
Rabu, Mei 20, 2009
Senin, Mei 18, 2009
DOA ANAK YATIM
Sebenarnya ada rasa tidak enak di hati, ketika saya menuliskan nama-nama di secarik kertas untuk dimintakan doa kepada anak-anak yatim asuhan Pak Yono. Nama-nama itu mulai dari almarhum Ibu, Bapak, adik serta nama-nama seluruh keluarga besar kami. Rasa tidak enak itu muncul, karena sepertinya saya kok berdagang dengan para anak Yatim yang dikasihi oleh Allah SWT ini. Berdagang yang saya maksud adalah, kami mengundang mereka, dengan niatan syukuran atas kesembuhan sakit kakak perempuan saya yang sempat dirawat hampir 2 minggu di RS Husada Utama dan sempat mengalami tidak sadar beberapa jam sebelum dirawat di rumah sakit tersebut. Tapi mengundang mereka juga diiringi dengan harapan bantuan doa dari anak-anak yang disebutkan namanya di beberapa ayat Al-Qur'an, dan yang lebih implisit dijelaskan di surat Al Ma'un itu. Inilah yang saya maksud degan berdagang. Memberi kepada anak yatim tapi meminta imbalan doa. Saya tidak melihat keiklashan di sana, saya memberi tapi pamrih. Sungguh saat itu saya tidak memakai rasa malu yang diberikan oleh ALLAH. Saya meminta banyak pada anak-anak yang harusnya dilindungi ini namun memberi hanya sekedarnya.
Rasa tidak enak itu semakin menyeruak, ketika Ustaz Yono pimpinan pondok anak-anak yatim ini membacakan doa bersama-sama anak asuhannya, dalam hati saya juga berdoa, agar ALLAH melimpahkan rahmat kepada Pak Yono dan anak-anak Yatim ini, memberikan kehidupan yang mulia pada mereka serta kehidupan yang indah dan bermanfaat. Serta permohonan maaf kepada mereka karena saya telah berdagang dan membeli doa mereka...
Acara mengundang anak yatim ini, muncul secara tiba-tiba sebagai rasa syukur atas kesembuhan kakak saya. Memang ketika dikabari kakak perempuan saya sakit, kami adik-adiknya cukup cemas, karena kondisi kakak saya ini memang beberapa kali keluar masuk rumah sakit. Walaupun profesinya adalah seorang dokter di Tulungagung tapi ternyata dia juga kurang begitu disiplin terhadap dirinya sendiri.
Ketika sore itu suaminya menghubungi saya dan mengabarkan kondisi kakak saya kritis, dan koma dia meminta saya untuk segera ke Tulungagung agar bisa mendampingi kakak saya ini. Setengah jam kemudian dia telepon kembali dan mengabarkan saya tidak perlu ke Tulungagung karena oleh koleganya akan dikirim ke RS Husada Utama Surabaya.
Bayangan saya kondisi kakak perempuan saya pasti mengkhawatirkan. Maka saya yang seyogyanya akan melakukan perjalanan dinas ke Denpasar selama 3 hari, terpaksa saya batalkan. Dan saya menghubungi kakak perempuan saya yang satunya untuk membicarakan apa yang harus kita lakukan.
"Kita coba minta doa anak Yatim Pur" saran kakakku ini. Aku menyetujuinya, karena dalam hati saya juga percaya doa anak Yatim sungguh akan mampu menjebolkan langit. Anak Yatim adalah salah satu dari makhluk Tuhan yang dikasihi oleh ALLAH SWT, karena Tuhan senantiasa ada pada diri mereka.
"Setelah itu kita ke masjid Masyitoh mbak, mintakan doa sekalian kepada Ustaznya" saranku.
"Kamu Bawa uang berapa" tanya kakakku
"Ada kok nanti kita beri yayasan anak yatimnya juga infak ke masjid Masyitoh " kataku.
Dalam hati saya mulai merasakan "aroma" dagang jual beli doa ini. Duh Gusti, mohon ampunan-MU, tidak ada satupun yang tahu apa yang ada di dalam hati ini, kecuali ENGKAU wahai ZAT Yang Maha Agung...
Setelah kami mengunjungi dan meminta bantuan doa itu, saya menelpon suami kakak saya yang sakit ini. "Mbak Nuk, sudah sadar dik..." katanya ketika saya menanyakan perkembangan kondisi kakak saya.
"Alhamdulillah..." merinding saya, betapa ALLAH telah melakukan hal di luar nalar kami, entah ini bonus dari ALLAH karena doa anak yatim dan jamaah masjid Masyitoh. Padahal menurut ipar saya ini, lima dokter spesialis(anastesi, penyakit dalam, jantung, syaraf dan paru) sepertinya sudah tidak tahu lagi akan berbuat bagaimana terhadap kakak saya. Hal ini dikarenakan kondisi kakak saya yang drop dan tak sadar. Begitu sadar, dokter Laksmi sahabat kakak saya langsung merujuk sekaligus menemaninya ke RS Husada Utama. Saya semakin terharu, karena dokter Laksmi menyempaatkan diri menginap di Surabaya hanya untuk memantau dan mengkonsulkan penyakit kakak saya ke koleganya.
Karena itu, kemarin kami menggelar doa dan sholat jamaah dengan mengundang anak-anak yatim. Ketika saya bertanya kenapa tidak kami saja yang datang ke lokasi anak-anak ini? Pak Yono pemimpin anak-anak yatim di Kletek ini bilang, sebaiknya dia dan anak-anak yatim yang berjumlah 40 orang ini yang datang ke rumah untuk sholat jamaah dan doa bersama.
AKhirnya maghrib kemarin, melantunlah doa-doa dari Pak Yono yang diikuti dengan suara bening anak-anak yatim. Suara itu sungguh membuat sembilu di hati saya... kebeningan tatapan dan kejernihan suara mereka merontokkan air mata saya. Ketulusan dan keiklsahan mereka membuat saya tidak mampu berkata-kata, sungguh tidak sebanding dengan bingkisan dan uang yang mereka bawa pulang.
"Ya ALLAH, berikan kemulyaan pada anak-anak yatim ini, jadikan mereka orang-orang yang berhati mulya, orang-orang yang mandiri dan orang-orang mendapatkan limpahan rezeki-MU..." doa saya ini saya ucapkan disela-sela bacaan doa dari ustaz Yono, dan ketika anak-anak mengaimini apa yang dibacakan oleh Ustaz mereka, sayapun berharap para malaikat juga mengamini doa saya ini.
Rasa tidak enak itu semakin menyeruak, ketika Ustaz Yono pimpinan pondok anak-anak yatim ini membacakan doa bersama-sama anak asuhannya, dalam hati saya juga berdoa, agar ALLAH melimpahkan rahmat kepada Pak Yono dan anak-anak Yatim ini, memberikan kehidupan yang mulia pada mereka serta kehidupan yang indah dan bermanfaat. Serta permohonan maaf kepada mereka karena saya telah berdagang dan membeli doa mereka...
Acara mengundang anak yatim ini, muncul secara tiba-tiba sebagai rasa syukur atas kesembuhan kakak saya. Memang ketika dikabari kakak perempuan saya sakit, kami adik-adiknya cukup cemas, karena kondisi kakak saya ini memang beberapa kali keluar masuk rumah sakit. Walaupun profesinya adalah seorang dokter di Tulungagung tapi ternyata dia juga kurang begitu disiplin terhadap dirinya sendiri.
Ketika sore itu suaminya menghubungi saya dan mengabarkan kondisi kakak saya kritis, dan koma dia meminta saya untuk segera ke Tulungagung agar bisa mendampingi kakak saya ini. Setengah jam kemudian dia telepon kembali dan mengabarkan saya tidak perlu ke Tulungagung karena oleh koleganya akan dikirim ke RS Husada Utama Surabaya.
Bayangan saya kondisi kakak perempuan saya pasti mengkhawatirkan. Maka saya yang seyogyanya akan melakukan perjalanan dinas ke Denpasar selama 3 hari, terpaksa saya batalkan. Dan saya menghubungi kakak perempuan saya yang satunya untuk membicarakan apa yang harus kita lakukan.
"Kita coba minta doa anak Yatim Pur" saran kakakku ini. Aku menyetujuinya, karena dalam hati saya juga percaya doa anak Yatim sungguh akan mampu menjebolkan langit. Anak Yatim adalah salah satu dari makhluk Tuhan yang dikasihi oleh ALLAH SWT, karena Tuhan senantiasa ada pada diri mereka.
"Setelah itu kita ke masjid Masyitoh mbak, mintakan doa sekalian kepada Ustaznya" saranku.
"Kamu Bawa uang berapa" tanya kakakku
"Ada kok nanti kita beri yayasan anak yatimnya juga infak ke masjid Masyitoh " kataku.
Dalam hati saya mulai merasakan "aroma" dagang jual beli doa ini. Duh Gusti, mohon ampunan-MU, tidak ada satupun yang tahu apa yang ada di dalam hati ini, kecuali ENGKAU wahai ZAT Yang Maha Agung...
Setelah kami mengunjungi dan meminta bantuan doa itu, saya menelpon suami kakak saya yang sakit ini. "Mbak Nuk, sudah sadar dik..." katanya ketika saya menanyakan perkembangan kondisi kakak saya.
"Alhamdulillah..." merinding saya, betapa ALLAH telah melakukan hal di luar nalar kami, entah ini bonus dari ALLAH karena doa anak yatim dan jamaah masjid Masyitoh. Padahal menurut ipar saya ini, lima dokter spesialis(anastesi, penyakit dalam, jantung, syaraf dan paru) sepertinya sudah tidak tahu lagi akan berbuat bagaimana terhadap kakak saya. Hal ini dikarenakan kondisi kakak saya yang drop dan tak sadar. Begitu sadar, dokter Laksmi sahabat kakak saya langsung merujuk sekaligus menemaninya ke RS Husada Utama. Saya semakin terharu, karena dokter Laksmi menyempaatkan diri menginap di Surabaya hanya untuk memantau dan mengkonsulkan penyakit kakak saya ke koleganya.
Karena itu, kemarin kami menggelar doa dan sholat jamaah dengan mengundang anak-anak yatim. Ketika saya bertanya kenapa tidak kami saja yang datang ke lokasi anak-anak ini? Pak Yono pemimpin anak-anak yatim di Kletek ini bilang, sebaiknya dia dan anak-anak yatim yang berjumlah 40 orang ini yang datang ke rumah untuk sholat jamaah dan doa bersama.
AKhirnya maghrib kemarin, melantunlah doa-doa dari Pak Yono yang diikuti dengan suara bening anak-anak yatim. Suara itu sungguh membuat sembilu di hati saya... kebeningan tatapan dan kejernihan suara mereka merontokkan air mata saya. Ketulusan dan keiklsahan mereka membuat saya tidak mampu berkata-kata, sungguh tidak sebanding dengan bingkisan dan uang yang mereka bawa pulang.
"Ya ALLAH, berikan kemulyaan pada anak-anak yatim ini, jadikan mereka orang-orang yang berhati mulya, orang-orang yang mandiri dan orang-orang mendapatkan limpahan rezeki-MU..." doa saya ini saya ucapkan disela-sela bacaan doa dari ustaz Yono, dan ketika anak-anak mengaimini apa yang dibacakan oleh Ustaz mereka, sayapun berharap para malaikat juga mengamini doa saya ini.
KANG SEJO MELIHAT TUHAN
Bukan salah saya kalau suatu hari saya ceramah agama di
depan sejumlah mahasiswa Monash yang, satu di antaranya,
Islamnya menggebu. Artinya, Islam serba berbau Arab. Jenggot
mesti panjang. Ceramah mesti merujuk ayat, atau Hadis. Lauk
mesti halal meat. Dan, semangat mesti ditujukan buat
meng-Islam-kan orang Australia. Tanpa itu semua jelas tidak
Islami.
Saya pun dicap tidak Islami. Iman saya campur aduk dengan
wayang. Dus, kalau pakai kaca mata Geertz, seislam-islamnya
saya, saya ini masih Hindu. Memang salah saya, sebab ketika
itu saya main ibarat: Gatutkaca itu sufi. Ia satria-pandita.
Tiap saat seperti tidur, padahal berzikir qolbi. Jasad di
bumi, roh menemui Tuhan. Ini turu lali, mripat turu, ati
tangi: mata tidur hati melek, seperti olah batin dalam dunia
kaum sufi.
Biar masih muda, hidup Gatutkaca seimbang, satu kaki di
dunia satu lagi di akhirat. Mirip Nabi Daud: hari ini puasa,
sehari esoknya berbuka. Dan saya pun dibabat ...
Juli tahun lalu saya dijuluki Gus Dur sebagai orang yang
doanya pendek. Bukan harfiah cuma berdoa sebentar.
Maksudnya, tak banyak doa yang saya hafal. Namun, yang tak
banyak itu saya amalkan.
"Dan itu betul. Artinya, banyak ilmu ndak diamalkan buat
apa?" kata Pak Kiai sambil bergolek-golek di Hotel
Sriwedari, Yogya. Apa yang lebih indah dalam hidup ini,
selain amal yang memperoleh pengakuan Romo Kiai? Saya merasa
hidup jadi kepenak, nikmat.
Dalam deretan Sufi, Al Adawiah disebut "raja." Wanita ini
hamba yang total. Hidupnya buat cinta. Gemerlap dunia tak
menarik berkat pesona lain: getaran cinta ilahi. Pernah ia
berkata, "Bila Kau ingin menganugerahi aku nikmat duniawi,
berikan itu pada musuh-musuh-Mu. Dan bila ingin Kau
limpahkan padaku nikmat surgawi, berikanlah pada
sahabat-sahabat-Mu. Bagiku, Kau cukup."
Ini tentu berkat ke-"raja"-annya. Lumrah. Lain bila itu
terjadi pada Kang Sejo. Ia tukang pijit -maaf, Kang, saya
sebut itu- tunanetra.
Kang Sejo pendek pula doanya. Bahasa Arab ia tak tahu.
Doanya bahasa Jawa: Gusti Allah ora sare (Allah tak pernah
tidur): potongan ayat Kursi itu. Zikir ia kuat. Soal ruwet
apa pun yang dihadapi, wiridannya satu: "Duh, Gusti, Engkau
yang tak pernah tidur ..." Cuma itu.
"Memang sederhana, wong hidup ini pun dasarnya juga
sederhana," katanya, sambil memijit saya.
Saya tertarik cara hidupnya. Saya belajar. Guru saya ya
orang macam ini, antara lain. Rumahnya di Klender.
Kantornya, panti pijat itu, di sekitar Blok M. Ketika saya
tanya, apa yang dilakukannya di sela memijit, dia bilang,
"Zikir Duh, Gusti ..." Di rumah, di jalan, di tempat kerja,
di mana pun, doanya ya Duh, Gusti ... itu. Satu tapi jelas
di tangan.
"Berapa kali Duh Gusti dalam sehari?" tanya saya.
"Tidak saya hitung."
"Lho, apa tak ada aturannya? Para santri kan dituntun kiai,
baca ini sekian ribu, itu sekian ribu," kata saya
"Monggo mawon (ya, terserah saja)," jawabnya. "Tuhan memberi
kita rezeki tanpa hitungan, kok. Jadi, ibadah pun tanpa
hitungan."
"Sampeyan itu seperti wali, lo, Kang," saya memuji.
"Monggo mawon. Ning (tapi) wali murid." Dia lalu ketawa.
Diam-diam ia sudah naik haji. Langganan lama, seorang
pejabat, mentraktirnya ke Tanah Suci tiga tahun yang lalu.
'Senang sampeyan, Kang, sudah naik haji?"
"Itu kan rezeki. Dan rezeki datang dari sumber yang tak
terduga," katanya.
"Ayat menyebutkan itu, Kang."
"Monggo mawon. Saya tidak tahu."
Ketularan bau Arab, saya tanya kenapa doanya bahasa Jawa.
"Apa Tuhan tahunya cuma bahasa Arab?"
"Kalau sampeyan Dah Duh Gusti di bis apa penumpang lain ..."
"Dalam hati, Mas. Tak perlu diucapkan."
Ia, konon, pernah menolak zakat dari seorang tetangganya.
Karena disodor-sodori, ia menyebut, "Duh, Gusti, yang tak
pernah tidur ..." Pemberi zakat itu, entah bagaimana,
ketakutan. Ia mengaku uang itu memang kurang halal. Ia minta
maaf.
"Mengapa sampeyan tahu uang zakat itu haram"? tanya saya.
"Rumah saya tiba-tiba panas. Panaaaas sekali."
"Kok sampeyan tahu panas itu akibat si uang haram?"
"Gusti Allah ora sare, Mas," jawabnya.
Ya, saya mengerti, Kang Sejo. Ibarat berjalan, kau telah
sampai. Dalam kegelapan matamu kau telah melihatNya. Dan
aku? Aku masih dalam taraf terpesona. Terus-menerus
---------------
Mohammad Sobary, Tempo 12 Januari 1991
depan sejumlah mahasiswa Monash yang, satu di antaranya,
Islamnya menggebu. Artinya, Islam serba berbau Arab. Jenggot
mesti panjang. Ceramah mesti merujuk ayat, atau Hadis. Lauk
mesti halal meat. Dan, semangat mesti ditujukan buat
meng-Islam-kan orang Australia. Tanpa itu semua jelas tidak
Islami.
Saya pun dicap tidak Islami. Iman saya campur aduk dengan
wayang. Dus, kalau pakai kaca mata Geertz, seislam-islamnya
saya, saya ini masih Hindu. Memang salah saya, sebab ketika
itu saya main ibarat: Gatutkaca itu sufi. Ia satria-pandita.
Tiap saat seperti tidur, padahal berzikir qolbi. Jasad di
bumi, roh menemui Tuhan. Ini turu lali, mripat turu, ati
tangi: mata tidur hati melek, seperti olah batin dalam dunia
kaum sufi.
Biar masih muda, hidup Gatutkaca seimbang, satu kaki di
dunia satu lagi di akhirat. Mirip Nabi Daud: hari ini puasa,
sehari esoknya berbuka. Dan saya pun dibabat ...
Juli tahun lalu saya dijuluki Gus Dur sebagai orang yang
doanya pendek. Bukan harfiah cuma berdoa sebentar.
Maksudnya, tak banyak doa yang saya hafal. Namun, yang tak
banyak itu saya amalkan.
"Dan itu betul. Artinya, banyak ilmu ndak diamalkan buat
apa?" kata Pak Kiai sambil bergolek-golek di Hotel
Sriwedari, Yogya. Apa yang lebih indah dalam hidup ini,
selain amal yang memperoleh pengakuan Romo Kiai? Saya merasa
hidup jadi kepenak, nikmat.
Dalam deretan Sufi, Al Adawiah disebut "raja." Wanita ini
hamba yang total. Hidupnya buat cinta. Gemerlap dunia tak
menarik berkat pesona lain: getaran cinta ilahi. Pernah ia
berkata, "Bila Kau ingin menganugerahi aku nikmat duniawi,
berikan itu pada musuh-musuh-Mu. Dan bila ingin Kau
limpahkan padaku nikmat surgawi, berikanlah pada
sahabat-sahabat-Mu. Bagiku, Kau cukup."
Ini tentu berkat ke-"raja"-annya. Lumrah. Lain bila itu
terjadi pada Kang Sejo. Ia tukang pijit -maaf, Kang, saya
sebut itu- tunanetra.
Kang Sejo pendek pula doanya. Bahasa Arab ia tak tahu.
Doanya bahasa Jawa: Gusti Allah ora sare (Allah tak pernah
tidur): potongan ayat Kursi itu. Zikir ia kuat. Soal ruwet
apa pun yang dihadapi, wiridannya satu: "Duh, Gusti, Engkau
yang tak pernah tidur ..." Cuma itu.
"Memang sederhana, wong hidup ini pun dasarnya juga
sederhana," katanya, sambil memijit saya.
Saya tertarik cara hidupnya. Saya belajar. Guru saya ya
orang macam ini, antara lain. Rumahnya di Klender.
Kantornya, panti pijat itu, di sekitar Blok M. Ketika saya
tanya, apa yang dilakukannya di sela memijit, dia bilang,
"Zikir Duh, Gusti ..." Di rumah, di jalan, di tempat kerja,
di mana pun, doanya ya Duh, Gusti ... itu. Satu tapi jelas
di tangan.
"Berapa kali Duh Gusti dalam sehari?" tanya saya.
"Tidak saya hitung."
"Lho, apa tak ada aturannya? Para santri kan dituntun kiai,
baca ini sekian ribu, itu sekian ribu," kata saya
"Monggo mawon (ya, terserah saja)," jawabnya. "Tuhan memberi
kita rezeki tanpa hitungan, kok. Jadi, ibadah pun tanpa
hitungan."
"Sampeyan itu seperti wali, lo, Kang," saya memuji.
"Monggo mawon. Ning (tapi) wali murid." Dia lalu ketawa.
Diam-diam ia sudah naik haji. Langganan lama, seorang
pejabat, mentraktirnya ke Tanah Suci tiga tahun yang lalu.
'Senang sampeyan, Kang, sudah naik haji?"
"Itu kan rezeki. Dan rezeki datang dari sumber yang tak
terduga," katanya.
"Ayat menyebutkan itu, Kang."
"Monggo mawon. Saya tidak tahu."
Ketularan bau Arab, saya tanya kenapa doanya bahasa Jawa.
"Apa Tuhan tahunya cuma bahasa Arab?"
"Kalau sampeyan Dah Duh Gusti di bis apa penumpang lain ..."
"Dalam hati, Mas. Tak perlu diucapkan."
Ia, konon, pernah menolak zakat dari seorang tetangganya.
Karena disodor-sodori, ia menyebut, "Duh, Gusti, yang tak
pernah tidur ..." Pemberi zakat itu, entah bagaimana,
ketakutan. Ia mengaku uang itu memang kurang halal. Ia minta
maaf.
"Mengapa sampeyan tahu uang zakat itu haram"? tanya saya.
"Rumah saya tiba-tiba panas. Panaaaas sekali."
"Kok sampeyan tahu panas itu akibat si uang haram?"
"Gusti Allah ora sare, Mas," jawabnya.
Ya, saya mengerti, Kang Sejo. Ibarat berjalan, kau telah
sampai. Dalam kegelapan matamu kau telah melihatNya. Dan
aku? Aku masih dalam taraf terpesona. Terus-menerus
---------------
Mohammad Sobary, Tempo 12 Januari 1991
KESALEHAN SOSIAL , KESALEHAN RITUAL



Ketika dalam Robohnya Surau Kami A.A. Navis memasukkan Haji
Saleh (yang yakin bakal masuk sorga itu) ke neraka,
sebenarnya ia sedang berbicara tentang suatu corak keagamaan
yang tak ia "restui". Navis sedang menggugat kesalehan
ritual: jenis kesalehan yang ukurannya ditentukan
berdasarkan seberapa taat seseorang menjalankan salat lima
waktu, seberapa panjang zikir-zikir sesudah salat, dan
seberapa sering salat sunat ia lakukan.
Pendek kata, kesalehan itu ditentukan berdasarkan ukuran
serba legal formal sebagaimana kata ajaran. Dan biasanya,
untuk ini ada-ada saja orang yang merasa memiliki otoritas
buat menilai kredibilitas moral orang lain. Ia menjadi
semacam tim pemeriksa dan penilai keimanan orang lain.
Islam bukan agama individual. Ajaran yang dibawa Gusti
Kanjeng Nabi Muhammad itu, dari "atas" memang dirancang buat
rahmat bagi semesta alam. Orang yang paling saleh pun dengan
demikian tak punya hak monopoli atas agama itu.
Kita tak berhak menentukan tingkat kesalehan tetangga
sebelah. Dan tak satu pun di antara kita punya wewenang
"mengontrol" ibadah orang lain. Terutama bila hal itu
disertai sikap sinis dan cemooh, seperti Haji Saleh dalam
Robohnya Surau Kami itu.
Kita tahu Bang Navis orang Minang dan ia sedang bicara
tentang situasi kultural Minang. Tapi corak keagamaan itu
tak dengan sendirinya cuma milik orang Minang. Di Jawa pun,
pada saat yang sama, tiga puluhan tahun yang lalu, ketika
perpecahan ideologi kultural kuat mewarnai kehidupan
masyarakat, gejala serupa juga menonjol. Terjadinya
polarisasi santri-abangan, sebagaimana dirumuskan Clifford
Geertz, adalah produk zaman tersebut.
Namun juga tak berarti cuma milik zaman itu. Sekarang pun,
setelah tiga puluhan tahun yang berlalu, kecenderungan
agamis seperti itu toh masih juga terasa. Maka pada tahun
1980-an, ketika Gus Dur giat menganjurkan agar kita
istirahat sebentar dari kesibukan berdebat tentang batalnya
wudlu, untuk khusyuk bersama-sama memikirkan bagaimana
kemiskinan umat ditangani, ia seperti memberi jawaban atas
persoalan yang merunyamkan A.A. Navis tersebut.
Dengan kata lain, Gus Dur sedang berbicara tentang kesalehan
sosial: suatu bentuk kesalehan yang tak cuma ditandai oleh
rukuk dan sujud, melainkan juga oleh cucuran keringat dalam
praksis hidup keseharian kita.
Orang semacam Gus Dur dan mayoritas umat yang miskin tentu
saja juga memerlukan penyelamatan sorgawi seperti Haji Saleh
itu. Bedanya, Haji saleh mengesankan sikap hidup egoistis,
ingin mencari selamat sendiri, sedangkan Gus Dur tampak
altruis, ingin menikmati penyelamatan sorgawi bersama umat.
Kalau boleh, mungkin mau masuk sorga dengan sandal kulitnya
itu sekaligus.
Kecuali itu, Haji Saleh yakin bahwa sorga bisa digapai
dengan kesalehan ritual. Gus Dur melihat bahwa sorga justru
(setelah melihat konteks sosio-ekonomis umat yang
compang-camping) harus lebih diraih dengan kesalehan sosial.
Usahanya "menerobos" pintu Bank Summa untuk melakukan kerja
sama ekonomi dengan membuka BPR, misalnya, jelas mempertegas
wawasan keagamaannya.
Dalam kitab suci disebutkan bahwa sorga itu ada
tingkatan-tingkatannya. Tanpa menodai ajaran, saya sering
menafsirkan bahwa rasanya, sekarang pun saya sudah menikmati
sebagian kenyamanan sorga itu. Maka, tafsiran saya
selanjutnya, sorga bagi rakyat kecil, mayoritas umat yang
miskin tentu juga sederhana tingkatannya: yakni sekadar buat
pemenuhan kebutuhan jasmani (sandang, pangan, papan). Buat
kebutuhan rohani, (membaca salawat buat Kanjeng Nabi, maupun
segala puja dan puji kepada Allah) tentu dirasa sebagai
kebutuhan luks. Dus, belum merupakan kebutuhan primer.
Tafsiran serupa saya dengar pernah dibuat oleh seorang
pastur muda yang arif. Sehabis mengkhotbahi habis-habisan
para "domba" yang miskin, ia antar mereka pulang. Di tengah
nyala obor, di sepanjang jalan licin dan becek di daerah
Malang, terjadilah dialog antara sang pastur dan dan para
jemaahnya. Sang pastur kemudian menyimpulkan: saya ini
keliru. Kongkret, mereka butuh makan. Tapi saya beri mereka
cerita tentang sorga, cinta kasih, dan Tuhan Bapa ...
Pemikiran keagamaan seperti ini ternyata juga bukan monopoli
kaum terpelajar, seperti Romo Pastur muda tadi. Di Desa
Ciater, Serpong, tempat saya melakukan penelitian tentang
hubungan antara agama dan tingkah laku ekonomi, saya temukan
seorang haji tua, pedagang kecil, yang beranggapan bahwa
kesalehan itu terletak dalam praksis, bukan dalam doa-doa.
Ketika saya tanyakan kepadanya, orang yang bagaimana yang
disebut sebagai orang saleh, Haji Asnen bin Haji Thalib itu
menjawab:
"Orang yang menyeimbangkan ushali dan usaha," katanya.
Baginya, kedua hal itu harus diseimbangkan. Namun, jika ia
harus memilih, ia akan lebih memilih yang kedua dulu.
"Mengapa?" tanya saya.
"Karena kalau anak-anak lapar, kita harus memberikan jawab
kongkret: kasih makan. Dan makan itu kita peroleh dari
usaha."
"Doa mah kaga enak dimakan," katanya lagi.
Dengan kata lain, haji dari Betawi ini pun sedang bicara
bahwa dalam kondisi tertentu, kesalehan sosial terasa agak
lebih, dan karena itu perlu didahulukan dari kesalehan
ritual. Dengan begini, gugatan Navis kini terasa berdengung
kembali dan memperoleh lagi relevansinya.
Bukan haji kalau ia tak bisa memperkuat argumentasinya
dengan contoh kuat. Maka, Haji Asnen pun mengutip sebuah
Hadis.
Katanya, seorang sahabat pernah memuji kesalehan orang lain
di depan Kanjeng Nabi.
"Mengapa ia kau sebut sangat saleh?" tanya Gusti Kanjeng
Nabi Muhammad SAW.
"Soalnya, tiap saya masuk masjid ini dia sudah salat dengan
khusyuk dan tiap saya sudah pulang, dia masih saja khusyuk
berdoa."
"Lho, lalu siapa yang memberinya makan dan minum?" tanya
Kanjeng Nabi lagi.
"Kakaknya," sahut sahabat tersebut.
"Kakaknya itulah yang layak disebut saleh," sahut Kanjeng
Nabi lebih lanjut. Sahabat itu diam. Sebuah pengertian baru
terbentuk dalam benaknya.
Ukuran kesalehan, dengan begitu, menjadi lebih jelas
diletakkan pada tindakan nyata. Kesalehan, jadinya, lalu
dilihat dampak kongkretnya dalam kehidupan sosial. Tentu
saja, hanya kesalehan sosial yang bisa diukur dengan cara
seperti itu.
Dalam agama, sebenarnya kedua corak kesalehan itu merupakan
wajah sebuah kemestian yang tak usah ditawar. Secara
normatif, keduanya haruslah merupakan bagian hidup tiap-tiap
hamba.
Kita, pendeknya, selalu diminta tampil ideal. Artinya,
secara ritual kita saleh, secara sosial pun kita mestinya
saleh juga.
Maka, betapa pun pahitnya harus diakui bahwa memang, silang
selisih antara mereka yang lebih menggarisbawahi kesalehan
ritual dengan mereka yang lebih memilih kesalehan sosial
masih bisa terjadi terus-menerus. Ini tak menjadi soal.
Sebab, bukankah silang selisih itu sendiri merupakan sebuah
dialog untuk mencapai takaran ideal itu juga?
---------------
Mohammad Sobary, Jawa Pos, Minggu Legi, 29 Desember 1991
DOA KANG SUTO
Pernah saya tinggal di Perumnas Klender. Rumah itu dekat
mesjid yang sibuk. Siang malam orang pada ngaji. Saya tak
selalu bisa ikut. Saya sibuk ngaji yang lain.
Lingkungan sesak itu saya amati. Tak cuma di mesjid. Di
rumah-rumah pun setiap habis magrib saya temui kelompok
orang belajar membaca Al Quran. Anak-anak, ibu-ibu dan
bapak-bapak, di tiap gang giat mengaji. Ustad pun diundang.
Di jalan Malaka bahkan ada kelompok serius bicara sufisme.
Mereka cabang sebuah tarekat yang inti ajarannya berserah
pada Tuhan. Mereka banyak zikir. Solidaritas mereka kuat.
Semangat agamis, pendeknya, menyebar di mana-mana.
Dua puluh tahun lebih di Jakarta, tak saya temukan corak
hidup macam itu sebelumnya. Saya bertanya: gejala apa ini?
Saya tidak heran Rendra dibayar dua belas juta untuk membaca
sajak di Senayan. Tapi, melihat Ustad Zainuddin tiba-tiba
jadi superstar pengajian (ceramahnya melibatkan panitia,
stadion, puluhan ribu jemaah dan honor besar), sekali lagi
saya dibuat bertanya: jawaban sosiologis apa yang harus
diberikan buat menjelaskan gairah Islam, termasuk di
kampus-kampus sekular kita? Benarkah ini wujud santrinisasi?
Di Klender yang banyak mesjid itu saya mencoba menghayati
keadaan. Sering ustad menasihati, "Hiasi dengan bacaan
Quran, biar rumahmu teduh."
Para "Unyil" ke mesjid, berpici dan ngaji. Pendeknya, orang
seperti kemarok terhadap agama.
Dalam suasana ketika tiap orang yakin tentang Tuhan, muncul
Kang Suto, sopir bajaj, dengan jiwa gelisah. Sudah lama ia
ingin salat. Tapi salat ada bacaan dan doanya. Dan dia tidak
tahu. Dia pun menemui pak ustad untuk minta bimbingan,
setapak demi setapak.
Ustad Betawi itu memuji Kang Suto sebagai teladan. Karena,
biarpun sudah tua, ia masih bersemangat belajar. Katanya,
"Menuntut ilmu wajib hukumnya, karena amal tanpa ilmu tak
diterima. Repotnya, malaikat yang mencatat amal kita cuma
tahu bahasa Arab. Jadi wajib kita paham Quran agar amal kita
tak sia-sia."
Setelah pendahuluan yang bertele-tele, ngaji pun dimulai.
Alip, ba, ta, dan seterusnya. Tapi di tingkat awal ini Kang
Suto sudah keringat dingin. Digebuk pun tak bakal ia bisa
menirukan pak ustad. Di Sruweng, kampungnya, 'ain itu tidak
ada. Adanya cuma ngain. Pokoknya, kurang lebih, ngain.
"Ain, Pak Suto," kata Ustad Bentong bin H. Sabit.
"Ngain," kata Kang Suto.
"Ya kaga bisa nyang begini mah," pikir ustad.
Itulah hari pertama dan terakhir pertemuan mereka yang
runyem itu. Tapi Kang Suto tak putus asa. Dia cari guru
ngaji lain. Nah, ketemu anak PGA. Langsung Kang Suto
diajarinya baca Al-Fatihah.
"Al-kham-du ...," tuntun guru barunya.
"Al-kam-ndu ...," Kang Suto menirukan. Gurunya bilang,
"Salah."
"Alkhamdulillah ...," panjang sekalian, pikir gurunya itu.
"Lha kam ndu lilah ...," Guru itu menarik napas. Dia merasa
wajib meluruskan. Dia bilang, bahasa Arab tidak sembarangan.
Salah bunyi lain arti. Bisa-bisa kita dosa karena mengubah
arti Quran.
Kang Suto takut. "Mau belajar malah cari dosa," gerutunya.
Ia tahu, saya tak paham soal kitab. Tapi ia datang ke rumah,
minta pandangan keagamaan saya.
"Begini Kang," akhirnya saya menjawab. "Kalau ada ustad yang
bisa menerima ngain, teruskan ngaji. Kalau tidak, apa boleh
buat. Salat saja sebisanya. Soal diterima tidaknya, urusan
Tuhan. Lagi pula bukan bunyi yang penting. Kalau Tuhan
mengutamakan ain, menolak ngain, orang Sruweng masuk neraka
semua, dan surga isinya cuma Arab melulu."
Kang Suto mengangguk-angguk.
Saya ceritakan kisah ketika Nabi Musa marah pada orang yang
tak fasih berdoa. Beliau langsung ditegur Tuhan. "Biarkan,
Musa. Yang penting ketulusan hati, bukan kefasihan
lidahnya."
"Sira guru nyong," (kau guruku) katanya, gembira.
Sering kami lalu bicara agama dengan sudut pandang Jawa.
Kami menggunakan sikap semeleh, berserah, pada Dia yang
Mahawelas dan Asih. Dan saya pun tak berkeberatan ia zikir,
"Arokmanirokim," (Yang Pemurah, Pengasih).
Suatu malam, ketika Klender sudah lelap dalam tidurnya, kami
salat di teras mesjid yang sudah tutup, gelap dan sunyi. Ia
membisikkan kegelisahannya pada Tuhan.
"Ya Tuhan, adakah gunanya doa hamba yang tak fasih ini.
Salahkah hamba, duh Gusti, yang hati-Nya luas tanpa batas
..."
Air matanya lalu bercucuran. Tiba-tiba dalam penglihatannya,
mesjid gelap itu seperti mandi cahaya. Terang-benderang. Dan
kang Suto tak mau pulang. Ia sujud, sampai pagi ...
---------------
Mohammad Sobary, Editor, No.21/Thn.IV/2 Februari 1991
mesjid yang sibuk. Siang malam orang pada ngaji. Saya tak
selalu bisa ikut. Saya sibuk ngaji yang lain.
Lingkungan sesak itu saya amati. Tak cuma di mesjid. Di
rumah-rumah pun setiap habis magrib saya temui kelompok
orang belajar membaca Al Quran. Anak-anak, ibu-ibu dan
bapak-bapak, di tiap gang giat mengaji. Ustad pun diundang.
Di jalan Malaka bahkan ada kelompok serius bicara sufisme.
Mereka cabang sebuah tarekat yang inti ajarannya berserah
pada Tuhan. Mereka banyak zikir. Solidaritas mereka kuat.
Semangat agamis, pendeknya, menyebar di mana-mana.
Dua puluh tahun lebih di Jakarta, tak saya temukan corak
hidup macam itu sebelumnya. Saya bertanya: gejala apa ini?
Saya tidak heran Rendra dibayar dua belas juta untuk membaca
sajak di Senayan. Tapi, melihat Ustad Zainuddin tiba-tiba
jadi superstar pengajian (ceramahnya melibatkan panitia,
stadion, puluhan ribu jemaah dan honor besar), sekali lagi
saya dibuat bertanya: jawaban sosiologis apa yang harus
diberikan buat menjelaskan gairah Islam, termasuk di
kampus-kampus sekular kita? Benarkah ini wujud santrinisasi?
Di Klender yang banyak mesjid itu saya mencoba menghayati
keadaan. Sering ustad menasihati, "Hiasi dengan bacaan
Quran, biar rumahmu teduh."
Para "Unyil" ke mesjid, berpici dan ngaji. Pendeknya, orang
seperti kemarok terhadap agama.
Dalam suasana ketika tiap orang yakin tentang Tuhan, muncul
Kang Suto, sopir bajaj, dengan jiwa gelisah. Sudah lama ia
ingin salat. Tapi salat ada bacaan dan doanya. Dan dia tidak
tahu. Dia pun menemui pak ustad untuk minta bimbingan,
setapak demi setapak.
Ustad Betawi itu memuji Kang Suto sebagai teladan. Karena,
biarpun sudah tua, ia masih bersemangat belajar. Katanya,
"Menuntut ilmu wajib hukumnya, karena amal tanpa ilmu tak
diterima. Repotnya, malaikat yang mencatat amal kita cuma
tahu bahasa Arab. Jadi wajib kita paham Quran agar amal kita
tak sia-sia."
Setelah pendahuluan yang bertele-tele, ngaji pun dimulai.
Alip, ba, ta, dan seterusnya. Tapi di tingkat awal ini Kang
Suto sudah keringat dingin. Digebuk pun tak bakal ia bisa
menirukan pak ustad. Di Sruweng, kampungnya, 'ain itu tidak
ada. Adanya cuma ngain. Pokoknya, kurang lebih, ngain.
"Ain, Pak Suto," kata Ustad Bentong bin H. Sabit.
"Ngain," kata Kang Suto.
"Ya kaga bisa nyang begini mah," pikir ustad.
Itulah hari pertama dan terakhir pertemuan mereka yang
runyem itu. Tapi Kang Suto tak putus asa. Dia cari guru
ngaji lain. Nah, ketemu anak PGA. Langsung Kang Suto
diajarinya baca Al-Fatihah.
"Al-kham-du ...," tuntun guru barunya.
"Al-kam-ndu ...," Kang Suto menirukan. Gurunya bilang,
"Salah."
"Alkhamdulillah ...," panjang sekalian, pikir gurunya itu.
"Lha kam ndu lilah ...," Guru itu menarik napas. Dia merasa
wajib meluruskan. Dia bilang, bahasa Arab tidak sembarangan.
Salah bunyi lain arti. Bisa-bisa kita dosa karena mengubah
arti Quran.
Kang Suto takut. "Mau belajar malah cari dosa," gerutunya.
Ia tahu, saya tak paham soal kitab. Tapi ia datang ke rumah,
minta pandangan keagamaan saya.
"Begini Kang," akhirnya saya menjawab. "Kalau ada ustad yang
bisa menerima ngain, teruskan ngaji. Kalau tidak, apa boleh
buat. Salat saja sebisanya. Soal diterima tidaknya, urusan
Tuhan. Lagi pula bukan bunyi yang penting. Kalau Tuhan
mengutamakan ain, menolak ngain, orang Sruweng masuk neraka
semua, dan surga isinya cuma Arab melulu."
Kang Suto mengangguk-angguk.
Saya ceritakan kisah ketika Nabi Musa marah pada orang yang
tak fasih berdoa. Beliau langsung ditegur Tuhan. "Biarkan,
Musa. Yang penting ketulusan hati, bukan kefasihan
lidahnya."
"Sira guru nyong," (kau guruku) katanya, gembira.
Sering kami lalu bicara agama dengan sudut pandang Jawa.
Kami menggunakan sikap semeleh, berserah, pada Dia yang
Mahawelas dan Asih. Dan saya pun tak berkeberatan ia zikir,
"Arokmanirokim," (Yang Pemurah, Pengasih).
Suatu malam, ketika Klender sudah lelap dalam tidurnya, kami
salat di teras mesjid yang sudah tutup, gelap dan sunyi. Ia
membisikkan kegelisahannya pada Tuhan.
"Ya Tuhan, adakah gunanya doa hamba yang tak fasih ini.
Salahkah hamba, duh Gusti, yang hati-Nya luas tanpa batas
..."
Air matanya lalu bercucuran. Tiba-tiba dalam penglihatannya,
mesjid gelap itu seperti mandi cahaya. Terang-benderang. Dan
kang Suto tak mau pulang. Ia sujud, sampai pagi ...
---------------
Mohammad Sobary, Editor, No.21/Thn.IV/2 Februari 1991
WOLO WOLO KUWATO
Dalam sebuah bacaan pesantren disebutkan kisah seorang ahli
ibadah. Siang malam kerjanya berdoa melulu hingga istrinya
marah karena tak ada lagi yang bisa dimakan. "Barang apa
yang hidup merayap perlu makan. Carilah pekerjaan, Bang,
karena sudah terbukti doa tak bisa dimakan," gerutu
istrinya.
Tak enak didengar tetangga, ia berjanji mau bekerja. Ini
hanya dalih semata. Sebab, sebenarnya, ia pergi ke gua agar
bisa berdoa lebih khusyuk tanpa dicereweti sang istri. Pagi
hari berangkat, sorenya baru pulang. Kepada istri ia
berbohong bahwa majikannya akan membayar jerih payahnya
sekaligus kelak, setelah beberapa lama bekerja.
Suatu sore istrinya memasak aneka makanan. Ia heran, dari
mana semua itu diperoleh? Tapi, belum sempat ditanya, si
istri menjelaskan bahwa utusan majikan suaminya tadi datang
mengantar bahan pangan dan sejumlah uang. "Baru aku berdoa
sebentar, sudah Kaukirim bayaran begitu banyaknya," gumam
orang itu. Makin yakin ia pada kemurahan Tuhan, makin edan
ia berdoa di gua.
Tentu saja, bukan apa yang dikatakan yang penting dalam
kisah ini, melainkan arti simbolis yang dikandungnya.
Selebihnya kita bebas menolak atau menerimanya.
Parmin, tukang becak, memang gila porkas. Banyak dukun sudah
ia datangi. Tiap orang gila dan kere yang seperti gila di
Yogya ia kuntit: siapa tahu dalam omelannya terdapat
petunjuk nomor. Sering ia tidur di kuburan mencari impen
(impian). Jerih payahnya menarik becak pun ludes di meja
Sitompul, agen porkas. Buat Parmin, hidup berarti porkas.
Senik, istrinya, minta dipulangkan ke rumah orangtuanya
karena tak tahan lagi hidup dalam alam porkas yang panas.
Dan Gafur, anak tertuanya, berhenti sekolah karena tak ada
biaya. Pendeknya, keluarga Parmin berantakan.
Mertua ikut bingung. Orangtua Parmin sendiri kehabisan
nasihat. "Arep dadi opo to kowe, Min, Min ...," (mau jadi
apa kamu), kata orangtuanya. Lama-lama Parmin mikir. Iya,
ya. Mau jadi apa?
Memang bukan tugas sosiolog atau psikolog untuk mengentaskan
Parmin dari Porkas. Ini lebih merupakan urusan rohaniwan
macam Pak Kiai atau Romo Mangun. Yang jelas, bosan ke dukun,
Parmin pergi ke kiai di Wonokromo, dekat dari rumahnya.
"Ada apa?" tanya Pak Kiai yang sudah tua itu.
"Saya mohon petunjuk, Pak Kiai."
"Saya cuma kiai. Tidak bisa memberimu nomor kode," kata Pak
Kiai. Parmin pun terkesiap heran, bagaimana Pak Kiai tahu
bahwa ia pecandu porkas.
"Bukan, Pak Kiai. Saya mau tobat," kata Parmin.
Setelah pasrah bongkokan, artinya diapakan saja oleh Pak
Kiai monggo mawon, jiwa Parmin "dicuci". Diajari pula salat
dan berdoa. Tapi susah. Lidah Parmin tidak cocok untuk
menyebut kata-kata Arab.
"La Khaula wala kuata illa ...," kata Pak Kiai pelan.
"La wala wala ...," Parmin tergagap-gagap. Pak Kiai mau
ketawa. Berkali-kali dicoba, hasilnya tetap la wala wala.
Pusing juga ahli rohani itu.
"Kalau nyebut porkas lancar, ya Min?"
Parmin mesem. Akhirnya, jalan keluar ditemukan. Doa
dipermudah. Yang penting intinya: wolo-wolo kuwato. Pas
betul.
"Tapi bukan cuma itu, Min. Mesti ditambah Duh, Gusti. Jadi,
"Duh, Gusti, wolo-wolo kuwato. Artinya, kamu sambat,
mengeluh, mengadu, pada Tuhan sambil terus giat narik
becak."
Tiap malam Jumat Parmin "digarap" Pak Kiai. Pesan beliau:
"Kalau ada kegaiban, jangan heran. Gusti memang Mahagaib.
Pokoknya, syukuri, dan perbanyak doa, giat usaha. Itulah
laku utama," bisik Pak Kiai.
Kegaiban itu datang. Hampir tiap pagi, istrinya menemukan
selembar uang lima ribuan di bawah pintu. Parmin lapor pada
Pak Kiai. Jawab beliau, "Syukuri dan perbanyak doa."
Dulu, Parmin dirongrong nafsu "ingin punya". Kini, di bawah
asuhan Pak Kiai, seluruh jiwanya diliputi rasa pasrah. Ia
ayem. Semeleh atau tawakal, memberinya ketenangan. "Hamba
tak berdaya, kecuali atas pertolongan-Nya". Mudahnya: "Duh,
Gusti, uvolo-wolo kuwato".
Di shopping centre, ia pernah berkali-kali, sejak pagi
sampai jam lima sore, belum dapat penumpang. Ia panik.
Apalagi belum sesuap pun nasi masuk perutnya. "Duh, Gusti
wolo-wolo kuwato," keluhnya. Menjelang jam enam, seorang
penumpang datang. Tanpa menawar ia langsung nomplok di becak
itu. Begitu turun ia menyelipkan tiga lembar lima ribuan di
saku Parmin.
Ini pun dilaporkannya pada Pak Kiai. Hanya satu hal tak
dilaporkannya. Ia ingin bikin kejutan. Tapi belum sempat
kejutan dibikin, ia terkejut. Pak Kiai wafat. Parmin merasa
shock kehilangan godfather.
"Min, sesaat sebelum pergi, Pak Kiai mengucapkan syukur
bahwa kau sudah mengkredit becak," kata putra Pak Kiai.
Parmin kaget. Lo? Beliau sudah tahu?
Memang, sejak sering ditemukannya "uang gaib" di rumah, ia
menabung. Kepada istrinya ia berpesan untuk tak
mengutik-utik uang di bawah bantal itu. Soal makan seadanya,
ditanggulangi dari narik becak harian.
Tabungannya itu digunakannya untuk mengangsur becak Bah
Gendut. Begitu becak lunas, ia ingin "matur" Pak Kiai.
Namun, beliau, ternyata, tak memerlukan laporan. Pak Kiai
sudah tahu sak durunge winarah (tahu rahasia di balik tabir)
"Yah, namanya juga wong suci," pikir Parmin.
Sekarang, setelah kepergian Pak Kiai, uang "gaib" tak lagi
ditemukan di bawah pintu. Dalam hati Parmin bertanya-tanya.
Namun, ia sadar, kegaiban toh tak bisa terjadi
terus-menerus. Kegaiban hidup memang ada. Tapi hidup tak
bisa semata disandarkan pada kegaiban itu. La khaula dan
mengayuh becak barunya itulah kunci hidup yang sekarang
dipegangnya.
---------------
ibadah. Siang malam kerjanya berdoa melulu hingga istrinya
marah karena tak ada lagi yang bisa dimakan. "Barang apa
yang hidup merayap perlu makan. Carilah pekerjaan, Bang,
karena sudah terbukti doa tak bisa dimakan," gerutu
istrinya.
Tak enak didengar tetangga, ia berjanji mau bekerja. Ini
hanya dalih semata. Sebab, sebenarnya, ia pergi ke gua agar
bisa berdoa lebih khusyuk tanpa dicereweti sang istri. Pagi
hari berangkat, sorenya baru pulang. Kepada istri ia
berbohong bahwa majikannya akan membayar jerih payahnya
sekaligus kelak, setelah beberapa lama bekerja.
Suatu sore istrinya memasak aneka makanan. Ia heran, dari
mana semua itu diperoleh? Tapi, belum sempat ditanya, si
istri menjelaskan bahwa utusan majikan suaminya tadi datang
mengantar bahan pangan dan sejumlah uang. "Baru aku berdoa
sebentar, sudah Kaukirim bayaran begitu banyaknya," gumam
orang itu. Makin yakin ia pada kemurahan Tuhan, makin edan
ia berdoa di gua.
Tentu saja, bukan apa yang dikatakan yang penting dalam
kisah ini, melainkan arti simbolis yang dikandungnya.
Selebihnya kita bebas menolak atau menerimanya.
Parmin, tukang becak, memang gila porkas. Banyak dukun sudah
ia datangi. Tiap orang gila dan kere yang seperti gila di
Yogya ia kuntit: siapa tahu dalam omelannya terdapat
petunjuk nomor. Sering ia tidur di kuburan mencari impen
(impian). Jerih payahnya menarik becak pun ludes di meja
Sitompul, agen porkas. Buat Parmin, hidup berarti porkas.
Senik, istrinya, minta dipulangkan ke rumah orangtuanya
karena tak tahan lagi hidup dalam alam porkas yang panas.
Dan Gafur, anak tertuanya, berhenti sekolah karena tak ada
biaya. Pendeknya, keluarga Parmin berantakan.
Mertua ikut bingung. Orangtua Parmin sendiri kehabisan
nasihat. "Arep dadi opo to kowe, Min, Min ...," (mau jadi
apa kamu), kata orangtuanya. Lama-lama Parmin mikir. Iya,
ya. Mau jadi apa?
Memang bukan tugas sosiolog atau psikolog untuk mengentaskan
Parmin dari Porkas. Ini lebih merupakan urusan rohaniwan
macam Pak Kiai atau Romo Mangun. Yang jelas, bosan ke dukun,
Parmin pergi ke kiai di Wonokromo, dekat dari rumahnya.
"Ada apa?" tanya Pak Kiai yang sudah tua itu.
"Saya mohon petunjuk, Pak Kiai."
"Saya cuma kiai. Tidak bisa memberimu nomor kode," kata Pak
Kiai. Parmin pun terkesiap heran, bagaimana Pak Kiai tahu
bahwa ia pecandu porkas.
"Bukan, Pak Kiai. Saya mau tobat," kata Parmin.
Setelah pasrah bongkokan, artinya diapakan saja oleh Pak
Kiai monggo mawon, jiwa Parmin "dicuci". Diajari pula salat
dan berdoa. Tapi susah. Lidah Parmin tidak cocok untuk
menyebut kata-kata Arab.
"La Khaula wala kuata illa ...," kata Pak Kiai pelan.
"La wala wala ...," Parmin tergagap-gagap. Pak Kiai mau
ketawa. Berkali-kali dicoba, hasilnya tetap la wala wala.
Pusing juga ahli rohani itu.
"Kalau nyebut porkas lancar, ya Min?"
Parmin mesem. Akhirnya, jalan keluar ditemukan. Doa
dipermudah. Yang penting intinya: wolo-wolo kuwato. Pas
betul.
"Tapi bukan cuma itu, Min. Mesti ditambah Duh, Gusti. Jadi,
"Duh, Gusti, wolo-wolo kuwato. Artinya, kamu sambat,
mengeluh, mengadu, pada Tuhan sambil terus giat narik
becak."
Tiap malam Jumat Parmin "digarap" Pak Kiai. Pesan beliau:
"Kalau ada kegaiban, jangan heran. Gusti memang Mahagaib.
Pokoknya, syukuri, dan perbanyak doa, giat usaha. Itulah
laku utama," bisik Pak Kiai.
Kegaiban itu datang. Hampir tiap pagi, istrinya menemukan
selembar uang lima ribuan di bawah pintu. Parmin lapor pada
Pak Kiai. Jawab beliau, "Syukuri dan perbanyak doa."
Dulu, Parmin dirongrong nafsu "ingin punya". Kini, di bawah
asuhan Pak Kiai, seluruh jiwanya diliputi rasa pasrah. Ia
ayem. Semeleh atau tawakal, memberinya ketenangan. "Hamba
tak berdaya, kecuali atas pertolongan-Nya". Mudahnya: "Duh,
Gusti, uvolo-wolo kuwato".
Di shopping centre, ia pernah berkali-kali, sejak pagi
sampai jam lima sore, belum dapat penumpang. Ia panik.
Apalagi belum sesuap pun nasi masuk perutnya. "Duh, Gusti
wolo-wolo kuwato," keluhnya. Menjelang jam enam, seorang
penumpang datang. Tanpa menawar ia langsung nomplok di becak
itu. Begitu turun ia menyelipkan tiga lembar lima ribuan di
saku Parmin.
Ini pun dilaporkannya pada Pak Kiai. Hanya satu hal tak
dilaporkannya. Ia ingin bikin kejutan. Tapi belum sempat
kejutan dibikin, ia terkejut. Pak Kiai wafat. Parmin merasa
shock kehilangan godfather.
"Min, sesaat sebelum pergi, Pak Kiai mengucapkan syukur
bahwa kau sudah mengkredit becak," kata putra Pak Kiai.
Parmin kaget. Lo? Beliau sudah tahu?
Memang, sejak sering ditemukannya "uang gaib" di rumah, ia
menabung. Kepada istrinya ia berpesan untuk tak
mengutik-utik uang di bawah bantal itu. Soal makan seadanya,
ditanggulangi dari narik becak harian.
Tabungannya itu digunakannya untuk mengangsur becak Bah
Gendut. Begitu becak lunas, ia ingin "matur" Pak Kiai.
Namun, beliau, ternyata, tak memerlukan laporan. Pak Kiai
sudah tahu sak durunge winarah (tahu rahasia di balik tabir)
"Yah, namanya juga wong suci," pikir Parmin.
Sekarang, setelah kepergian Pak Kiai, uang "gaib" tak lagi
ditemukan di bawah pintu. Dalam hati Parmin bertanya-tanya.
Namun, ia sadar, kegaiban toh tak bisa terjadi
terus-menerus. Kegaiban hidup memang ada. Tapi hidup tak
bisa semata disandarkan pada kegaiban itu. La khaula dan
mengayuh becak barunya itulah kunci hidup yang sekarang
dipegangnya.
---------------
GUSTI ALLAH TIDAK NDESO
EMHA AINUN NADJIB : Gusti Allah tidak "ndeso" (kampungan)
Friday, 23. March 2007, 02:48:06
Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun :
"Cak Nun," kata sang penanya, "misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?"
Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan." "Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?" kejar si penanya. "Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu," jawab Cak Nun.
"Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, " katanya lagi. "Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi."
Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang.
Kata Tuhan:
Kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu.
Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu.
Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.
Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini.
Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.
Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan.
Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?"
Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga.
Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid.
Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak- injaknya.
Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran.
Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama.
Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.
Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama.
Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.
Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial.
Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya.
Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama.
Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh'afin (kaum tertindas).
Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.
Ekstrinsik Vs Intrinsik
Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang yang shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lisannya.
Nabi Muhammad SAW menjawab singkat, "Ia di neraka."
Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup.
Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial. Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus harus melahirkan kepedulian pada lingkungan sosial.
Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan dipakai sebagai tameng memperoleh kedudukan dan citra baik di hadapan orang lain.
Hal ini sejalan dengan definisi keberagamaan dari Gordon W Allport.
Allport, psikolog, membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik dan intrinsik.
Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan demikian rupa agar dia memperoleh status darinya. Ia puasa, misa, kebaktian, atau membaca kitab suci, bukan untuk meraih keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dirinya.
Dia beragama demi status dan harga diri. Ajaran agama tidak menghujam ke dalam dirinya.
Yang kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang memasukkan nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai dan ajaran agama terhujam jauh kedalam .
Friday, 23. March 2007, 02:48:06
Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun :
"Cak Nun," kata sang penanya, "misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?"
Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan." "Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?" kejar si penanya. "Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu," jawab Cak Nun.
"Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, " katanya lagi. "Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi."
Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang.
Kata Tuhan:
Kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu.
Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu.
Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.
Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini.
Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.
Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan.
Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?"
Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga.
Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid.
Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak- injaknya.
Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran.
Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama.
Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.
Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama.
Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.
Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial.
Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya.
Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama.
Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh'afin (kaum tertindas).
Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.
Ekstrinsik Vs Intrinsik
Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang yang shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lisannya.
Nabi Muhammad SAW menjawab singkat, "Ia di neraka."
Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup.
Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial. Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus harus melahirkan kepedulian pada lingkungan sosial.
Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan dipakai sebagai tameng memperoleh kedudukan dan citra baik di hadapan orang lain.
Hal ini sejalan dengan definisi keberagamaan dari Gordon W Allport.
Allport, psikolog, membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik dan intrinsik.
Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan demikian rupa agar dia memperoleh status darinya. Ia puasa, misa, kebaktian, atau membaca kitab suci, bukan untuk meraih keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dirinya.
Dia beragama demi status dan harga diri. Ajaran agama tidak menghujam ke dalam dirinya.
Yang kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang memasukkan nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai dan ajaran agama terhujam jauh kedalam .
Sabtu, Mei 16, 2009
SALEH DAN MALU
Beruntung, saya pernah mengenal tiga orang saleh. Ketiganya
tinggal di daerah yang berbeda, sikap dan pandangan agamis
mereka berbeda, dan jenis kesalehan mereka pun berbeda.
Saleh pertama di Klender, orang Betawi campuran Arab. Ia
saleh, semata karena namanya. Orang menyukainya karena ia
aktif siskamling meskipun bukan pada malam-malam gilirannya.
Orang kedua, Haji Saleh Habib Farisi, orang Jawa. Agak aneh
memang, Habib Farisi sebuah nama Jawa. Tapi ia saleh dalam
arti sebenarnya. Minimal kata para anggota jamaah masjid
kampung itu.
Jenggotnya panjang. Pici putihnya tak pernah lepas. Begitu
juga sarung plekat abu-abu itu. Tutur katanya lembut,
seperti Mas Danarto. Ia cekatan memberi senyum kepada orang
lain. Alasannya: "senyum itu sedekah".
Kepada anak kecil, ia sayang. Hobinya mengusap kepala
bocah-bocah yang selalu berisik pada saat salat jamaah
berlangsung. Usapan itu dimaksudkan agar anak-anak tak lagi
bikin gaduh. Tapi bocah tetap bocah. Biar seribu kali kepala
diusap, ribut tetap jalan. Seolah mereka khusus dilahirkan
buat bikin ribut di masjid.
"Ramai itu baik saja," katanya sabar, (ketika orang-orang
lain pada marah), "karena ramai tanda kehidupan," katanya
lagi. "Lagi pula, kita harus bisa salat khusyuk dalam
keramaian itu."
Mungkin ia benar. Buktinya ia betah berjam-jam zikir di
masjid. Sering salatnya sambung-menyambung tanpa terputus
kegiatan lain. Selesai magrib, ia tetap berzikir sambil
kepalanya terangguk-angguk hingga isya tiba.
Jauh malam, ketika semua orang masih lelap dalam mimpi
masing-masing, ia sudah mulai salat malam. Kemudian zikir
panjang sampai subuh tiba.
Selesai subuh, ia zikir lagi, mengulang-ulang asmaul husna
dan beberapa ayat pilihan sampai terbit matahari, ketika
salat duha kemudian ia lakukan. Pendeknya, ia penghuni
masjid.
Tidurnya cuma sedikit. Sehabis isya, ia tidur sekitar dua
jam. Kemudian, selesai salat duha, tidur lagi satu jam.
Selebihnya zikir, zikir, zikir.... Pas betul dengan
nama-nama yang disandangnya. Dasar sudah saleh, plus Habib
(nama sufi besar), ditambah Farisi (salah seorang sahabat
Nabi).
Kalau kita sulit menemui pejabat karena banyak acara, kita
sulit menemui orang Jawa ini karena ibadahnya di masjid
begitu padat.
Para tetangga menaruh hormat padanya. Banyak pula yang
menjadikannya semacam idola. Namun, ia pun punya kekurangan.
Ada dua macam cacat utamanya. Pertama, kalau dalam salat
jamaah tak ditunjuk jadi imam, ia tersinggung. Kedua, kalau
orang tak sering "sowan" ke rumahnya, ia tidak suka karena
ia menganggap orang itu telah mengingkari eksistensinya
sebagai orang yang ada di "depan".
"Apakah ia dengan demikian aktif di masjid karena ingin
menjadi tokoh?" Hanya Tuhan dan ia yang tahu.
Pernah saya berdialog dengannya, setelah begitu gigih
menanti zikirnya yang panjang itu selesai. Saya katakan
bahwa kelak bila punya waktu banyak, saya ingin selalu zikir
di masjid seperti dia. Saya tahu, kalau sudah pensiun, saya
akan punya waktu macam itu.
"Ya kalau sempat pensiun," komentarnya.
"Maksud Pak Haji?"
"Memangnya kita tahu berapa panjang usia kita? Memangnya
kita tahu kita bakal mencapai usia pensiun?"
"Ya, ya. Benar, Pak Haji," saya merasa terpojok
"Untuk mendapat sedikit bagian dunia, kita rela menghabiskan
seluruh waktu kita. Mengapa kita keberatan menggunakan
beberapa jam sehari buat hidup kekal abadi di surga?"
"Benar, Pak Haji. Orang memang sibuk mengejar dunia."
"Itulah. Cari neraka saja mereka. Maka, tak bosan-bosan saya
ulang nasihat bahwa orang harus salat sebelum disalatkan."
Mungkin tak ada yang salah dalam sikap Pak Haji Saleh. Tapi
kalau saya takut, sebabnya kira-kira karena ia terlalu
menggarisbawahi "ancaman".
Saya membandingkannya dengan orang saleh ketiga. Ia juga
haji, pedagang kecil, petani kecil, dan imam di sebuah
masjid kecil. Namanya bukan Saleh melainkan Sanip. Haji
Sanip, orang Betawi asli.
Meskipun ibadahnya (di masjid) tak seperti Haji Saleh, kita
bisa merasakan kehangatan imannya. Waktu saya tanya, mengapa
salatnya sebentar, dan doanya begitu pendek, cuma melulu
istighfar (mohon ampun), ia bilang bahwa ia tak ingin minta
aneh-aneh. Ia malu kepada Allah.
"Bukankah Allah sendiri menyuruh kita meminta dan bukankah
Ia berjanji akan mengabulkannya?"
"Itu betul. Tapi minta atau tidak, kondisi kita sudah dengan
sendirinya memalukan. Kita ini cuma sekeping jiwa telanjang,
dari hari ke hari nyadong berkah-Nya, tanpa pernah memberi.
Allah memang mahapemberi, termasuk memberi kita rasa malu.
Kalau rezeki-Nya kita makan, mengapa rasa malu-Nya tak kita
gunakan?" katanya lagi.
Bergetar saya. Untuk pertama kalinya saya merasa malu hari
itu. Seribu malaikat, nabi-nabi, para wali, dan orang-orang
suci --langsung di bawah komando Allah-- seperti serentak
mengamini ucapan orang Betawi ini.
"Perhatikan di masjid-masjid, jamaah yang minta kepada Allah
kekayaan, tambahan rezeki, naik gaji, naik pangkat. Mereka
pikir Allah itu kepala bagian kepegawaian di kantor kita.
Allah kita puji-puji karena akan kita mintai sesuatu. Ini
bukan ibadah, tapi dagang. Mungkin bahkan pemerasan yang tak
tahu malu. Allah kita sembah, lalu kita perah rezeki dan
berkah-Nya, bukannya kita sembah karena kita memang harus
menyembah, seperti tekad Al Adawiah itu," katanya lagi.
Napas saya sesak. Saya tatap wajah orang ini baik-baik.
Selain keluhuran batin, di wajah yang mulai menampakkan
tanda ketuaan itu terpancar ketulusan iman. Kepada saya,
Kong Haji itu jadinya menyodorkan sebuah cermin. Tampak di
sana, wajah saya retak-retak. Saya malu melihat diri
sendiri. Betapa banyak saya telah meminta selama ini, tapi
betapa sedikit saya memberi. Mental korup dalam ibadah itu,
ternyata, bagian hangat dari hidup pribadi saya juga.
---------------
Mohammad Sobary, Tempo 16 Maret 1991
tinggal di daerah yang berbeda, sikap dan pandangan agamis
mereka berbeda, dan jenis kesalehan mereka pun berbeda.
Saleh pertama di Klender, orang Betawi campuran Arab. Ia
saleh, semata karena namanya. Orang menyukainya karena ia
aktif siskamling meskipun bukan pada malam-malam gilirannya.
Orang kedua, Haji Saleh Habib Farisi, orang Jawa. Agak aneh
memang, Habib Farisi sebuah nama Jawa. Tapi ia saleh dalam
arti sebenarnya. Minimal kata para anggota jamaah masjid
kampung itu.
Jenggotnya panjang. Pici putihnya tak pernah lepas. Begitu
juga sarung plekat abu-abu itu. Tutur katanya lembut,
seperti Mas Danarto. Ia cekatan memberi senyum kepada orang
lain. Alasannya: "senyum itu sedekah".
Kepada anak kecil, ia sayang. Hobinya mengusap kepala
bocah-bocah yang selalu berisik pada saat salat jamaah
berlangsung. Usapan itu dimaksudkan agar anak-anak tak lagi
bikin gaduh. Tapi bocah tetap bocah. Biar seribu kali kepala
diusap, ribut tetap jalan. Seolah mereka khusus dilahirkan
buat bikin ribut di masjid.
"Ramai itu baik saja," katanya sabar, (ketika orang-orang
lain pada marah), "karena ramai tanda kehidupan," katanya
lagi. "Lagi pula, kita harus bisa salat khusyuk dalam
keramaian itu."
Mungkin ia benar. Buktinya ia betah berjam-jam zikir di
masjid. Sering salatnya sambung-menyambung tanpa terputus
kegiatan lain. Selesai magrib, ia tetap berzikir sambil
kepalanya terangguk-angguk hingga isya tiba.
Jauh malam, ketika semua orang masih lelap dalam mimpi
masing-masing, ia sudah mulai salat malam. Kemudian zikir
panjang sampai subuh tiba.
Selesai subuh, ia zikir lagi, mengulang-ulang asmaul husna
dan beberapa ayat pilihan sampai terbit matahari, ketika
salat duha kemudian ia lakukan. Pendeknya, ia penghuni
masjid.
Tidurnya cuma sedikit. Sehabis isya, ia tidur sekitar dua
jam. Kemudian, selesai salat duha, tidur lagi satu jam.
Selebihnya zikir, zikir, zikir.... Pas betul dengan
nama-nama yang disandangnya. Dasar sudah saleh, plus Habib
(nama sufi besar), ditambah Farisi (salah seorang sahabat
Nabi).
Kalau kita sulit menemui pejabat karena banyak acara, kita
sulit menemui orang Jawa ini karena ibadahnya di masjid
begitu padat.
Para tetangga menaruh hormat padanya. Banyak pula yang
menjadikannya semacam idola. Namun, ia pun punya kekurangan.
Ada dua macam cacat utamanya. Pertama, kalau dalam salat
jamaah tak ditunjuk jadi imam, ia tersinggung. Kedua, kalau
orang tak sering "sowan" ke rumahnya, ia tidak suka karena
ia menganggap orang itu telah mengingkari eksistensinya
sebagai orang yang ada di "depan".
"Apakah ia dengan demikian aktif di masjid karena ingin
menjadi tokoh?" Hanya Tuhan dan ia yang tahu.
Pernah saya berdialog dengannya, setelah begitu gigih
menanti zikirnya yang panjang itu selesai. Saya katakan
bahwa kelak bila punya waktu banyak, saya ingin selalu zikir
di masjid seperti dia. Saya tahu, kalau sudah pensiun, saya
akan punya waktu macam itu.
"Ya kalau sempat pensiun," komentarnya.
"Maksud Pak Haji?"
"Memangnya kita tahu berapa panjang usia kita? Memangnya
kita tahu kita bakal mencapai usia pensiun?"
"Ya, ya. Benar, Pak Haji," saya merasa terpojok
"Untuk mendapat sedikit bagian dunia, kita rela menghabiskan
seluruh waktu kita. Mengapa kita keberatan menggunakan
beberapa jam sehari buat hidup kekal abadi di surga?"
"Benar, Pak Haji. Orang memang sibuk mengejar dunia."
"Itulah. Cari neraka saja mereka. Maka, tak bosan-bosan saya
ulang nasihat bahwa orang harus salat sebelum disalatkan."
Mungkin tak ada yang salah dalam sikap Pak Haji Saleh. Tapi
kalau saya takut, sebabnya kira-kira karena ia terlalu
menggarisbawahi "ancaman".
Saya membandingkannya dengan orang saleh ketiga. Ia juga
haji, pedagang kecil, petani kecil, dan imam di sebuah
masjid kecil. Namanya bukan Saleh melainkan Sanip. Haji
Sanip, orang Betawi asli.
Meskipun ibadahnya (di masjid) tak seperti Haji Saleh, kita
bisa merasakan kehangatan imannya. Waktu saya tanya, mengapa
salatnya sebentar, dan doanya begitu pendek, cuma melulu
istighfar (mohon ampun), ia bilang bahwa ia tak ingin minta
aneh-aneh. Ia malu kepada Allah.
"Bukankah Allah sendiri menyuruh kita meminta dan bukankah
Ia berjanji akan mengabulkannya?"
"Itu betul. Tapi minta atau tidak, kondisi kita sudah dengan
sendirinya memalukan. Kita ini cuma sekeping jiwa telanjang,
dari hari ke hari nyadong berkah-Nya, tanpa pernah memberi.
Allah memang mahapemberi, termasuk memberi kita rasa malu.
Kalau rezeki-Nya kita makan, mengapa rasa malu-Nya tak kita
gunakan?" katanya lagi.
Bergetar saya. Untuk pertama kalinya saya merasa malu hari
itu. Seribu malaikat, nabi-nabi, para wali, dan orang-orang
suci --langsung di bawah komando Allah-- seperti serentak
mengamini ucapan orang Betawi ini.
"Perhatikan di masjid-masjid, jamaah yang minta kepada Allah
kekayaan, tambahan rezeki, naik gaji, naik pangkat. Mereka
pikir Allah itu kepala bagian kepegawaian di kantor kita.
Allah kita puji-puji karena akan kita mintai sesuatu. Ini
bukan ibadah, tapi dagang. Mungkin bahkan pemerasan yang tak
tahu malu. Allah kita sembah, lalu kita perah rezeki dan
berkah-Nya, bukannya kita sembah karena kita memang harus
menyembah, seperti tekad Al Adawiah itu," katanya lagi.
Napas saya sesak. Saya tatap wajah orang ini baik-baik.
Selain keluhuran batin, di wajah yang mulai menampakkan
tanda ketuaan itu terpancar ketulusan iman. Kepada saya,
Kong Haji itu jadinya menyodorkan sebuah cermin. Tampak di
sana, wajah saya retak-retak. Saya malu melihat diri
sendiri. Betapa banyak saya telah meminta selama ini, tapi
betapa sedikit saya memberi. Mental korup dalam ibadah itu,
ternyata, bagian hangat dari hidup pribadi saya juga.
---------------
Mohammad Sobary, Tempo 16 Maret 1991
TERSERAH TUHAN
TERSERAH TUHAN
Hidup di zaman kebangkitan Islam (kalau benar konsep ini
menggambarkan realitas sosial sekarang) memiliki persoalan
tersendiri. Ke dalam lingkungan mana pun saya masuk, di sana
saya jumpai orang yang semangat Islamnya menggelora.
Ketika di Universitas Muhammadiyah Jakarta saya diminta
bicara di depan segenggam mahasiswa "penjaga mesjid", saya
diingatkan agar lebih menguasai Islam secara tekstual.
Karena, pendekatan saya, kata salah seorang dari mereka,
bersifat "ilmu sosial" biasa.
Bagi banyak pihak, yang bersifat formalis macam ini, sesuatu
termasuk "agama" hanya bila ia diwarnai Quran dan Hadis.
Dari tahun ke tahun, ada saja mahasiswa Indonesia, di
Universitas Monash, yang bersemangat memburu daging halal.
Dasarnya, daging di supermarket haram karena disembelih
tidak dengan cara Islam. Penjelasan --bahwa makanan para ahli
kitab (Yahudi dan Nasrani) halal bagi Muslim-- tidak pernah
laku.
Akhir-akhir ini, saya memberi ceramah. Tanpa menyebut
sepotong pun ayat, saya bicara agama. Buat saya, agama
terpancar dalam hidup, bukan dalam kitab. Saya tidak kitab
minded, karena, agama lebih menuntut tindakan, bukan
kecanggihan ilmu, dari pemeluknya. Kita bisa jadi pemeluk
yang baik tanpa harus menjadi ahli.
Persoalan muncul. Saya diultimatum oleh wanita berjilbab:
"Lain kali, hati-hati. Kalau ceramah begitu di Indonesia
bisa pulang tinggal nama."
Betapa mengerikannya. Memang, hanya orang yang paham yang
tahu bahwa saya pun sebenarnya berpijak pada ayat Tuhan,
yakni ayat kauniah yang tak disebutkan dalam kitab suci. Mas
Djohan (Djohan Effendi) pernah bicara tentang guru yang
membikin murid bertanya-tanya. Saat pelajaran agama,
anak-anak diajak membersihkan halaman, kamar mandi dan WC.
"Pak, katanya, pelajaran agama?" tanya seorang murid.
"Ya, ini juga pelajaran agama," kata Pak Guru, tenang.
"Dasar teorinya: 'kebersihan adalah sebagian dari iman'.
Nah, dengan tindakan tadi, kita buktikan, kita pun beriman."
Anak-anak mesem. Agama, dengan begitu, masih tetap agama
biarpun tak diwarnai bunyi ayat-ayat dalam kitab suci.
Hardi itu lulusan PGA. Ia setengah kiai. Paham Quran dan
Hadis. Bahkan, juga kitab kuning. Tapi, ia gelisah. Ada yang
tak beres dalam hidupnya. Ia pun datang pada Pak Kiai, mohon
petunjuk.
"Kamu tidak butuh kiai macam saya," kata Pak Kiai. "Pergilah
kamu pada Kamin."
Hardi kaget. Orang tahu, Kamin itu cuma tukang bakso. Tahu
apa tukang bakso, yang tak pernah sekolah, tentang rahasia
hidup? "Kiai gendeng," pikirnya.
"Tidak, saya serius, Nak," kata Pak Kiai.
Hardi sungkem. Seperti sujud, ia mencium dengkul Pak Kiai,
sambil minta maaf atas gendeng-nya tadi.
Tapi, mengapa Kamin? Ia masih penasaran. Tentu saja, Pak
Kiai bermaksud baik. Bukankah, kadang, kiai tak mau bicara
langsung?
Dengan rumusan itu di kepala, ia pergi ke rumah Kamin. Tak
ada yang istimewa di sana, selain bahwa Kamin sekeluarga
bekerja keras. Anak-anaknya dikerahkan untuk membantu
mencuci gelas. Yang lain mengerok kelapa muda untuk campuran
es. Yu Ginah, istrinya, menggoreng krupuk.
Setelah periksa sana periksa sini, Kamin ke warung kecil di
depan rumahnya itu, melayani pembeli. Warung itu maju.
Bakso, krupuk udang, dan es kelapa, jadi pasangan serasi.
Pembeli berjejal.
Anak-anak Kamin, empat orang, semua sekolah. Biayanya, ya,
dari warung kecil itu. Biaya sekolah dari situ. Biaya hidup
dari situ. Mereka hidup tentram.
Hardi mulai tertarik. Ia mencoba mengamati lebih dekat,
lebih dalam. Setelah salat bersama pada suatu hari, mereka
dialog. Tapi, Kamin itu pendiam. Ia bicara sedikit.
"Apa doa kang Kamin sehabis salat?" tanya Hardi.
"Saya serahkan hidup ini pada Tuhan," jawabnya, polos.
"Warung Anda maju. Apa rahasianya?"
"Tidak ada. Semua terserah Tuhan."
"Anak-anak Anda sekolah. Apa rencana Anda untuk mereka?"
"Semua saya serahkan Tuhan."
"Maksudnya?"
"Saya orang bodoh, tidak tahu apa mereka bisa jadi pegawai,
buruh, atau tukang bakso juga. Saya percaya, Tuhan
mahapengatur. Jadi, semua terserah Tuhan."
Hardi pernah mendengar, orang Barat yang mengagumi
Soedjatmoko menganggap bahwa almarhum adalah jenis orang
yang belum dirusak oleh sistem pendidikan tinggi. Ia masih
murni. Kamin, si tukang bakso ini, iman dan takwanya juga
murni, dan total.
Hardi sujud. Bijaksana Pak Kiai mengirim dia ke Kamin.
Ketulusan macam Kamin itu, memang, yang belum dimilikinya
selama ini.
---------------
Mohammad Sobary, Editor, No.32/Thn.IV/27 April 1991
Hidup di zaman kebangkitan Islam (kalau benar konsep ini
menggambarkan realitas sosial sekarang) memiliki persoalan
tersendiri. Ke dalam lingkungan mana pun saya masuk, di sana
saya jumpai orang yang semangat Islamnya menggelora.
Ketika di Universitas Muhammadiyah Jakarta saya diminta
bicara di depan segenggam mahasiswa "penjaga mesjid", saya
diingatkan agar lebih menguasai Islam secara tekstual.
Karena, pendekatan saya, kata salah seorang dari mereka,
bersifat "ilmu sosial" biasa.
Bagi banyak pihak, yang bersifat formalis macam ini, sesuatu
termasuk "agama" hanya bila ia diwarnai Quran dan Hadis.
Dari tahun ke tahun, ada saja mahasiswa Indonesia, di
Universitas Monash, yang bersemangat memburu daging halal.
Dasarnya, daging di supermarket haram karena disembelih
tidak dengan cara Islam. Penjelasan --bahwa makanan para ahli
kitab (Yahudi dan Nasrani) halal bagi Muslim-- tidak pernah
laku.
Akhir-akhir ini, saya memberi ceramah. Tanpa menyebut
sepotong pun ayat, saya bicara agama. Buat saya, agama
terpancar dalam hidup, bukan dalam kitab. Saya tidak kitab
minded, karena, agama lebih menuntut tindakan, bukan
kecanggihan ilmu, dari pemeluknya. Kita bisa jadi pemeluk
yang baik tanpa harus menjadi ahli.
Persoalan muncul. Saya diultimatum oleh wanita berjilbab:
"Lain kali, hati-hati. Kalau ceramah begitu di Indonesia
bisa pulang tinggal nama."
Betapa mengerikannya. Memang, hanya orang yang paham yang
tahu bahwa saya pun sebenarnya berpijak pada ayat Tuhan,
yakni ayat kauniah yang tak disebutkan dalam kitab suci. Mas
Djohan (Djohan Effendi) pernah bicara tentang guru yang
membikin murid bertanya-tanya. Saat pelajaran agama,
anak-anak diajak membersihkan halaman, kamar mandi dan WC.
"Pak, katanya, pelajaran agama?" tanya seorang murid.
"Ya, ini juga pelajaran agama," kata Pak Guru, tenang.
"Dasar teorinya: 'kebersihan adalah sebagian dari iman'.
Nah, dengan tindakan tadi, kita buktikan, kita pun beriman."
Anak-anak mesem. Agama, dengan begitu, masih tetap agama
biarpun tak diwarnai bunyi ayat-ayat dalam kitab suci.
Hardi itu lulusan PGA. Ia setengah kiai. Paham Quran dan
Hadis. Bahkan, juga kitab kuning. Tapi, ia gelisah. Ada yang
tak beres dalam hidupnya. Ia pun datang pada Pak Kiai, mohon
petunjuk.
"Kamu tidak butuh kiai macam saya," kata Pak Kiai. "Pergilah
kamu pada Kamin."
Hardi kaget. Orang tahu, Kamin itu cuma tukang bakso. Tahu
apa tukang bakso, yang tak pernah sekolah, tentang rahasia
hidup? "Kiai gendeng," pikirnya.
"Tidak, saya serius, Nak," kata Pak Kiai.
Hardi sungkem. Seperti sujud, ia mencium dengkul Pak Kiai,
sambil minta maaf atas gendeng-nya tadi.
Tapi, mengapa Kamin? Ia masih penasaran. Tentu saja, Pak
Kiai bermaksud baik. Bukankah, kadang, kiai tak mau bicara
langsung?
Dengan rumusan itu di kepala, ia pergi ke rumah Kamin. Tak
ada yang istimewa di sana, selain bahwa Kamin sekeluarga
bekerja keras. Anak-anaknya dikerahkan untuk membantu
mencuci gelas. Yang lain mengerok kelapa muda untuk campuran
es. Yu Ginah, istrinya, menggoreng krupuk.
Setelah periksa sana periksa sini, Kamin ke warung kecil di
depan rumahnya itu, melayani pembeli. Warung itu maju.
Bakso, krupuk udang, dan es kelapa, jadi pasangan serasi.
Pembeli berjejal.
Anak-anak Kamin, empat orang, semua sekolah. Biayanya, ya,
dari warung kecil itu. Biaya sekolah dari situ. Biaya hidup
dari situ. Mereka hidup tentram.
Hardi mulai tertarik. Ia mencoba mengamati lebih dekat,
lebih dalam. Setelah salat bersama pada suatu hari, mereka
dialog. Tapi, Kamin itu pendiam. Ia bicara sedikit.
"Apa doa kang Kamin sehabis salat?" tanya Hardi.
"Saya serahkan hidup ini pada Tuhan," jawabnya, polos.
"Warung Anda maju. Apa rahasianya?"
"Tidak ada. Semua terserah Tuhan."
"Anak-anak Anda sekolah. Apa rencana Anda untuk mereka?"
"Semua saya serahkan Tuhan."
"Maksudnya?"
"Saya orang bodoh, tidak tahu apa mereka bisa jadi pegawai,
buruh, atau tukang bakso juga. Saya percaya, Tuhan
mahapengatur. Jadi, semua terserah Tuhan."
Hardi pernah mendengar, orang Barat yang mengagumi
Soedjatmoko menganggap bahwa almarhum adalah jenis orang
yang belum dirusak oleh sistem pendidikan tinggi. Ia masih
murni. Kamin, si tukang bakso ini, iman dan takwanya juga
murni, dan total.
Hardi sujud. Bijaksana Pak Kiai mengirim dia ke Kamin.
Ketulusan macam Kamin itu, memang, yang belum dimilikinya
selama ini.
---------------
Mohammad Sobary, Editor, No.32/Thn.IV/27 April 1991
DOA YANG TAK MEMBEBASKAN
DOA YANG TAK MEMBEBASKAN
Para santri pun akhirnya berkumpul lagi setelah beberapa
lama sebelumnya mereka menerima tugas dari sang kiai.
"Sudah mengerti pesan dalam surat itu?" tanya kiai, membuka
pertemuan kembali.
"Sudah, kiai, alhamdulillah," sahut salah seorang santri.
"Bagaimana isi pesan itu?"
Santri itu memperdengarkan bacaannya yang bagus atas surat
Al Ma'un. "Aroaital ladzi yukadzibu biddin ...," merdu
suaranya. Dan ia pun meneruskan pembacaan dan terjemahannya,
sampai selesai.
"Kamu?!" kata sang kiai kepada santri yang lain.
Santri itu pun mengulangi hal yang sama. Ia pun membaca
ayat-ayat suci itu, disertai terjemahannya.
Setelah para santri lain memberi jawaban yang sama, sang
kiai tak lagi meneruskan bertanya pada santri berikutnya. Ia
berkesimpulan, semua santri pasti akan berbuat serupa.
"Kalian belum mengerti kalau begitu. Kalian cuma hapal.
Mengerti dan hapal itu beda," katanya lagi, dengan intonasi
lembut seperti semula.
Kiai kita ini ialah pendiri perserikatan yang bernama
Muhammadiyah yang terkenal itu: Kiai Haji Ahmad Dahlan.
Dialog ini terkenal di kalangan keluarga Muhammadiyah. Orang
Muhammadiyah menganggap "peristiwa" ini penting karena dalam
dialog itu terselip sebuah pesan jelas, bahwa agama tak cuma
minta dipahami, melainkan diamalkan. Ketika agama berhenti
pada titik pemahaman, saat itu mungkin agama diturunkan
derajadnya menjadi "cuma" sejenis filsafat.
Agama, dengan kata lain, dipreteli fungsi-fungsi sosialnya
yang begitu penting dan yang paling relevan dengan hidup
kemasyarakatan kita.
Syahdan, sejak dialog antara kiai dan santri itu lalu
didirikan sebuah panti asuhan, tempat menampung anak-anak
yatim-piatu. Langkah ini diambil KH Ahmad Dahlan untuk
memenuhi perintah yang dikandung di dalam surat Al Ma'un
tersebut. Ini merupakan contoh kongkret bagi para santrinya,
mengenai bagaimana mereka harus memahami kandungan isi kitab
suci Al Qur'an.
Di sana memang ada kalimat: "Tahukah kamu, orang-orang yang
mendustakan agama? " Dan dalam surat ini dijelaskan bahwa
orang yang menyia-nyiakan anak yatim serta tak memberi makan
orang miskin, dimasukkan dalam kategori dusta itu.
Agama diturunkan Tuhan buat manusia, dan bukan buat
kepentingan Tuhan itu sendiri. Tuhan sudah kelewat mulia,
kelewat luhur, kelewat kaya. Pendeknya ia tak perlu apa-apa
lagi.
Oleh karena itu, sekali lagi, pemahaman KH Ahmad Dahlan itu
sungguh sangat kontekstual buat situasi kita saat itu, dan
juga kini. Ayat-ayat suci sungguh bukan untuk dibaca,
dilagukan, dan dipertandingkan dari tingkat kabupaten sampai
tingkat nasional, melainkan untuk dimengerti, dipahami dan
dilaksanakan.
Sikap KH Ahmad Dahlan begitu tegas: ia tak ingin umat Islam
hanya menjadi "burung nyanyi", (seperti contoh para
santrinya) yang mengandalkan suara merdu. Baginya, yang
terpenting adalah tindakan dan amal nyata. Relevansi sosial
dari agama, pendeknya, merupakan hal yang penting. Mungkin
malah yang terpenting.
Ibadah puasa selama sebulan itu ditutup dengan lebaran.
Suasana khusu', penuh tirakat dan sikap prihatin yang
nampaknya dalam itu diakhiri dengan sebuah pesta: makan,
minum, rokok dan segala macam yang selama sebulan dilarang,
di hari itu halal semata hukumnya. Dan kita bersyukur.
Tradisi yang mewarnainya, dus sesuatu yang bukan bagian dari
ajaran, ialah sungkem pada orang-tua, mertua, bertemu sanak
keluarga, teman kongkow, teman ngaji, teman sekolah atau
kantor, dan juga para tetangga. Suasana gembira memancar di
tiap wajah. Hati pun terbuka buat saling memaafkan.
Urusan ibadah kita menjadi juga urusan nasional. Negara
mendapat untung, setidaknya dari penjualan benda-benda pos.
Permintaan dan pengiriman maaf tak bisa jalan tanpa amplop
dan perangko.
Pulang ke kampung juga merupakan tradisi lain yang ikut
mewarnai kemeriahan lebaran. Negara juga ikut terlibat dalam
acara ini. Mungkin juga memperoleh untung dari penjualan
tiket kereta, pesawat dan kapal laut, buat kepentingan
orang-orang yang bergembira ini.
Suasana tirakat tak boleh berlama-lama. Tuhan menghendaki
segala yang mudah, sederhana dan kepenak, bagi
hamba-hambaNya. Tapi persoalannya, jika puasa sebulan itu
dianggap media latihan hidup asketik, pengerahan segenap
kekuatan lahir dan batin untuk menangkap esensi serta makna
ajaran suciNya, apakah kemudian yang kita bawa "pulang" ke
dunia ini? Apa hasil pengembaraan rohaniah, yang bisa
kongkret kita abdikan buat kepentingan kemanusiaan?
Pertama-tama, barangkali harus diakui bahwa tak setiap hamba
memang telah "berhasil" menghayati esensi ajaran yang
terkandung dalam puasa. Mungkin kita ini masih pada tataran
"burung nyayi": kita baru hapal, dan belum mengerti, seperti
kata Kiai Dahlan tadi. Kita sibuk ngaji, sibuk bertilawatil
Qur'an, mungkin kurang sibuk berbuat.
Kecuali itu, dari tahun ke tahun, mungkin suasana "tirakat"
dalam bulan puasa semakin nampak berubah. Benar, kita masih
fasih bicara solidaritas sosial, kita juga punya kepedulian
terhadap kemiskinan, tapi bagaimanakah tindakan kita?
Acara buka puasa menggejala di mana-mana. Acara-acara
semacam itu sering berarti makan besar dan enak. Dan kita
boleh bertanya pada diri sendiri, berapa puluh kalikah acara
seperti itu kita hadiri selama sebulan itu?
Atas nama kekeluargaan, kangen-kangenan antara sesama teman
dalam organisasi ketika mahasiswa, kumpul tanpa suatu tujuan
tertentu selain buka bersama, atau bahkan dengan motivasi
bisnis, acara buka puasa bersama diadakan di hotel mewah.
Tak jadi soal memang, karena kita makin makmur. Tapi "kita"
di sini siapa gerangan orangnya? Nampaknya cuma kelas
menengah dan atas. Dengan kata lain, golongan rakyat yang
sehari penghasilannya 2-3 ribu, tak akan pernah ikut acara
macam ini.
Tak jadi soal juga memang, kalau kita tak ada kepedulian
terhadap mereka. Tak jadi soal kalau kita tak belajar
menaruh iba dan rasa kasih pada mereka yang di bawah, yang
tertindas.
Jarak antara sesama kita, sebenarnya jauh. Setidaknya, tak
sedekat yang kita bayangkan. Dan tak sedekat yang kita
gambarkan secara ideal bahwa tiap umat, menurut ajaran, satu
sama lain adalah saudara.
"Saudara yang bagaimana?" saya bertanya
Soal serius dalam hidup kita, umat, ialah bahwa kita lupa,
ajaran itu bukan realitas. Tapi kita sudah puas dengan semua
yang ideal. Dan berhentilah kita di tataran itu.
Maka kita pun menyanyikan lagu bahwa agama memperhatikan
yang miskin dan menyantuni yang yatim. Kita menyanyi dalam
arti sebenarnya karena kita lupa bahwa agama di situ
menuntut tindakan kita. Ucapan "Selamat Lebaran" yang kita
sampaikan pada mereka yang lebih miskin jadinya cuma ucapan
kosong atau setengah kosong, karena tanpa kita sertai
tindakan yang jelas bisa membebaskan mereka dari struktur
yang mengurung dan memiskinkan mereka itu.
Sebagai doa, ucapan kita jelas mulia. Tapi bagaimanapun, ia
belum merupakan doa yang membebaskan.
---------------
Mohammad Sobary,
Jakarta Jakarta, No.300, 28 Maret- 3 April 1992
Para santri pun akhirnya berkumpul lagi setelah beberapa
lama sebelumnya mereka menerima tugas dari sang kiai.
"Sudah mengerti pesan dalam surat itu?" tanya kiai, membuka
pertemuan kembali.
"Sudah, kiai, alhamdulillah," sahut salah seorang santri.
"Bagaimana isi pesan itu?"
Santri itu memperdengarkan bacaannya yang bagus atas surat
Al Ma'un. "Aroaital ladzi yukadzibu biddin ...," merdu
suaranya. Dan ia pun meneruskan pembacaan dan terjemahannya,
sampai selesai.
"Kamu?!" kata sang kiai kepada santri yang lain.
Santri itu pun mengulangi hal yang sama. Ia pun membaca
ayat-ayat suci itu, disertai terjemahannya.
Setelah para santri lain memberi jawaban yang sama, sang
kiai tak lagi meneruskan bertanya pada santri berikutnya. Ia
berkesimpulan, semua santri pasti akan berbuat serupa.
"Kalian belum mengerti kalau begitu. Kalian cuma hapal.
Mengerti dan hapal itu beda," katanya lagi, dengan intonasi
lembut seperti semula.
Kiai kita ini ialah pendiri perserikatan yang bernama
Muhammadiyah yang terkenal itu: Kiai Haji Ahmad Dahlan.
Dialog ini terkenal di kalangan keluarga Muhammadiyah. Orang
Muhammadiyah menganggap "peristiwa" ini penting karena dalam
dialog itu terselip sebuah pesan jelas, bahwa agama tak cuma
minta dipahami, melainkan diamalkan. Ketika agama berhenti
pada titik pemahaman, saat itu mungkin agama diturunkan
derajadnya menjadi "cuma" sejenis filsafat.
Agama, dengan kata lain, dipreteli fungsi-fungsi sosialnya
yang begitu penting dan yang paling relevan dengan hidup
kemasyarakatan kita.
Syahdan, sejak dialog antara kiai dan santri itu lalu
didirikan sebuah panti asuhan, tempat menampung anak-anak
yatim-piatu. Langkah ini diambil KH Ahmad Dahlan untuk
memenuhi perintah yang dikandung di dalam surat Al Ma'un
tersebut. Ini merupakan contoh kongkret bagi para santrinya,
mengenai bagaimana mereka harus memahami kandungan isi kitab
suci Al Qur'an.
Di sana memang ada kalimat: "Tahukah kamu, orang-orang yang
mendustakan agama? " Dan dalam surat ini dijelaskan bahwa
orang yang menyia-nyiakan anak yatim serta tak memberi makan
orang miskin, dimasukkan dalam kategori dusta itu.
Agama diturunkan Tuhan buat manusia, dan bukan buat
kepentingan Tuhan itu sendiri. Tuhan sudah kelewat mulia,
kelewat luhur, kelewat kaya. Pendeknya ia tak perlu apa-apa
lagi.
Oleh karena itu, sekali lagi, pemahaman KH Ahmad Dahlan itu
sungguh sangat kontekstual buat situasi kita saat itu, dan
juga kini. Ayat-ayat suci sungguh bukan untuk dibaca,
dilagukan, dan dipertandingkan dari tingkat kabupaten sampai
tingkat nasional, melainkan untuk dimengerti, dipahami dan
dilaksanakan.
Sikap KH Ahmad Dahlan begitu tegas: ia tak ingin umat Islam
hanya menjadi "burung nyanyi", (seperti contoh para
santrinya) yang mengandalkan suara merdu. Baginya, yang
terpenting adalah tindakan dan amal nyata. Relevansi sosial
dari agama, pendeknya, merupakan hal yang penting. Mungkin
malah yang terpenting.
Ibadah puasa selama sebulan itu ditutup dengan lebaran.
Suasana khusu', penuh tirakat dan sikap prihatin yang
nampaknya dalam itu diakhiri dengan sebuah pesta: makan,
minum, rokok dan segala macam yang selama sebulan dilarang,
di hari itu halal semata hukumnya. Dan kita bersyukur.
Tradisi yang mewarnainya, dus sesuatu yang bukan bagian dari
ajaran, ialah sungkem pada orang-tua, mertua, bertemu sanak
keluarga, teman kongkow, teman ngaji, teman sekolah atau
kantor, dan juga para tetangga. Suasana gembira memancar di
tiap wajah. Hati pun terbuka buat saling memaafkan.
Urusan ibadah kita menjadi juga urusan nasional. Negara
mendapat untung, setidaknya dari penjualan benda-benda pos.
Permintaan dan pengiriman maaf tak bisa jalan tanpa amplop
dan perangko.
Pulang ke kampung juga merupakan tradisi lain yang ikut
mewarnai kemeriahan lebaran. Negara juga ikut terlibat dalam
acara ini. Mungkin juga memperoleh untung dari penjualan
tiket kereta, pesawat dan kapal laut, buat kepentingan
orang-orang yang bergembira ini.
Suasana tirakat tak boleh berlama-lama. Tuhan menghendaki
segala yang mudah, sederhana dan kepenak, bagi
hamba-hambaNya. Tapi persoalannya, jika puasa sebulan itu
dianggap media latihan hidup asketik, pengerahan segenap
kekuatan lahir dan batin untuk menangkap esensi serta makna
ajaran suciNya, apakah kemudian yang kita bawa "pulang" ke
dunia ini? Apa hasil pengembaraan rohaniah, yang bisa
kongkret kita abdikan buat kepentingan kemanusiaan?
Pertama-tama, barangkali harus diakui bahwa tak setiap hamba
memang telah "berhasil" menghayati esensi ajaran yang
terkandung dalam puasa. Mungkin kita ini masih pada tataran
"burung nyayi": kita baru hapal, dan belum mengerti, seperti
kata Kiai Dahlan tadi. Kita sibuk ngaji, sibuk bertilawatil
Qur'an, mungkin kurang sibuk berbuat.
Kecuali itu, dari tahun ke tahun, mungkin suasana "tirakat"
dalam bulan puasa semakin nampak berubah. Benar, kita masih
fasih bicara solidaritas sosial, kita juga punya kepedulian
terhadap kemiskinan, tapi bagaimanakah tindakan kita?
Acara buka puasa menggejala di mana-mana. Acara-acara
semacam itu sering berarti makan besar dan enak. Dan kita
boleh bertanya pada diri sendiri, berapa puluh kalikah acara
seperti itu kita hadiri selama sebulan itu?
Atas nama kekeluargaan, kangen-kangenan antara sesama teman
dalam organisasi ketika mahasiswa, kumpul tanpa suatu tujuan
tertentu selain buka bersama, atau bahkan dengan motivasi
bisnis, acara buka puasa bersama diadakan di hotel mewah.
Tak jadi soal memang, karena kita makin makmur. Tapi "kita"
di sini siapa gerangan orangnya? Nampaknya cuma kelas
menengah dan atas. Dengan kata lain, golongan rakyat yang
sehari penghasilannya 2-3 ribu, tak akan pernah ikut acara
macam ini.
Tak jadi soal juga memang, kalau kita tak ada kepedulian
terhadap mereka. Tak jadi soal kalau kita tak belajar
menaruh iba dan rasa kasih pada mereka yang di bawah, yang
tertindas.
Jarak antara sesama kita, sebenarnya jauh. Setidaknya, tak
sedekat yang kita bayangkan. Dan tak sedekat yang kita
gambarkan secara ideal bahwa tiap umat, menurut ajaran, satu
sama lain adalah saudara.
"Saudara yang bagaimana?" saya bertanya
Soal serius dalam hidup kita, umat, ialah bahwa kita lupa,
ajaran itu bukan realitas. Tapi kita sudah puas dengan semua
yang ideal. Dan berhentilah kita di tataran itu.
Maka kita pun menyanyikan lagu bahwa agama memperhatikan
yang miskin dan menyantuni yang yatim. Kita menyanyi dalam
arti sebenarnya karena kita lupa bahwa agama di situ
menuntut tindakan kita. Ucapan "Selamat Lebaran" yang kita
sampaikan pada mereka yang lebih miskin jadinya cuma ucapan
kosong atau setengah kosong, karena tanpa kita sertai
tindakan yang jelas bisa membebaskan mereka dari struktur
yang mengurung dan memiskinkan mereka itu.
Sebagai doa, ucapan kita jelas mulia. Tapi bagaimanapun, ia
belum merupakan doa yang membebaskan.
---------------
Mohammad Sobary,
Jakarta Jakarta, No.300, 28 Maret- 3 April 1992
Kemlangen
Tiba-tisa saja SMS saya pagi itu berbunyi " Mbak, NSP-nya kok lagu india?". Sesaat kemudian telepon saya berdering, "Hai Mbak, kok jadul banget to NSP-ne, arep kawinan ta?" Memang nada sambung pada telepon seluler saya beda dengan kebanyakan yang mereka miliki. Saya sengaja pasang lagunya Manthous judulnya Getun... "Gethunku seetaahun, ning atii kulo nandhang kuciwaa... sithik-sithik mung ngalamun.... " Lagu itu terdengar setiap kali ada yang menghubungi ponsel saya. Lagu gendhing jawa yang dinyanyikan Manthous memang terdengar kemlangen, adem di hati, dan byuh memang luar biasa. Kalau yang menyebut itu lagu India yo kebangeten tenan ..!
Cukup sulit mencari lagu semacam Manthous ini. Tempo hari saya pakai lagu Manthous judulnya Esemmu, tapi walaupun yang terdengar suaranya suryani tidak masalah... gendhing Jawa-nya mak nyoos puooll.. sayang, ketika akan memperpanjang nada sambung itu sudah tidak ada lagi. Kakak saya yang tinggal di Kendari Sulawesi Tenggara, meminta saya mengirimkan NSP seperti yang saya miliki. Menurutnya, ketika koleganya di Kendari menelpon di posnelnya dan terdengar gendhing jawa, semua pada bertanya itu lagu apa? Dengan cuek kakak saya menjawab lagu dangdut.
Saya sengaja memakai NSP Gendhing Jawa yang kemlangen, disamping terasa adem di hati juga mengingatkan pada Bapak saya yang menyukai gendhing-gendhing jawa....
Cukup sulit mencari lagu semacam Manthous ini. Tempo hari saya pakai lagu Manthous judulnya Esemmu, tapi walaupun yang terdengar suaranya suryani tidak masalah... gendhing Jawa-nya mak nyoos puooll.. sayang, ketika akan memperpanjang nada sambung itu sudah tidak ada lagi. Kakak saya yang tinggal di Kendari Sulawesi Tenggara, meminta saya mengirimkan NSP seperti yang saya miliki. Menurutnya, ketika koleganya di Kendari menelpon di posnelnya dan terdengar gendhing jawa, semua pada bertanya itu lagu apa? Dengan cuek kakak saya menjawab lagu dangdut.
Saya sengaja memakai NSP Gendhing Jawa yang kemlangen, disamping terasa adem di hati juga mengingatkan pada Bapak saya yang menyukai gendhing-gendhing jawa....
Tanggapan lantai 960
Tidak menyangka tulisan lantai 960 mendapatkan beberapa komentar dari teman-teman baik lisan maupun lewat e-mail. Rata-rata mereka mengatakan kok sempat-sempatnya menghitung, seperti tidak ada kerjaan saja. Ada yang sedikit emosi, menurutnya saya menyindir lift yang tidak kunjung diperbaiki. Ada yang malah bilang, kita sudah sampai langit ke tujuh. Ada juga yang memngatakan kita sudah mendaki hampir setinggi gunung everest. Apapun komentar teman-teman saya, itu menunjukkan ada perhatian apa yang saya tulis soal lantai 960 . Berikut saya cuplikan beberapa komentar yang dikirim lewat e-mail, diantaranya adalah dari Bos saya dan juga dari Pak Adang Kepala Bidang Postel. Semoga kita akan menemukan TELUR EMAS seperti halnya si JackIni dimanapun lantai kita pijak. Nah, ini dia komentarnya :
Bos menulis : Lebih hebat lagi teman2 di ruangan saya tiap hari berapa huruf al quran yg telah dibaca?
sekarang sudah lebih dari 2 bulan temen2 sebagai syuhada' telah membaca berapa huruf yg ditebarkan tiap pagi di jimerto bahkan sudah berapa ratus rakaat sholat jamaah baik yg wajib juga sunnah tinggal kita berdoa semoga syuhada'2 yg telah mau mensyiarkan islam 4JJI meridhoi kita semua
mungkin ini yg lebih patut kita syukuri
terimakasih temen2 sbg warisatul ambiya'
(Wah, Pak Bos ini kayaknya nyindir saya karena saya belum pernah ikut ngaji dan sholat dhuha bareng di ruangannya....he he he...)
Pak Adang menulis : Betul betul jeli si ibu satu ini dalam mensikapi dan mengamati prilaku dan aktifitas keseharian yang dilakukan khususnya komunitas manusia di lantai V.
Hanya saja yang perlu kita pikirkan kenapa kita tidak bisa menyampai pada ketinggian 960 seperti hitungan dan perkalian sebenarnya sehingga kita hanya terpaku pada hitungan angka cuma 96 atau setingkat lantai 5 tidak bisa lebih dari itu.
Coba kita renungkan kenapa itu terjadi..............????????????????????
Itulah kehidupan dimana manusia punya keterbatasan kemampuan yang mana saat ini hanya sebatas lantai 5 ketinggian yang bisa kita capai dan akhirnya kita juga turun lagi ke lantai 1, itu kita ulang setiap hari
Apa yang bisa kita ambil hikmah dari semua itu.
1. Kita wajib bersyukur meskipun bahwasanya kita diberi kemampuan untuk dapat naik sampai ke lantai 5
2. Kita harus berhati hati untuk menapaki tingkat kehidupan yang lebih tinggi karena setiap langkah lebih tinggi resiko semakin lebih besar dan tingkat kesakitan apabila terpelesat bahkan sampai jatuh bisa berakibat lebih sakit dan buruk kecuali dengan pertolongan Allah SWT
3. Ketika kita diatas sepertinya kita wajib untuk melihat kebawah sehingga mampu membawa diri kita untuk dapat melihat, merasakan, mengayomi bahkan wajib peduli aktif dengan yang dibawah
4. Semoga Allah senantiasa memberikan jalan keluar dan kemampuan kepada kita semua untuk menapaki kehidupan yang lebih tinggi dengan lancar bersama ridhoNya serta menuntun kita turun untuk membantu dan menunaikan kewajiban yang ada dibawah dalam rangkah menapaki kembali keatas dengan iringan ridho Allah SWT. Amiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin
5. Akhirnaya semoga Allah SWT. membimbing kita untuk menapaki kehidupan dan pekerjaan kita dan memberikan jalan yang lebih baik untuk kita semua rekan-rekan, pimpinan, dan staf seperti kita
Bos menulis : Lebih hebat lagi teman2 di ruangan saya tiap hari berapa huruf al quran yg telah dibaca?
sekarang sudah lebih dari 2 bulan temen2 sebagai syuhada' telah membaca berapa huruf yg ditebarkan tiap pagi di jimerto bahkan sudah berapa ratus rakaat sholat jamaah baik yg wajib juga sunnah tinggal kita berdoa semoga syuhada'2 yg telah mau mensyiarkan islam 4JJI meridhoi kita semua
mungkin ini yg lebih patut kita syukuri
terimakasih temen2 sbg warisatul ambiya'
(Wah, Pak Bos ini kayaknya nyindir saya karena saya belum pernah ikut ngaji dan sholat dhuha bareng di ruangannya....he he he...)
Pak Adang menulis : Betul betul jeli si ibu satu ini dalam mensikapi dan mengamati prilaku dan aktifitas keseharian yang dilakukan khususnya komunitas manusia di lantai V.
Hanya saja yang perlu kita pikirkan kenapa kita tidak bisa menyampai pada ketinggian 960 seperti hitungan dan perkalian sebenarnya sehingga kita hanya terpaku pada hitungan angka cuma 96 atau setingkat lantai 5 tidak bisa lebih dari itu.
Coba kita renungkan kenapa itu terjadi..............????????????????????
Itulah kehidupan dimana manusia punya keterbatasan kemampuan yang mana saat ini hanya sebatas lantai 5 ketinggian yang bisa kita capai dan akhirnya kita juga turun lagi ke lantai 1, itu kita ulang setiap hari
Apa yang bisa kita ambil hikmah dari semua itu.
1. Kita wajib bersyukur meskipun bahwasanya kita diberi kemampuan untuk dapat naik sampai ke lantai 5
2. Kita harus berhati hati untuk menapaki tingkat kehidupan yang lebih tinggi karena setiap langkah lebih tinggi resiko semakin lebih besar dan tingkat kesakitan apabila terpelesat bahkan sampai jatuh bisa berakibat lebih sakit dan buruk kecuali dengan pertolongan Allah SWT
3. Ketika kita diatas sepertinya kita wajib untuk melihat kebawah sehingga mampu membawa diri kita untuk dapat melihat, merasakan, mengayomi bahkan wajib peduli aktif dengan yang dibawah
4. Semoga Allah senantiasa memberikan jalan keluar dan kemampuan kepada kita semua untuk menapaki kehidupan yang lebih tinggi dengan lancar bersama ridhoNya serta menuntun kita turun untuk membantu dan menunaikan kewajiban yang ada dibawah dalam rangkah menapaki kembali keatas dengan iringan ridho Allah SWT. Amiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin
5. Akhirnaya semoga Allah SWT. membimbing kita untuk menapaki kehidupan dan pekerjaan kita dan memberikan jalan yang lebih baik untuk kita semua rekan-rekan, pimpinan, dan staf seperti kita
Rabu, Mei 13, 2009
Menuju Lantai 960
Percaya tidak, saat ini saya sudah berada di lantai 960! Pingin tahu ceritanya?
Bulan Mei ini sudah satu tahun saya dan teman-teman yang berkantor di lantai 5 menapaki tangga. Sejak jatuhnya lift yang biasa mengangkut kami anjlok pada bulan Mei 2008 lalu, maka praktis tanggalah yang kami pijak untuk menuju ke lantai 5. Setiap hari tangga yang saya dan teman-teman lalui sebanyak 8 tangga. Setiap tangga berjumlah sekitar 12 undakan, jadi jumlah undakan yang harus ditapaki sebanyak 96 pijakan. Jika setiap bulan ada 20 hari kerja maka dalam satu bulan sudah 1.920 undakan yang telah dilewati. Dan jika satu tahun ada 240 hari kerja, maka jumlah tangga yang telah ditapaki untuk dinaiki sudah sebanyak 240 x 1.920 pijakan sama dengan 23.040 pijakan atau undakan.
Apabila satu undakan berukuran sekitar 30 cm2, maka pijakan yang telah ditapakai untuk menuju ke lantai 5 sudah sepanjang 691.200 cm2 atau sekitar 6.912 m2. Jika itu dihitung hanya hari kerja saja, padahal terkadang hari Sabtupun sering lembur atau rapat. Dan hitungan di atas hanya menghitung untuk menapaki undakan naik saja serta dihitung dalam kondisi normal, artinya belum dihitung ketika seseorang harus naik turun, bolak balik ketika ada rapat di tempat lain yang berada di lantai bawah. Nah, jika dihitung selama satu tahun saat ini kita telah berada diketinggian 6.912 m2 melebihi tinggi Gunung Puncak Jaya Irian Jaya yang 4884 m2... he he he....
Jadi jika seseorang berkantor di lantai 5 di gedung Pemkot Surabaya yang berada di jl. Jimerto ini setiap hari naik dan turun (dalam kondisi normal), telah menapaki 96 pijakan undakan untuk naik, dan 96 pijakan untuk turun. Maka yang telah ditapaki dalam sehari naik dan turun sebanyak 192 undakan. Jika dalam satu bulan dihitung 20 hari kerja, maka mereka telah menapaki tangga sebanyak 20 hari kerja x 192 undakan sama dengan 3.840 undakan. Jika dikalikan selama satu tahun atau 240 hari kerja maka 46.080 undakan telah dilewati.
Jika satu pijakan anak tangga atau undakan memiliki tinggi sekitar 30 cm, maka mereka telah menapaki sejauh 1.382.400 cm, atau sekitar 13.824 m2 dalam satu tahun!
Bulan Mei ini sudah satu tahun saya dan teman-teman yang berkantor di lantai 5 menapaki tangga. Sejak jatuhnya lift yang biasa mengangkut kami anjlok pada bulan Mei 2008 lalu, maka praktis tanggalah yang kami pijak untuk menuju ke lantai 5. Setiap hari tangga yang saya dan teman-teman lalui sebanyak 8 tangga. Setiap tangga berjumlah sekitar 12 undakan, jadi jumlah undakan yang harus ditapaki sebanyak 96 pijakan. Jika setiap bulan ada 20 hari kerja maka dalam satu bulan sudah 1.920 undakan yang telah dilewati. Dan jika satu tahun ada 240 hari kerja, maka jumlah tangga yang telah ditapaki untuk dinaiki sudah sebanyak 240 x 1.920 pijakan sama dengan 23.040 pijakan atau undakan.
Apabila satu undakan berukuran sekitar 30 cm2, maka pijakan yang telah ditapakai untuk menuju ke lantai 5 sudah sepanjang 691.200 cm2 atau sekitar 6.912 m2. Jika itu dihitung hanya hari kerja saja, padahal terkadang hari Sabtupun sering lembur atau rapat. Dan hitungan di atas hanya menghitung untuk menapaki undakan naik saja serta dihitung dalam kondisi normal, artinya belum dihitung ketika seseorang harus naik turun, bolak balik ketika ada rapat di tempat lain yang berada di lantai bawah. Nah, jika dihitung selama satu tahun saat ini kita telah berada diketinggian 6.912 m2 melebihi tinggi Gunung Puncak Jaya Irian Jaya yang 4884 m2... he he he....
Jadi jika seseorang berkantor di lantai 5 di gedung Pemkot Surabaya yang berada di jl. Jimerto ini setiap hari naik dan turun (dalam kondisi normal), telah menapaki 96 pijakan undakan untuk naik, dan 96 pijakan untuk turun. Maka yang telah ditapaki dalam sehari naik dan turun sebanyak 192 undakan. Jika dalam satu bulan dihitung 20 hari kerja, maka mereka telah menapaki tangga sebanyak 20 hari kerja x 192 undakan sama dengan 3.840 undakan. Jika dikalikan selama satu tahun atau 240 hari kerja maka 46.080 undakan telah dilewati.
Jika satu pijakan anak tangga atau undakan memiliki tinggi sekitar 30 cm, maka mereka telah menapaki sejauh 1.382.400 cm, atau sekitar 13.824 m2 dalam satu tahun!
Seandainya tangga-tangga itu dijejer menjadi undakan, barangkali saat ini kami telah berada di undakan yang ke 23.040. Byuhh... tinggi banget! kira-kira itu berada di lantai berapa ya? Mari kita hitung. Satu tangga ada sekitar 12 undakan, dan untuk menuju ke lantai di atasnya membutuhkan 2 tangga atau 24 undakan. Jika ada 23.040 anak tangga itu berarti ada 1.920 tangga dan itu berarti posisi kita saat ini berada di lantai 960! Jadi jika tanga-tangga itu di jejer naik menjulang ke atas, maka saat ini saya dan teman-teman sudah berada di lantai 960! Sudah hampir menyentuh langit, sudah menembus awan... Mirip dongeng HC Andersen si Jack dan Kacang Ajaib. Pada dongeng tersebut diceritakan si Jack memanjat kacang ajaibnya hingga menembus awan dan bertemu raksasa yang memiliki ayam bertelur emas. Akankah saya juga akan menemukan ayam bertelur emas seperti si Jack itu?
Tapi saya yakin, anda belum pernah sampai ke lantai 960 kan? Kami sudah merasakan, walaupun itu menimbulkan rasa nyeri di lutut.
Tapi saya yakin, anda belum pernah sampai ke lantai 960 kan? Kami sudah merasakan, walaupun itu menimbulkan rasa nyeri di lutut.
Senin, Mei 04, 2009
Ndok Asin

Ndok Asin atau telor asin adalah salah satu kesukaan yang menjadi kebiasaan ketika menjemput anakku mbarep Ridho pulang dari jakarta. Kebiasaan yang saya maksud adalah membeli telor asin yang baru dimasak, yang masih hangat, yang baru saja di-entas dari kukusan. Sambil menunggu Kereta Api dari Jakarta datang, saya biasanya menyempatkan untuk mampir di suatu gang di samping stasiun Pasar Turi. Di sana telor-telor bebek yang masih hangat (bacanya harus pakai huruf b, sebab kalao nggak pake b jadi eek...) karena baru dikukus, sangat menggairahkan untuk dimakan. Rasannya ehmmmm.... mak nyooss!. Kuning telor yang kenyal dan hangat, terasa menggairahkan di lidah. Apalagi penjualnya suka beri bonus telor yang ketika dikukus pecah dan benyok-benyok, diberi gratis atau dipotong harga. Di gang sempit itu, saya bisa membeli 50 biji telor bebek yang sudah siap makan, telor bebek yang masih mentah dan telor kampung.
Tidak seperti ketika membeli di pasar, di sini penjualnya membagi telor menjadi 3, yakni telor yang kuningnya berwarna merah (oranye terang), agak merah, dan kuning. Tentu saja harganya berbeda. Yang berwarna merah atau oranye terang lebih mahal dari pada yang agak merah atau kuning. Dan yang murah yang kuningnya berwarna kuning pucat. Untuk menemukan atau membedakan mana telor yang berwarna merah, agak merah dan kuning, mereka melakukan dengan cara yang cukup sederhana, yaitu dengan hanya memakai teropong atau gulungan yang terbuat dari kertas karton. Dengan cara yang sederhana ini, maka mereka bisa melihat dan menebak telor-telor mana yang berwarna merah, oranye atau kuning.
Berbicara telor asin, hari Minggu pagi kemarin saya membelikan sepuluh butir untuk Mbak Im, penjual pracangan di pasar Keputih. Setiap saya belanja di tempatnya, selalu saja saya diberi pelayanan yang sangat spesial, belum lagi tiba-tiba saja keranjang belanjaan mendadak penuh berisi beraneka saayur seperti jagung manis, tempe, kacang panjang dan kadang aneka bothok.
Ketika saya cerita ke suami, dia bilang saya termauk orang yang kufur, kok ya mau-maunya diberi gratis dan murah sama Mbak Im. Singkatnya saya ini termasuk orang yang nggak punya rasa kasihan sama mbak Im ini. Saya bilang ke suami, barangkali mbak Im sungkan, karena sering saya kirimi koran satu kardus untuk bungkus. Suami bilang, kalo ngasih ya ngasih saja, nggak usah berharap dikasih murah dan menerima pemberian mbak Im....
Terus terang, saya sendiri sebenarnya senang dikasih murah sama mbak Im. Seperti halnya ibu-ibu lainnya yang kalau belanja dapat diskon atau dikasih bonus, saya pun juga merasa senang dengan bonus dari mbak Im ini. Tapi kata-kata suami saya mengusik saya, jadinya setiap saya dikasih murah sama mbak Im, saya pasti kepikiran. Seperti pagi itu, setelah mendapatkan bonus jagung manis dua kantong yang tiba-tiba saja sudah nyantol di sepeda motor, siangnya saya kirimi mbak Im telor asin itu. Dan malam harinya saya kirimi mbak Im kertas koran satu kresek besar. Kertas koran ini sangat dibutuhkan mbak Im untuk bungkus barang dagangannya. Memang saya sengaja tidak menujual kiloan, saya tidak begitu suka dengan tukang rombeng yang berseliweran di rumah, mending saya kasihkan saja ke mbak Im, lebih bermanfaat.
Hubungan saya dengan mbak Im terjalin sudah seperti kerabat saja layaknya. Inilah yang saya sukai, dan suami saya tidak memahami jalinnya hubungan kami ini. Mula-mula saya mengenal Ibunya Mbak Im yang juga penjual pracangan di pasar Keputih. Di Pasar Keputih ini, ibu mbak Im yang biasa saya panggil Yu Mus dibantu oleh anak dan mantunya. Saya kenal mantunya yang bernama mbak Siti dan mbak Maya. Dua orang ini sering berebut meladeni saya ketika saya belanja di bedengnya Yu Mus. Dan ketika Yu Mus menanyakan apakah saya punya kertas koran bekas karena dia membutuhkan untuk bungkus dagangannya. Maka, sejak saat itu saya rajin mengirimkan kertas-kertas koran dan jika lebaran tiba, saya juga memberikan bonus pakaian dan roti kaleng untuk mereka. Jadilah kami menjadi saudara satu sama lain.
Karena di pasar Keputih saat itu belum begitu banyak pedagang pracangan, maka Yu Mus mulai mengajari anak dan mantunya untuk berdiri sendiri, menjual dagangannya sendiri. Dan mulailah mbak Im memiliki tempat tak jauh dari lokasi dagangannya Yu Mus yang saat ini ditempati mbak Siti karena Yu Mus sudah tidak aktif lagi ke pasar, dan mbak Maya pindah ke arah laguna. Tapi berpencarnya mereka menjadi tiga tempat membuat saya bingung, karena baik mbak Siti, Mbak Im, dan Mbak Maya semua meminta koran. Dan saya juga bingung harus belanja ke mana apakah ke mbak Im, mbak Siti atau mbak Maya. Akhirnya, entah bagaimana saya selalu belanja ke mbak Im, ini barangkali karena lokasi daganganya mbak Im tidak masuk ke dalam pasar yang becek dan pengab itu. Dan karena saya selalu belanja ke mbak Im, maka kertas koranpun saya kirim ke mbak Im.
Pernah suatu saat saya belanja di tempat mbak Siti, dia bertanya "bu korannya mana...?". Karena saya tidak bawa koran, maka dia saya suruh ambil sendiri di rumah. Dan ketika mbak Siti sudah ambil koran satu karung beras, tiba-tiba mbak Maya telepon minta koran juga. Karena koran sudah habis saya berikan ke mbak Siti, maka sebagai gantinya saya tawari baju yang tidak pernah saya pakai karena saya tidak suka warnanya. Jadilah Malam itu, mbak Maya ke rumah mengambil beberapa baju yang sudah saya siapkan untuknya.
Namun, besok paginya ketika belanja di mbak Im, suaminya mbak Im protes "Bu korannya aku kok nggak dibagi?".....
a
Langganan:
Postingan (Atom)