Seperti halnya kebiasaan di bulan Ramadhan, kita selalu menyediakan takjil yang dikirimkan ke masjid-masjid, agar mereka yang berpuasa segera dapat berbuka puasa. Mula-mula sayapun juga menyediakan takjil untuk teman-teman jamaah yang berada di Masjid Masyitoh, di kawasan Mulyosari. Kadang saya kirim, terkadang pula mereka ambil sekitar pukul lima sore atau menjelang maghrib.
Namun sejak adik saya yang juga jamaah di sana mengatakan, kalau takjil banyak yang nyediakan tapi kalau sahur tidak ada. Para jamaah ini butuh sahur dan mereka tidak sempat beli, bahkan terkadang tidak ada dana untuk sahur. Mereka sibuk tadarus, apalagi saat minggu terakhir bulan Ramadhan, bisa dipastikan akan banyak jamaah yang bertadarus dan itikaf. Adik saya bertanya apakah saya bisa menyediakan sahur untuk teman-temannya? Sayapun menyanggupi, mengingat sayapun ketika kost juga mengalami ha yang sama, tapi saya mohon agar diambil karena saya tidak ada kendaraan untuk mengantarkan ke sana.
Maka sejak saat itu sampai sekarang sudah hampir sembilan tahun saya selalu menyempatan diri untuk menyediakan sahur mereka. Makanan sahur yang saya masak sejak pukul 19.00 atau terkadang sepulang dari sholat Taraweh saya siapkan di teras rumah, dan akan diambil sekitar pukul 23.00 - 24.00 WIB. Nasi dan lauk-nya saya pisah. Tapi saya tidak pernah menyediakan menu ayam, karena teman-teman masjid tidak makan ayam potong yang dijual di pasar, kecuali ayam yang disembelih sendiri. Menu yang saya buatpun sederhana.
Setiap tahun, yang mengambil sahur ini orangnya selalu bergantian. Jadi saya selalu menemui wajah baru. Yang dulunya bertugas mengambil sahur, pada tahun berikutnya sudah bekerja atau lulus kuliah, atau sudah menikah. Jadi selalu saja ada penggantinya. Dan saya sendiri belum satu kalipun mengikuti pengajian di Masjid Masyitoh ini, juga belum pernah sholat taraweh di sana. Sekali saya ke sana untuk sholat maghrib dan isya berjamaah serta tasykauran, ketika akan menyunatkan anak saya. Pada saat itulah Pak Suwandi sang ustadz
memperkenalkan saya, inilah wajah yang mengirimkan sahur setiap ramadhan.
Sahur yang saya kirimkan ke masjid MAsjitoh ini sesungguhnya adalah manifestasi dari balas dendam ketika saya kesulitan untuk sahur ketika kuliah dulu. Waktu saya kost, setiap sahur dan buka saya sering nimbrung di tempat kost sahabat, karena memang keuangan saya sangat ngepas untuk buat makan. Mengetahui hal ini, ibu kost saya yang bernama Bu Syarifudin mengajak saya sahur bersama. JAdilah malam-malam ramadhan saya dan hanya ibu kost makan saur bersama yang disediakan pembantunya. Ibu Kost saya ini berusia sekitar 72 tahun, tidak memiliki anak dan hidup hanya dengan pembantunya saja. Saya adalah penghuni nomor tiga, yang sudah dianggap anak olehnya.
Sejak saat itu, saya ingin, kelak bisa menyediakan sahur buat orang-orang yang tidak bisa sahur. Selain dengan masjid Masyitoh, pelampiasan dendam saya juga saya lampiaskan ke anak-anak kost di rumah. Mula-mula saya hanya menyediakan untuk 2 orang yang kost di rumah. Setiap pukul setengah tiga pagi, saya ketuk pintu kamar mereka untuk sahur. Kemudian tahun berikutnya meningkat menjadi 4 orang, dan sekarang menjadi sekitar 8 orang. Jika mereka mengajak temannya belajar bersama, saya juga meminta agar temannya itu pun ikut sahur juga.
Kini terbersit keinginan, saya ingin menyediakan sahur juga bagi mereka yang tidak bisa sahur. Saya ingin siapa saja yang butuh sahur, tapi tidak punya uang untuk beli makanan, silahkan datang ke rumah. Saya ingin menyediakan di teras rumah, dekat lapangan basket yang dibuat mas Dwi, suami saya. Kalau banyak anak-anak main basket setiap sore di rumah saya, seharusnya lapangan basket itupun juga bisa berfungsi untuk sahur gratis.
Tapi mas Dwi sepertinya tidak setuju dengan gagasan saya. Dia bilang saya akan merugikan usaha pedagang makanan, warung-warung yang berjualan karena mereka yang seharusnya membeli, beralih ke tempat saya. Saya bilang, saya meneydiakan untuk mereka yang memang tidak bisa membeli makanan sahur. Mas Dwi mengatakan, bisa saja yang datang ke tempat saya adalah orang yang seharusnya bisa membeli di penjual-penjual makanan. Dan saya termasuk orang yang merugikan pedagang.
Sungguh saya tidak ada niatan untuk merugikan orang lain, dan saya juga tidak ingin pamer. Saya hanya ingin agar para tukang becak, satpam, anak-anak kost yang orang tuanya tidak mampu bisa ikut menikmati masakan saya. Jika seandainya yag datang adalah mereka yang mampu membeli, itu di luar prediksi saya. Dan saya yakin, Tuhan tidak akan mematikan para pedagang itu. Saya selalu yakin ada faktor X, faktor keajaiban diluar prediksi dan hitung-hitungan statistik maupun rumus manusia. Mas Dwi adalah pakar statistik, dan dia selalu menghitung probabilitas, menghitung prediksi dan kemungkinan-kemungkinan. Sedangkan saya adalah orang yang mempercayai bahwa ada kekuatan yang menakjubkan diluar perkiran dan prediksi. Air mata saya hampir menetes, ketika saya memutuskan tidak menyediakan sahur di lapangan basket. Apalah artinya jika mas Dwi tidak mendukungku?
Jika anda membaca ini tolong kirimkan pendapat anda pada email saya so_puri@yahoo.com, karena pada blog ini tidak saya sediakan kolom komentar. Terimakasih.