Senin, Agustus 03, 2009

Ingin belikan mama rumah

Pagi ini saya ke stasiun Pasar Turi, jemput anakku mbarep si Ridho liburan kuliah. Sebetulnya dia sudah libur sejak dua bulan yang lalu, tapi saya tidak ingin dia nganggur selama liburan yang cukup lama. Karena itu saya beri 3 opsi untuk mengisi liburannya. Pertama kerja dengan memberi les, kursus bahasa asing, atau ambil semester pendek. Kebetulan di UI tempatnya dia menuntut ilmu ada semester pendek, yang biayanya dihitung per SKS. Jadi dia ambil opsi yang ketiga, tapi dengan konsekuensi saya harus menyediakan tambahan biaya dan saya harus menahan kangen untuk tidak ketemu anakku ini selama dia ambil semester pendek itu.

Pagi ini, perasaan saya senang luar biasa, saya bangga dan terharu melihat dedek piadhek-nya Ridho. Rasa kangen saya tumpahkan dengan memberikan ciuman dan pelukan padanya. Saya tanyakan juga rencananya untuk ambil beasiswa. Dia bilang banyak tawaran beasiswa tapi syaratnta yang belum bisa dipenuhi, karena harus mempunyai tabungan dan ATM sendiri. Nah, untuk punya tabungan dan ATM sendiri, dia harus memiliki KTP. Sedangkan untuk mendapatkan KTP usianya harus 17 tahun. Sedangkan dia baru berusia 16 tahun, dan usia 17 tahun nanti baru jatuh pada 24 Oktober 2009. Memang ketika masuk di UI usianya baru menjelang 15 tahun. Jadi selama ini ATM-nya atas nama Bapaknya.

Kemudian saya tanya kabar "pacar"-nya. Dulu waktu dia bilang kalau sedang jatuh cinta sama temannya satu kelas di SMA, saya cemas dan kuatir, namun yang sesungguhnya adalah saya belum siap anak saya ini punya pacar. Pagi itu saya kaget, ternyata dia bilang kalau sudah putus. Dan saya kaget sekaligus bangga ketika dia mengatakan alasannya. Dia bilang pertama tidak boleh ustaz (ha ha ha..., saya tertawa dalam hati, tentu saja dia tidak tahu kalau saya tertawa). kedua dia ingin konsentrasi kuliah dulu, karena menurutnya pelajaran di UI membutuhkan konsentrasi yang sangat tinggi ditambah dengan kesibukkan organisasinya, sehingga telepon dan SMS dari sang idolanya dianggap mengganggu konsentrasinya. dan ketiga, yang membuat saya terharu (jika tadi dalam hati membuat saya tertawa, kali ini ucapannya membuat saya menangis....), dia pingin sebelum menikah membelikan rumah dulu buat mama, membantu beaya adiknya kuliah, baru dia mikirkan yang lain, menikah misalnya.

Tak pelak ucapannya dengan mimik yang serius dan mencureng (alisnya tebal kata bapaknya kayak saya), mebuat saya merinding, bangga, terharu dan entah... luar biasa! Kulihat bapaknya menahan airmatanya .... Dia melanjutkan lagi, bahwa putusnya dengan pacarnya secara baik-baik, dia bilang, akan tetap setia dengan pacarnya, cuma dia belum mau berpikir secara serius. Kalau seandainya pacarnya akan berpaling dia tidak apa-apa, tapi kau pacarnya mau menunggunya juga gak apa-apa, dia lebih suka itu. Dia bilang, mendorong pacarnya untuk konsentrasi ke kuliah dulu masing-masing, menyenagkan orang tua dulu.

Ah, pagi ini ... betul-betul luar biasa, terimakasih Tuhan, telah memberikan mutiara yang sangat luar biasa padaku...

Saya jadi teringat dua tahun yang lalu, ketika saya diterima menjadi mahasiswa S3 ITS dengan beasiswa DIKTI, namun ketika adaa pemberitahuan bahwa saya harus menempuh perkuliahan beberapa bulan di luar negeri, suami tidak memberikan respon. Dia bilang saya nanti akan kehilangan momen perkembangan anak-anak saya. Dan ketika saya meminta pendapat si Ridho yang saat itu masih kelas 2 SMA, dia bilang mama nanti kalau meninggal tidak ditanya lulusan apa, tapi yang ditanaya mama ngopeni anaknya tidak? Maka bercucuranlah airmata saya... dua hari saya menangis sampai sembab. Menangis karena saya harus melepas kuliah S3 ini, dan menangis dengan keras, karena anak saya butuh perhatian ibu-nya tidak butuh S3 ibunya.

Memang seandainya saya ambil S3, maka saya akan kehilangan momen untuk mendampingi dan mensupport Ridho, kehilangan momen melihat adiknya ( si Ian) yang semakin menggemaskan, ucapan Ridho menyadarkan saya, kehadiran ibunya lebih berharga daripada apapun juga....