirakan antara pengetahuan dengan ilmu, meskipun khasanah kebahasaan kita dengan kalem menyebut ilmu pengetahuan di lembaran-lembaran kamusnya. Dengan berkunjung ke sebuah museum, kita bisa memperoleh pengetahuan tentang sebilah pedang, lengkap dengan semua data tentang panjang-lebarnya, asal-usul sejarahnya, serta logam suku cadangnya, termasuk berapa kepala yang dulu pernah dipenggalnya.
Tetapi, ilmu baru terjadi tatkala pedang itu telah menyatu dengan tangan kita. Bukan saja kita sanggup menggenggamnya dan mendayagunakannya dengan seribu teknik silat; lebih dari itu ilmu ditandai oleh realitas menyeluruh, di mana pedang itu telah menjadi bagian dari diri kita, bagian dari badan kita, akal pikiran kita, emosi hati kita, termasuk budi dan kearifan jiwa kita.
Pengetahuan barulah tataran terendah dari persyaratan mutu dan aktualitas eksistensi mahluk yang bernama manusia. Tetapi, ilmu pun belumlah "langit" tertinggi dalam kosmos "ahsani taqwin" sebaik-baik mahluk - manusia. Sebab, ilmu pedang bisa merupakan awal mula dari tertikamnya dada seseorang. Oleh karena itu, di atas ilmu si penggenggam kebenaran ada langit lebih tinggi yang bernama hubb atau cinta.
Cinta adalah rem, pembijak, pengatif, yang terkandang nikmat terkadang sakit, bagi kemungkinan pembunuhan atau permusuhan yang dipotensialkan oleh ilmu pedang. Ini berlaku pada skala mana pun, di kesempitan pergaulan sehari-hari hingga di keluasan peradaban.
Adapun jika ilmu jika penghayatan akan kebenaran, bersenyawa, bekerja sama, berkoperasi, berposisi, dan berkelangsungan intermanagable, atau denan kata lain "bersuami-istri dengan hubb" atau cinta maka tercapailah tataran "taqwa".
Tanpa itulah target puasa. Taqwa itulah cakrawala perjalanan kemusliman manusia. Taqwa lebih tinggi dari nilai kebenaran dan nilai cinta. Apalagi dibandingkan tataran norma, hukum formal, adat, serta tabung-tabung formal kultural lainnya dalam komunitas atau kejamaahan umat manusia. Taqwa itu suatu atmosfer yang bukan main menyejukkan, menenteramkan, dan membahagiakan, yang terletak di garis kemungkinan "liga rabb", yakni kemungkinan pertemuan hamba-hamba hina dina macam kita ini dengan Allah. Sekarang bisalah kita membandingkan, apa beda kemungkinannya jika pedang berada di tangan orang berpengetahuan, dengan jika ia tergenggam di tangan orang berilmu saja, atau jika ia tergenggam di tangan orang yang bercinta saja dengan jika ia tergenggam di tangan orang yang bertaqwa.
Kemudian gampanglah bagi kita untuk memproyeksikan: jika pedang itu adalah kekuatan fisik, adalah kekuasan politik, adalah modal dan peluang ekonomi, adalah pasal-pasal hukum, atau apa pun saja. Gampanglah kita perhitungkan: terjaditikaman, siapa yang menikam dan yang tertikam, seberapa dahsyat akibat sejarah dari ketertikaman itu, ataukah mungkin berlangsung suatu ketaqwaan peradaban, di mana pedang tak pernah menikam, di mana ketajaman pedang ditaqwai untuk hanya menguak kesejahteraan dan kebahagiaan bersama.
Makan yang sejati
Rasanya tak enakuntuk memuji-muji Muhammad. Ada situasi psikologis tertentu dalam pergaulan teologis dan kultural di lapangan integrasi nasional kita, yang menjadi sumber ketidakenakan tersebut.
Sepenuhnya saya memahami itu. Secara kultural, untuk situasi semacam itu, saya harus pelti" pujian. Tetapi, dalam konteks ilmu kita tidak bisa menemukan argumentasi apa pun untuk melakukan hal yang sama. Tidak kebetulan bahwa arti harfiah kata "Muhammad adalah juga yang terpuji". Apa yang ingin saya lakukan dengan tulisan ini hanyalah mencicil landasan rasional agar kita berhak menyebut rasul terakhir itu dengan Muhammad. Kalau tak cukup pengetahuan dan ilmu, syukur cinta dan ketaqwaan, maka jika kita memanggilnya dengan mesra "Ya Muhammad kekasih", rasanya kosong, tak ada muatannya. Muhammad menolehkan kepalanya dan melirikkan bola matanya ke arah kita, tetapi hati, nalar dan budinya tak ikut merasa terpanggil, karena panggilan kita memang tanpa nalar, hati dan budi. Beliau pasti kecewa.
"Makan hanya ketika lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang" Adalah formula tentang kesehatan hidup. Tak hanya menyangkut tubuh, tapi juga keseluruhan mental sejarah. Ia adalah contoh soal lebih dari sekadar teori keilmuan tentang keefektifan dan efisiensi.
Selama ini pemahaman-pemahaman nilai budaya kita cenderung mentabukan perut. Orang yang hidupnya terlalu profesional dan hanya mencari uang, kita sebut "diperbudak oleh perut". Para koruptor kita gelari "hamba perut" yang mengorbankan kepentingan negara dan rakyat demi perutnya sendiri.
Padahal ia bukanlah hamba perut. Sebab, kebutuhan perut amat sederhana dan terbatas. Ia sekadar penampung dan distributor sejumlah zat yang diperlukan untuk memelihara kesehatan tubuh. Perut tak pernah mempersoalkan, apakah kita memilih nasi pecel atau pizza, lembur kuring atau masakan Jepang.
Yang menuntut berlebih pertama-tama adalah lidah. Perut tidak menolak untuk disantuni dengan jenis makanan cukup seharga seribu rupiah. Tetapi, lidah mendorong kita harus mengeluarkan sepuluh ribu, seratus ribu, aau terkadang sejuta rupiah.
Mahluk lidah termasuk yang menghuni batas antara jasmani dengan rohani. Satu kaki lidah berpijak di kosmos jasmani, kaki lainnya berpijak di semesta rohani. Dengan kaki yang pertama ia memanggul kompleks tentang rasa dan selera; tak cukup dengan standar 4 sehat 5 sempurna, ia membutuhkan variasi dan kemewahan. Semestinya cukup di warung pojok pasar, tapi bagian lidah yang ini memperkuda manusia untuk mencari berbagai jenis makanan, inovasi dan paradigma teknologi makanan, yang dicari ke seantero kota dan desa. Biayanya menjadi ratusan kali lipat.
Dengan kaki lainnya lidah memikul penyakit yang berasal dari suatu dunia misterius, yang bernama mentalitas, nafsu, serta kecenderungan-kecenderungan aneh yang mensifati budaya manusia. Makan, yang dalam konteks perut hanya berarti menjaga kesehatan, di kaki lidah itu diperluas menjadi bagian dari kompleks kultur, status sosial, gengsi, feodalisme, kepriyayian, serta penyakit-penyakit kejiwaan komunitas manusia lainnya.
Kecenderungan ini membuat makan tidak lagi sejati dengan konteks perut dan kesehatan tubuh, melainkan dipalsukan, dimanipulir atau diartifisialkan menjadi urusan-urusan kultur danperadaban, yang biayanya menjadi amat, sangat mahal. Budaya artifisialisasi makan ini dieksploitasi dan kemudian dipacu oleh etos industrialisasi segala bidang kehidupan, serta disahkan oleh kepercayaan budaya, bahwa harus senantiasa ada proses kreatif: orang menyelenggarakan modifikasi budaya makan, pembaruan teknologi konsumsi, jenis makanannya, panggung tempat makannya, nuansanya, lagu-lagu pengiringnya, pewarnaan meja kursi dindingnya hingga karaokenya.
Artif isia l isasi budaya makan itu akhirnya juga menciptakan berbagai ketergantunan manusia, sehingga agar selamat sejahtera dalam keterlanjuran ketergantungan itu, manusia bernegosiasi di bursa efek, menyunat uang proyek, memborong gunung-gunung dan hutan-hutan, bahkan berperang dan membunuh satu sama lain.
Padahal perut hanya membutuhkan "makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang".
Maka yang bernama "makan sejati" ialah makan yang sungguh-sungguh untuk perut. Adapun yang pada umumnya kita lakukan selama ini adalah "memberi makan kepada nafsu".
Perut amat sangat terbatas dan Allah mengajarinya untuk tahu membatasi diri. Sementara nafsu adalah api yang tak terhingga skala perbesaran atau pemuaiannya. Jika filosofi makan dirobek dan dibocorkan menuju banjir bandang nafsu tak terbatas, jika ia diartifisialkan dan dipalsukan dan tampaknya itulah salah satu saham utama beribu konflik dan ketidakadilan dalam sejarah umat manusia maka sesungguhnya itulah contoh paling konkret dari terbunuhnya efisiensi dan keefektifan. Rekayasa budaya makan pada masyarakat kita, dari naluri sehari-hari hingga aplikasinya di pasal-pasal rancangan pembangunan jangka pendek dan jangka panjang, mengandung inefisiensi atau keborosan dan keserakahan, yang terbukti mengancam alam dan kehidupan manusia sendiri; di samping sangat tidak efektif mencapai hakikat tujuan makan itu sendiri.
Kebutuhan sejati
Aktivitas puasa selalu diartikan - dan memang benar demikian - sebagai peperangan melawan nafsu. Cuma barangkali karena pengetahuan dan ilmu kita tentang musuh yang harus diperangi itu tidak bertambah, maka strategi dan taktik perang kita pun kurang berkembang.
Kalau kita mendengar tentang nafsu makan, asosiasi kita menunjuk ke makan, bukan ke nafsunya. Maka ketika istri kita ke pasar, yang dibeli terutama adalah pesanan-pesanan nafsu, bukan kapasitas kebutuhan makan yang diperlukan. Setiap pelaku puasa punya pengalaman untuk cenderung mendambakan dan menumpuk berbagai jenismakanan dan minuman sepanjang hari, kemudian ketika saat berbuka tiba, ia baru tahu, bahwa perut sama sekali tidak membutuhkan sebanyak dan semewah itu.
Pelajaran yang diperoleh dari peristiwa semacam itu seharusnya adalah kesanggupan memilahkan antara dorongan nafsu dengan kebutuhan makan. Kegiatan puasa jadinya bukanlah pertempuran melawan "tidak boleh makan" atau "tidak adanya makanan", melainkan melawan nafsu itu sendiri yang menuntut pengadaan
lebih dari sekadar makanan.
Puasa adalah penguraian "nafsu" dari "makan". Untuk tidak makan dari subuh hingga maghrib, putra kita yang baru duduk di kelas III Sekolah Dasar saja pun sudah sanggup. Untuk "tidak makan" jauh lebih gampang dan ringan dibanding untuk "tiak bernafsu makan", terutama bagi para penghayat "makan yang sejati".
Seorang Sufi yang taraf pergaulannya dengan makan tinggal hanya berkonteks kesehatan tubuh, dalam hidupnya ia tak pernah lagi ingat makan, kecuali ketika perutnya lapar. Ia bukan merekayasa untuk hanya makan ketika lapar, tapi memang betul-betul sudah tak ingat makan sampai perutnya mengingatkan, bahwa ia lapar.
Untuk ingat lapar, cukup perut yang melakukannya, tapi untuk berhenti makan sebelum kenyang, manusia memerlukan dimensi-dimensi rohani tinggi kemanusiaannya untuk mengingatnya. Ia memerlukan nalar ilmu kesehatan tentang makan yang sehat, yakni tentang kurang dan tak lebih. Ia juga memerlukan ilmu dan kearifan yang lebih tinggi untuk melatih ketepatan kapasitas makan, agar ia memperoleh ketepatan pula dalam aktivitas "makan" yang lain di bidang-bidang kehidupan yang lebih luas.
Dalam pelajaran keaktoran teater, ada metoda "biasakan makan minum yang pas, agar dalam bermain drama engkau tidak overacting dan juga tidak underacting."
Padahal ilmu "makan sejati" atau "makan pas"-nya Rasulullah Muhammad juga berlaku untuk segala makan dalam kehidupan.
Kita masuk ke toko serba ada dengan segala gemerlap yang tidak memanggil-manggil kebutuhan kita, melainkan mengundang nafsu kita. Saya mohon maaf, bukan saya bermaksud
mematikan nafkah para pedagang, tetapi bermilyar-milyar rupiah dikeluarkan orang untuk membeli pelayanan atas nafsu, bukan pelayanan atas kebutuhan.
Program-program pembangunan kita memacu tahyul; mengetalasekan beribu-ribu jenis konsumsi yang tak sejati, yang sebenarnya belum tentu dibutuhkan oleh konsumen. Iklan-iklan industri adalah kendaraan budaya yang mengangkut jutaan manusia dari terminal kebutuhan ke terminal nafsu, dari kesejatian dan kepalsuan. Mereka dicetak untuk merasa rendah atau bahkan merasa tak ada, apabila tidak memiliki celana model ini dan kosmetika model itu. Merk-merk dagang adalah strata tahyul dan klenik. Para pasien di rumah sakit budaya tinggi, budaya gengsi, budaya kelas priyayi, menyerbu warung-warung status modernitas tidak untuk membeli barang, melainkan membeli anggapan-anggapan tentang barang.
Salah satu wajah dunia industri modern adalah tahyul konsumtifisme, yang menjadi sumber dari berbagai konflik serius di bidang persaingan ekonomi, pergulatan kekuasaan politik hingga penyelewengan hukum.
Ini adalah kata-kata "purba", yang terasa lucu dan naif untuk diperdengarkan. Tapi, tak bisa kita menghapusnya, karena setiap orang - setidaknya beberapa hari menjelang ajalnya - akan mendengar kata-kata semacam itu dari lubuk hati dan kesadarannya sendiri.
Puasa mengajarkan dan melatih pelaku-pelakunya untuk makan, untuk memiliki sejumlah uang dan kekayaan, untuk bersedia menggenggam kekuasaan, untuk menjadi ini-itu atau melakukan apa pun saja hanya ketika benar-benar dalam keadaan "lapar sejati", bukan dalam keadaan "merasa lapas karena nafsu".
Jika orang menjalankan puasa dengan pengetahuan, ilmu, cinta, dan ketaqwaan, ia akan terlatih untuk bertahan pada "makan yang sejati". Yakni, terlatih untuk mengambil jarak dari nafsu. Terlatih untuk tidak melakukan penumpukan kuasa dan milik, tidak melakukan monopoli, ketidakadilan, serta penindasan, karena telah diketahui dan dialaminya, bahwa itu semua adalah "makanan palsu".
Tetapi, alangkah sedihnya menyaksikan, betapa dunia ini diisi oleh banyak manusia yang tak henti-hentinya makan, padahal ia tak lapar, serta oleh banyak manusia yang tak habis-habisnya makan, padahal ia sudah amat kekenyangan.
Untunglah, bahwa bagi para pelaku puasa sejati, kesabaran untuk menyaksikan keburaman hidup semacam itu bisa justru meningkatkan perolehan kemuliaan dan kesejatiannya.
(Emha Ainun Nadjib)
Puasa itu jalan sunyi
Tersedia makanan tapi tak dimakan
Tersedia kursi tapi tak diduduki
Tersedia tanah tapi tak dipagari
Puasa itu jalan sunyi
Menggambar tapi tak terlihat
Bernyanyi tapi tak terdengar
Menangis tapi tak diperhatikan
Puasa itu jalan sunyi
Menjadi tanpa eksistensi
Pergi menuju kembali
Hadir tapi tak dikenali
ILMU Rasulullah Muhammad, "hanya makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang", telah menjadi pengetahuan hampir setiap pemeluk Agama Islam, tetapi mungkin belum menjadi ilmu. Puasa demi puasa, Ramadlan demi Ramadlan beserta fatwa demi fatwa yang senantiasa menyertainya dengan segala kerendahan hati harus saya katakan belum cukup mengantarkan kita dari permukaan pengetahuan menuju kedalaman ilmu.
Ada jarak yang tak terkirakan antara pengetahuan dengan ilmu, meskipun khasanah kebahasaan kita dengan kalem menyebut ilmu pengetahuan di lembaran-lembaran kamusnya. Dengan berkunjung ke sebuah museum, kita bisa memperoleh pengetahuan tentang sebilah pedang, lengkap dengan semua data tentang panjang-lebarnya, asal-usul sejarahnya, serta logam suku cadangnya, termasuk berapa kepala yang dulu pernah dipenggalnya.
Tetapi, ilmu baru terjadi tatkala pedang itu telah menyatu dengan tangan kita. Bukan saja kita sanggup menggenggamnya dan mendayagunakannya dengan seribu teknik silat; lebih dari itu ilmu ditandai oleh realitas menyeluruh, di mana pedang itu telah menjadi bagian dari diri kita, bagian dari badan kita, akal pikiran kita, emosi hati kita, termasuk budi dan kearifan jiwa kita.
Pengetahuan barulah tataran terendah dari persyaratan mutu dan aktualitas eksistensi mahluk yang bernama manusia. Tetapi, ilmu pun belumlah "langit" tertinggi dalam kosmos "ahsani taqwin" sebaik-baik mahluk - manusia. Sebab, ilmu pedang bisa merupakan awal mula dari tertikamnya dada seseorang. Oleh karena itu, di atas ilmu si penggenggam kebenaran ada langit lebih tinggi yang bernama hubb atau cinta.
Cinta adalah rem, pembijak, pengatif, yang terkandang nikmat terkadang sakit, bagi kemungkinan pembunuhan atau permusuhan yang dipotensialkan oleh ilmu pedang. Ini berlaku pada skala mana pun, di kesempitan pergaulan sehari-hari hingga di keluasan peradaban.
Adapun jika ilmu jika penghayatan akan kebenaran, bersenyawa, bekerja sama, berkoperasi, berposisi, dan berkelangsungan intermanagable, atau denan kata lain "bersuami-istri dengan hubb" atau cinta maka tercapailah tataran "taqwa".
Tanpa itulah target puasa. Taqwa itulah cakrawala perjalanan kemusliman manusia. Taqwa lebih tinggi dari nilai kebenaran dan nilai cinta. Apalagi dibandingkan tataran norma, hukum formal, adat, serta tabung-tabung formal kultural lainnya dalam komunitas atau kejamaahan umat manusia. Taqwa itu suatu atmosfer yang bukan main menyejukkan, menenteramkan, dan membahagiakan, yang terletak di garis kemungkinan "liga rabb", yakni kemungkinan pertemuan hamba-hamba hina dina macam kita ini dengan Allah. Sekarang bisalah kita membandingkan, apa beda kemungkinannya jika pedang berada di tangan orang berpengetahuan, dengan jika ia tergenggam di tangan orang berilmu saja, atau jika ia tergenggam di tangan orang yang bercinta saja dengan jika ia tergenggam di tangan orang yang bertaqwa.
Kemudian gampanglah bagi kita untuk memproyeksikan: jika pedang itu adalah kekuatan fisik, adalah kekuasan politik, adalah modal dan peluang ekonomi, adalah pasal-pasal hukum, atau apa pun saja. Gampanglah kita perhitungkan: terjaditikaman, siapa yang menikam dan yang tertikam, seberapa dahsyat akibat sejarah dari ketertikaman itu, ataukah mungkin berlangsung suatu ketaqwaan peradaban, di mana pedang tak pernah menikam, di mana ketajaman pedang ditaqwai untuk hanya menguak kesejahteraan dan kebahagiaan bersama.
Makan yang sejati
Rasanya tak enakuntuk memuji-muji Muhammad. Ada situasi psikologis tertentu dalam pergaulan teologis dan kultural di lapangan integrasi nasional kita, yang menjadi sumber ketidakenakan tersebut.
Sepenuhnya saya memahami itu. Secara kultural, untuk situasi semacam itu, saya harus pelti" pujian. Tetapi, dalam konteks ilmu kita tidak bisa menemukan argumentasi apa pun untuk melakukan hal yang sama. Tidak kebetulan bahwa arti harfiah kata "Muhammad adalah juga yang terpuji". Apa yang ingin saya lakukan dengan tulisan ini hanyalah mencicil landasan rasional agar kita berhak menyebut rasul terakhir itu dengan Muhammad. Kalau tak cukup pengetahuan dan ilmu, syukur cinta dan ketaqwaan, maka jika kita memanggilnya dengan mesra "Ya Muhammad kekasih", rasanya kosong, tak ada muatannya. Muhammad menolehkan kepalanya dan melirikkan bola matanya ke arah kita, tetapi hati, nalar dan budinya tak ikut merasa terpanggil, karena panggilan kita memang tanpa nalar, hati dan budi. Beliau pasti kecewa.
"Makan hanya ketika lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang" Adalah formula tentang kesehatan hidup. Tak hanya menyangkut tubuh, tapi juga keseluruhan mental sejarah. Ia adalah contoh soal lebih dari sekadar teori keilmuan tentang keefektifan dan efisiensi.
Selama ini pemahaman-pemahaman nilai budaya kita cenderung mentabukan perut. Orang yang hidupnya terlalu profesional dan hanya mencari uang, kita sebut "diperbudak oleh perut". Para koruptor kita gelari "hamba perut" yang mengorbankan kepentingan negara dan rakyat demi perutnya sendiri.
Padahal ia bukanlah hamba perut. Sebab, kebutuhan perut amat sederhana dan terbatas. Ia sekadar penampung dan distributor sejumlah zat yang diperlukan untuk memelihara kesehatan tubuh. Perut tak pernah mempersoalkan, apakah kita memilih nasi pecel atau pizza, lembur kuring atau masakan Jepang.
Yang menuntut berlebih pertama-tama adalah lidah. Perut tidak menolak untuk disantuni dengan jenis makanan cukup seharga seribu rupiah. Tetapi, lidah mendorong kita harus mengeluarkan sepuluh ribu, seratus ribu, aau terkadang sejuta rupiah.
Mahluk lidah termasuk yang menghuni batas antara jasmani dengan rohani. Satu kaki lidah berpijak di kosmos jasmani, kaki lainnya berpijak di semesta rohani. Dengan kaki yang pertama ia memanggul kompleks tentang rasa dan selera; tak cukup dengan standar 4 sehat 5 sempurna, ia membutuhkan variasi dan kemewahan. Semestinya cukup di warung pojok pasar, tapi bagian lidah yang ini memperkuda manusia untuk mencari berbagai jenis makanan, inovasi dan paradigma teknologi makanan, yang dicari ke seantero kota dan desa. Biayanya menjadi ratusan kali lipat.
Dengan kaki lainnya lidah memikul penyakit yang berasal dari suatu dunia misterius, yang bernama mentalitas, nafsu, serta kecenderungan-kecenderungan aneh yang mensifati budaya manusia. Makan, yang dalam konteks perut hanya berarti menjaga kesehatan, di kaki lidah itu diperluas menjadi bagian dari kompleks kultur, status sosial, gengsi, feodalisme, kepriyayian, serta penyakit-penyakit kejiwaan komunitas manusia lainnya.
Kecenderungan ini membuat makan tidak lagi sejati dengan konteks perut dan kesehatan tubuh, melainkan dipalsukan, dimanipulir atau diartifisialkan menjadi urusan-urusan kultur danperadaban, yang biayanya menjadi amat, sangat mahal. Budaya artifisialisasi makan ini dieksploitasi dan kemudian dipacu oleh etos industrialisasi segala bidang kehidupan, serta disahkan oleh kepercayaan budaya, bahwa harus senantiasa ada proses kreatif: orang menyelenggarakan modifikasi budaya makan, pembaruan teknologi konsumsi, jenis makanannya, panggung tempat makannya, nuansanya, lagu-lagu pengiringnya, pewarnaan meja kursi dindingnya hingga karaokenya.
Artif isia l isasi budaya makan itu akhirnya juga menciptakan berbagai ketergantunan manusia, sehingga agar selamat sejahtera dalam keterlanjuran ketergantungan itu, manusia bernegosiasi di bursa efek, menyunat uang proyek, memborong gunung-gunung dan hutan-hutan, bahkan berperang dan membunuh satu sama lain.
Padahal perut hanya membutuhkan "makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang".
Maka yang bernama "makan sejati" ialah makan yang sungguh-sungguh untuk perut. Adapun yang pada umumnya kita lakukan selama ini adalah "memberi makan kepada nafsu".
Perut amat sangat terbatas dan Allah mengajarinya untuk tahu membatasi diri. Sementara nafsu adalah api yang tak terhingga skala perbesaran atau pemuaiannya. Jika filosofi makan dirobek dan dibocorkan menuju banjir bandang nafsu tak terbatas, jika ia diartifisialkan dan dipalsukan dan tampaknya itulah salah satu saham utama beribu konflik dan ketidakadilan dalam sejarah umat manusia maka sesungguhnya itulah contoh paling konkret dari terbunuhnya efisiensi dan keefektifan. Rekayasa budaya makan pada masyarakat kita, dari naluri sehari-hari hingga aplikasinya di pasal-pasal rancangan pembangunan jangka pendek dan jangka panjang, mengandung inefisiensi atau keborosan dan keserakahan, yang terbukti mengancam alam dan kehidupan manusia sendiri; di samping sangat tidak efektif mencapai hakikat tujuan makan itu sendiri.
Kebutuhan sejati
Aktivitas puasa selalu diartikan - dan memang benar demikian - sebagai peperangan melawan nafsu. Cuma barangkali karena pengetahuan dan ilmu kita tentang musuh yang harus diperangi itu tidak bertambah, maka strategi dan taktik perang kita pun kurang berkembang.
Kalau kita mendengar tentang nafsu makan, asosiasi kita menunjuk ke makan, bukan ke nafsunya. Maka ketika istri kita ke pasar, yang dibeli terutama adalah pesanan-pesanan nafsu, bukan kapasitas kebutuhan makan yang diperlukan. Setiap pelaku puasa punya pengalaman untuk cenderung mendambakan dan menumpuk berbagai jenismakanan dan minuman sepanjang hari, kemudian ketika saat berbuka tiba, ia baru tahu, bahwa perut sama sekali tidak membutuhkan sebanyak dan semewah itu.
Pelajaran yang diperoleh dari peristiwa semacam itu seharusnya adalah kesanggupan memilahkan antara dorongan nafsu dengan kebutuhan makan. Kegiatan puasa jadinya bukanlah pertempuran melawan "tidak boleh makan" atau "tidak adanya makanan", melainkan melawan nafsu itu sendiri yang menuntut pengadaan
lebih dari sekadar makanan.
Puasa adalah penguraian "nafsu" dari "makan". Untuk tidak makan dari subuh hingga maghrib, putra kita yang baru duduk di kelas III Sekolah Dasar saja pun sudah sanggup. Untuk "tidak makan" jauh lebih gampang dan ringan dibanding untuk "tiak bernafsu makan", terutama bagi para penghayat "makan yang sejati".
Seorang Sufi yang taraf pergaulannya dengan makan tinggal hanya berkonteks kesehatan tubuh, dalam hidupnya ia tak pernah lagi ingat makan, kecuali ketika perutnya lapar. Ia bukan merekayasa untuk hanya makan ketika lapar, tapi memang betul-betul sudah tak ingat makan sampai perutnya mengingatkan, bahwa ia lapar.
Untuk ingat lapar, cukup perut yang melakukannya, tapi untuk berhenti makan sebelum kenyang, manusia memerlukan dimensi-dimensi rohani tinggi kemanusiaannya untuk mengingatnya. Ia memerlukan nalar ilmu kesehatan tentang makan yang sehat, yakni tentang kurang dan tak lebih. Ia juga memerlukan ilmu dan kearifan yang lebih tinggi untuk melatih ketepatan kapasitas makan, agar ia memperoleh ketepatan pula dalam aktivitas "makan" yang lain di bidang-bidang kehidupan yang lebih luas.
Dalam pelajaran keaktoran teater, ada metoda "biasakan makan minum yang pas, agar dalam bermain drama engkau tidak overacting dan juga tidak underacting."
Padahal ilmu "makan sejati" atau "makan pas"-nya Rasulullah Muhammad juga berlaku untuk segala makan dalam kehidupan.
Kita masuk ke toko serba ada dengan segala gemerlap yang tidak memanggil-manggil kebutuhan kita, melainkan mengundang nafsu kita. Saya mohon maaf, bukan saya bermaksud
mematikan nafkah para pedagang, tetapi bermilyar-milyar rupiah dikeluarkan orang untuk membeli pelayanan atas nafsu, bukan pelayanan atas kebutuhan.
Program-program pembangunan kita memacu tahyul; mengetalasekan beribu-ribu jenis konsumsi yang tak sejati, yang sebenarnya belum tentu dibutuhkan oleh konsumen. Iklan-iklan industri adalah kendaraan budaya yang mengangkut jutaan manusia dari terminal kebutuhan ke terminal nafsu, dari kesejatian dan kepalsuan. Mereka dicetak untuk merasa rendah atau bahkan merasa tak ada, apabila tidak memiliki celana model ini dan kosmetika model itu. Merk-merk dagang adalah strata tahyul dan klenik. Para pasien di rumah sakit budaya tinggi, budaya gengsi, budaya kelas priyayi, menyerbu warung-warung status modernitas tidak untuk membeli barang, melainkan membeli anggapan-anggapan tentang barang.
Salah satu wajah dunia industri modern adalah tahyul konsumtifisme, yang menjadi sumber dari berbagai konflik serius di bidang persaingan ekonomi, pergulatan kekuasaan politik hingga penyelewengan hukum.
Ini adalah kata-kata "purba", yang terasa lucu dan naif untuk diperdengarkan. Tapi, tak bisa kita menghapusnya, karena setiap orang - setidaknya beberapa hari menjelang ajalnya - akan mendengar kata-kata semacam itu dari lubuk hati dan kesadarannya sendiri.
Puasa mengajarkan dan melatih pelaku-pelakunya untuk makan, untuk memiliki sejumlah uang dan kekayaan, untuk bersedia menggenggam kekuasaan, untuk menjadi ini-itu atau melakukan apa pun saja hanya ketika benar-benar dalam keadaan "lapar sejati", bukan dalam keadaan "merasa lapas karena nafsu".
Jika orang menjalankan puasa dengan pengetahuan, ilmu, cinta, dan ketaqwaan, ia akan terlatih untuk bertahan pada "makan yang sejati". Yakni, terlatih untuk mengambil jarak dari nafsu. Terlatih untuk tidak melakukan penumpukan kuasa dan milik, tidak melakukan monopoli, ketidakadilan, serta penindasan, karena telah diketahui dan dialaminya, bahwa itu semua adalah "makanan palsu".
Tetapi, alangkah sedihnya menyaksikan, betapa dunia ini diisi oleh banyak manusia yang tak henti-hentinya makan, padahal ia tak lapar, serta oleh banyak manusia yang tak habis-habisnya makan, padahal ia sudah amat kekenyangan.
Untunglah, bahwa bagi para pelaku puasa sejati, kesabaran untuk menyaksikan keburaman hidup semacam itu bisa justru meningkatkan perolehan kemuliaan dan kesejatiannya.
BERCINTA DENGANKU

oleh: white_mermaid
Aku ingin bercinta. Sungguh. Aku ingin bersatu denganmu. Rindu akan bisikan cintamu nan mesra. Haus akan belaianmu. Menikmati pelukanmu. Rakus akan kecupanmu. Merasakan debar jantungmu berpadu dengan debar jantungku. Bersama denganmu melayang tinggi menuju surga, perlahan tapi pasti. Aku ingin bercinta. Denganmu. Mengapa? Aku tak tahu. Aku hanya tahu aku memiliki gairah ini, untukmu.
Aku tak pernah membayangkan akan seperti ini jadinya ketika kita pertama kali berkenalan. Kau yang begitu sopan dan kaku, dan aku yang pemalu. Kombinasi yang membosankan, konservatif, kuno, atau apapun sebutannya. Kita tak pernah membicarakan hal yang bersangkut paut dengan cinta, apalagi tentang bercinta. Kita hanya berusaha saling mengenal, saling memahami diri kita masing-masing. Dan selama kita bersama itu, tak pernah terpikir olehku aku akan terbius oleh cintamu, akan tergoda oleh gairahmu, sampai aku ingin bercinta denganmu. Aku tak suka disentuh dan menyentuh, terutama oleh lawan jenisku. Aku tak suka ketika pertama kali kau menyentuhku, walaupun itu kau lakukan secara tak sengaja. Katamu kau juga tak pernah menyentuh perempuan.
Lalu mengapa seiring dengan bergulirnya waktu dan kedekatan kita, kau menyentuh aku? Dan mengapa aku membiarkan diriku disentuh, bahkan aku sendiri rindu untuk menyentuh kamu? Aku terpesona. Aku kagum. Aku heran. Tapi aku takut melihat cepatnya deru hubungan fisik kita. Lebih cepat daripada menguapnya embun pagi yang menetes di daun saat fajar tiba, tanganku sudah berada dalam genggamanmu. Tak sampai matahari membakar sisa hujan musim ini, aku berada di pelukmu. Sebelum dedaunan kembali tumbuh setelah gugur, aku hanyut dalam kecupmu.
Aku takut. Aku ngeri. Ini terlalu cepat bagiku. Aku tak lagi mengerti diriku sendiri, tak lagi memahami tubuhku. Aku ngeri pada diriku. Diriku telah berkhianat karena aku tak dapat mencegah diriku untuk tidak menyentuh kamu. Aku juga tak dapat memarahi diriku yang menikmati sentuhanmu, mendambakan belaianmu. Mengapa kau tidak takut? Karena kau telah iap memberi hatimu seutuhnya padaku, itu jawabannya. Sedangkan aku? Aku tak mau, aku tak bisa menyerahkan hatiku, memberikan seluruh hidupku, hanya kepada satu orang saja. Aku tak rela melihat diriku sendiri terikat pada satu mahluk.
Aku egois katamu? Oh ya, aku memang egois. Aku tak mau diriku ada dalam kekuasaan seseorang. Kau tahu saat terlemah bagi orang terkuat di dunia? Itu adalah saat ketika dia membuka hatinya untuk mencintai. Cinta adalah senjata paling ampuh di dunia ini. Cinta sanggup menorehkan luka yang tak akan pernah sembuh. Dan aku ak bersedia dilukai. Aku tak mau membuka hatiku. Aku tak mau jatuh cinta. Namun nyatanya, aku menggelepar dalam binar matamu. Aku hanyut dalam pelukanmu.
Aku leleh dalam hangatnya ciumanmu. Aku yang kuat seorang diri, tak butuh orang lain, yang tak suka sentuhan fisik, tertawan olehmu ketika pertama kali kau memelukku. Tak bisa lepas darimu saat pertama kau menciumku. Aku pernah dipeluk dan dicium, tentu saja. Justru kau-lah perjaka dalam ciuman itu. Namun ternyata aku-lah yang jatuh semakkin dalam. Aku tak mau itu. Aku tak rela berada dalam kekuasaan cinta.
Aku takut. Tapi, tahukah kau, aku terkadang berpikir. Benarkah cinta yang kurasakan atau hanyalah gairah, nafsu belaka? Kalau ini cinta, mengapa aku masih bersikap egois? Bukankah cinta dapat mengubah keegoisan seseorang menjdi penuh rasa memahami orang yang dicintai? Kalau ini hanya gairah, mengapa aku selalu ingin yang terbaik untuk dirimu? Karena cinta berarti kau rela memberikan apapun untuk melihat pujaan hatimu bahagia? Mungkinkah gairah ini adalah buah dari cinta yang kurasakan? Satu hal yang pasti, aku tak pernah puas mereguk manis kecupanmu, hangat pelukmu, erat genggaman tanganmu, halus belaianmu. Aku ingin lebih. Aku ingin semua yang ada di dirimu.
Aku penasaran dengan tubuhmu, bagaimana rasanya ketika tubuhmu menyatu dengan tubuhku, ketika kecupanmu di tanganku saja mampu membuatku melayang tinggi. Aku menginginkanmu. Murni laksana embun. Aku hanya menginginkanmu. Andai saja aku bisa bercinta dengamu. Tanpa syarat. Tanpa tuntutan apapun setelah itu. Biarkan semua berjalan seperti apa adanya. Aku hanya ingin menikmati katika gairah yang kupendam untukmu meledak, berpendar, bergaung, bersama dirimu. Namun itu tak mungkin. Tak ada satu perbuatan pun yang tak memiliki imbalan. Itu hukum dunia. Hanya saja...bisakah suatu saat kkita berpura-pura menjadi dua manusia yang tak ingat masa lalu, tak punya masa depan, hanya dapat menggenggam masa kini.
Tak punya hak, tak memiliki kewajiban apapun, hanya kebutuhan dan keinginan untuk saling memuaskan. Dengan begitu, kita bisa bercinta. Hanya saat itu saja, biarkan dunia menjadi milik kita berdua, kita tidak dikenal dan mengenal siapapun. Hanya ada kita, dan cinta, serta gairah. Bercintalah denganku, karena aku tahu kau menyimpan gairah yang sama. Make love with me, will you?
AddThis Social Bookmark Button
Senin, Agustus 03, 2009
Selamat Ulang Tahun Timut...
3 Agustus 2009, hari senin ini adalah ulang tahun mas Dwi yang biasa aku panggil dengan sebutan Timut, yang ke 49. Tidak ada hal yang istimewa yang aku sediakan pagi ini untuknya, hanya ciuman mesra untuknya yang aku berikan dan sebaris doa agar dia tetap panjang usia, sehat, dan tetap sabar mendampingi aku.
Ada rencana malam nanti aku akan ajak ke Jimbaran, makan malam bersama anak-anak.. aku sudah menyiapkan voucher sejak satu bulan yang lalu untuk hari istimewa ini.
Sebetulnya ada satu permintaanku yang ingin dipegang oleh mas Dwi, aku ingin dia menjagaku agar aku tidak "hilang" di curi orang. Aku bilang padanya yang antri di belakang mas Dwi cukup panjang, dan menunggu kelengahanku juga kelengahan mas Dwi. Ibarat Rahwana yang siap menerbangkan Dewi Shinta. Cuma ketika Dewi Sinta "hilang" masih ada Hanoman yang mengejar Rahwana dan menyelamatkan Dewi Shinta... Lha kalau aku yang hilang? siapa yang mau repot-repot cari aku, lagian aku pasti tidak berani terjun kedalam kobaran api seperti yang dilakukan Dewi Shinta untuk membuktikan kesetiaan pada pasangannya Prabu Rama. Karena Timut tahu, aku kadang tidak setia padanya, jadi buat apa pembuktian api itu?
Ah, Timut selamat ulang tahun.... semoga masih ada waktu untuk membangun rumah di dekat hutan pinus dan cemara, rumah mungil saja yang penuh jendela kaca, untuk kita berdua mengisi sisa usia...
Ada rencana malam nanti aku akan ajak ke Jimbaran, makan malam bersama anak-anak.. aku sudah menyiapkan voucher sejak satu bulan yang lalu untuk hari istimewa ini.
Sebetulnya ada satu permintaanku yang ingin dipegang oleh mas Dwi, aku ingin dia menjagaku agar aku tidak "hilang" di curi orang. Aku bilang padanya yang antri di belakang mas Dwi cukup panjang, dan menunggu kelengahanku juga kelengahan mas Dwi. Ibarat Rahwana yang siap menerbangkan Dewi Shinta. Cuma ketika Dewi Sinta "hilang" masih ada Hanoman yang mengejar Rahwana dan menyelamatkan Dewi Shinta... Lha kalau aku yang hilang? siapa yang mau repot-repot cari aku, lagian aku pasti tidak berani terjun kedalam kobaran api seperti yang dilakukan Dewi Shinta untuk membuktikan kesetiaan pada pasangannya Prabu Rama. Karena Timut tahu, aku kadang tidak setia padanya, jadi buat apa pembuktian api itu?
Ah, Timut selamat ulang tahun.... semoga masih ada waktu untuk membangun rumah di dekat hutan pinus dan cemara, rumah mungil saja yang penuh jendela kaca, untuk kita berdua mengisi sisa usia...
Ingin belikan mama rumah
Pagi ini saya ke stasiun Pasar Turi, jemput anakku mbarep si Ridho liburan kuliah. Sebetulnya dia sudah libur sejak dua bulan yang lalu, tapi saya tidak ingin dia nganggur selama liburan yang cukup lama. Karena itu saya beri 3 opsi untuk mengisi liburannya. Pertama kerja dengan memberi les, kursus bahasa asing, atau ambil semester pendek. Kebetulan di UI tempatnya dia menuntut ilmu ada semester pendek, yang biayanya dihitung per SKS. Jadi dia ambil opsi yang ketiga, tapi dengan konsekuensi saya harus menyediakan tambahan biaya dan saya harus menahan kangen untuk tidak ketemu anakku ini selama dia ambil semester pendek itu.
Pagi ini, perasaan saya senang luar biasa, saya bangga dan terharu melihat dedek piadhek-nya Ridho. Rasa kangen saya tumpahkan dengan memberikan ciuman dan pelukan padanya. Saya tanyakan juga rencananya untuk ambil beasiswa. Dia bilang banyak tawaran beasiswa tapi syaratnta yang belum bisa dipenuhi, karena harus mempunyai tabungan dan ATM sendiri. Nah, untuk punya tabungan dan ATM sendiri, dia harus memiliki KTP. Sedangkan untuk mendapatkan KTP usianya harus 17 tahun. Sedangkan dia baru berusia 16 tahun, dan usia 17 tahun nanti baru jatuh pada 24 Oktober 2009. Memang ketika masuk di UI usianya baru menjelang 15 tahun. Jadi selama ini ATM-nya atas nama Bapaknya.
Kemudian saya tanya kabar "pacar"-nya. Dulu waktu dia bilang kalau sedang jatuh cinta sama temannya satu kelas di SMA, saya cemas dan kuatir, namun yang sesungguhnya adalah saya belum siap anak saya ini punya pacar. Pagi itu saya kaget, ternyata dia bilang kalau sudah putus. Dan saya kaget sekaligus bangga ketika dia mengatakan alasannya. Dia bilang pertama tidak boleh ustaz (ha ha ha..., saya tertawa dalam hati, tentu saja dia tidak tahu kalau saya tertawa). kedua dia ingin konsentrasi kuliah dulu, karena menurutnya pelajaran di UI membutuhkan konsentrasi yang sangat tinggi ditambah dengan kesibukkan organisasinya, sehingga telepon dan SMS dari sang idolanya dianggap mengganggu konsentrasinya. dan ketiga, yang membuat saya terharu (jika tadi dalam hati membuat saya tertawa, kali ini ucapannya membuat saya menangis....), dia pingin sebelum menikah membelikan rumah dulu buat mama, membantu beaya adiknya kuliah, baru dia mikirkan yang lain, menikah misalnya.
Tak pelak ucapannya dengan mimik yang serius dan mencureng (alisnya tebal kata bapaknya kayak saya), mebuat saya merinding, bangga, terharu dan entah... luar biasa! Kulihat bapaknya menahan airmatanya .... Dia melanjutkan lagi, bahwa putusnya dengan pacarnya secara baik-baik, dia bilang, akan tetap setia dengan pacarnya, cuma dia belum mau berpikir secara serius. Kalau seandainya pacarnya akan berpaling dia tidak apa-apa, tapi kau pacarnya mau menunggunya juga gak apa-apa, dia lebih suka itu. Dia bilang, mendorong pacarnya untuk konsentrasi ke kuliah dulu masing-masing, menyenagkan orang tua dulu.
Ah, pagi ini ... betul-betul luar biasa, terimakasih Tuhan, telah memberikan mutiara yang sangat luar biasa padaku...
Saya jadi teringat dua tahun yang lalu, ketika saya diterima menjadi mahasiswa S3 ITS dengan beasiswa DIKTI, namun ketika adaa pemberitahuan bahwa saya harus menempuh perkuliahan beberapa bulan di luar negeri, suami tidak memberikan respon. Dia bilang saya nanti akan kehilangan momen perkembangan anak-anak saya. Dan ketika saya meminta pendapat si Ridho yang saat itu masih kelas 2 SMA, dia bilang mama nanti kalau meninggal tidak ditanya lulusan apa, tapi yang ditanaya mama ngopeni anaknya tidak? Maka bercucuranlah airmata saya... dua hari saya menangis sampai sembab. Menangis karena saya harus melepas kuliah S3 ini, dan menangis dengan keras, karena anak saya butuh perhatian ibu-nya tidak butuh S3 ibunya.
Memang seandainya saya ambil S3, maka saya akan kehilangan momen untuk mendampingi dan mensupport Ridho, kehilangan momen melihat adiknya ( si Ian) yang semakin menggemaskan, ucapan Ridho menyadarkan saya, kehadiran ibunya lebih berharga daripada apapun juga....
Pagi ini, perasaan saya senang luar biasa, saya bangga dan terharu melihat dedek piadhek-nya Ridho. Rasa kangen saya tumpahkan dengan memberikan ciuman dan pelukan padanya. Saya tanyakan juga rencananya untuk ambil beasiswa. Dia bilang banyak tawaran beasiswa tapi syaratnta yang belum bisa dipenuhi, karena harus mempunyai tabungan dan ATM sendiri. Nah, untuk punya tabungan dan ATM sendiri, dia harus memiliki KTP. Sedangkan untuk mendapatkan KTP usianya harus 17 tahun. Sedangkan dia baru berusia 16 tahun, dan usia 17 tahun nanti baru jatuh pada 24 Oktober 2009. Memang ketika masuk di UI usianya baru menjelang 15 tahun. Jadi selama ini ATM-nya atas nama Bapaknya.
Kemudian saya tanya kabar "pacar"-nya. Dulu waktu dia bilang kalau sedang jatuh cinta sama temannya satu kelas di SMA, saya cemas dan kuatir, namun yang sesungguhnya adalah saya belum siap anak saya ini punya pacar. Pagi itu saya kaget, ternyata dia bilang kalau sudah putus. Dan saya kaget sekaligus bangga ketika dia mengatakan alasannya. Dia bilang pertama tidak boleh ustaz (ha ha ha..., saya tertawa dalam hati, tentu saja dia tidak tahu kalau saya tertawa). kedua dia ingin konsentrasi kuliah dulu, karena menurutnya pelajaran di UI membutuhkan konsentrasi yang sangat tinggi ditambah dengan kesibukkan organisasinya, sehingga telepon dan SMS dari sang idolanya dianggap mengganggu konsentrasinya. dan ketiga, yang membuat saya terharu (jika tadi dalam hati membuat saya tertawa, kali ini ucapannya membuat saya menangis....), dia pingin sebelum menikah membelikan rumah dulu buat mama, membantu beaya adiknya kuliah, baru dia mikirkan yang lain, menikah misalnya.
Tak pelak ucapannya dengan mimik yang serius dan mencureng (alisnya tebal kata bapaknya kayak saya), mebuat saya merinding, bangga, terharu dan entah... luar biasa! Kulihat bapaknya menahan airmatanya .... Dia melanjutkan lagi, bahwa putusnya dengan pacarnya secara baik-baik, dia bilang, akan tetap setia dengan pacarnya, cuma dia belum mau berpikir secara serius. Kalau seandainya pacarnya akan berpaling dia tidak apa-apa, tapi kau pacarnya mau menunggunya juga gak apa-apa, dia lebih suka itu. Dia bilang, mendorong pacarnya untuk konsentrasi ke kuliah dulu masing-masing, menyenagkan orang tua dulu.
Ah, pagi ini ... betul-betul luar biasa, terimakasih Tuhan, telah memberikan mutiara yang sangat luar biasa padaku...
Saya jadi teringat dua tahun yang lalu, ketika saya diterima menjadi mahasiswa S3 ITS dengan beasiswa DIKTI, namun ketika adaa pemberitahuan bahwa saya harus menempuh perkuliahan beberapa bulan di luar negeri, suami tidak memberikan respon. Dia bilang saya nanti akan kehilangan momen perkembangan anak-anak saya. Dan ketika saya meminta pendapat si Ridho yang saat itu masih kelas 2 SMA, dia bilang mama nanti kalau meninggal tidak ditanya lulusan apa, tapi yang ditanaya mama ngopeni anaknya tidak? Maka bercucuranlah airmata saya... dua hari saya menangis sampai sembab. Menangis karena saya harus melepas kuliah S3 ini, dan menangis dengan keras, karena anak saya butuh perhatian ibu-nya tidak butuh S3 ibunya.
Memang seandainya saya ambil S3, maka saya akan kehilangan momen untuk mendampingi dan mensupport Ridho, kehilangan momen melihat adiknya ( si Ian) yang semakin menggemaskan, ucapan Ridho menyadarkan saya, kehadiran ibunya lebih berharga daripada apapun juga....
Langganan:
Postingan (Atom)