
Ndok Asin atau telor asin adalah salah satu kesukaan yang menjadi kebiasaan ketika menjemput anakku mbarep Ridho pulang dari jakarta. Kebiasaan yang saya maksud adalah membeli telor asin yang baru dimasak, yang masih hangat, yang baru saja di-entas dari kukusan. Sambil menunggu Kereta Api dari Jakarta datang, saya biasanya menyempatkan untuk mampir di suatu gang di samping stasiun Pasar Turi. Di sana telor-telor bebek yang masih hangat (bacanya harus pakai huruf b, sebab kalao nggak pake b jadi eek...) karena baru dikukus, sangat menggairahkan untuk dimakan. Rasannya ehmmmm.... mak nyooss!. Kuning telor yang kenyal dan hangat, terasa menggairahkan di lidah. Apalagi penjualnya suka beri bonus telor yang ketika dikukus pecah dan benyok-benyok, diberi gratis atau dipotong harga. Di gang sempit itu, saya bisa membeli 50 biji telor bebek yang sudah siap makan, telor bebek yang masih mentah dan telor kampung.
Tidak seperti ketika membeli di pasar, di sini penjualnya membagi telor menjadi 3, yakni telor yang kuningnya berwarna merah (oranye terang), agak merah, dan kuning. Tentu saja harganya berbeda. Yang berwarna merah atau oranye terang lebih mahal dari pada yang agak merah atau kuning. Dan yang murah yang kuningnya berwarna kuning pucat. Untuk menemukan atau membedakan mana telor yang berwarna merah, agak merah dan kuning, mereka melakukan dengan cara yang cukup sederhana, yaitu dengan hanya memakai teropong atau gulungan yang terbuat dari kertas karton. Dengan cara yang sederhana ini, maka mereka bisa melihat dan menebak telor-telor mana yang berwarna merah, oranye atau kuning.
Berbicara telor asin, hari Minggu pagi kemarin saya membelikan sepuluh butir untuk Mbak Im, penjual pracangan di pasar Keputih. Setiap saya belanja di tempatnya, selalu saja saya diberi pelayanan yang sangat spesial, belum lagi tiba-tiba saja keranjang belanjaan mendadak penuh berisi beraneka saayur seperti jagung manis, tempe, kacang panjang dan kadang aneka bothok.
Ketika saya cerita ke suami, dia bilang saya termauk orang yang kufur, kok ya mau-maunya diberi gratis dan murah sama Mbak Im. Singkatnya saya ini termasuk orang yang nggak punya rasa kasihan sama mbak Im ini. Saya bilang ke suami, barangkali mbak Im sungkan, karena sering saya kirimi koran satu kardus untuk bungkus. Suami bilang, kalo ngasih ya ngasih saja, nggak usah berharap dikasih murah dan menerima pemberian mbak Im....
Terus terang, saya sendiri sebenarnya senang dikasih murah sama mbak Im. Seperti halnya ibu-ibu lainnya yang kalau belanja dapat diskon atau dikasih bonus, saya pun juga merasa senang dengan bonus dari mbak Im ini. Tapi kata-kata suami saya mengusik saya, jadinya setiap saya dikasih murah sama mbak Im, saya pasti kepikiran. Seperti pagi itu, setelah mendapatkan bonus jagung manis dua kantong yang tiba-tiba saja sudah nyantol di sepeda motor, siangnya saya kirimi mbak Im telor asin itu. Dan malam harinya saya kirimi mbak Im kertas koran satu kresek besar. Kertas koran ini sangat dibutuhkan mbak Im untuk bungkus barang dagangannya. Memang saya sengaja tidak menujual kiloan, saya tidak begitu suka dengan tukang rombeng yang berseliweran di rumah, mending saya kasihkan saja ke mbak Im, lebih bermanfaat.
Hubungan saya dengan mbak Im terjalin sudah seperti kerabat saja layaknya. Inilah yang saya sukai, dan suami saya tidak memahami jalinnya hubungan kami ini. Mula-mula saya mengenal Ibunya Mbak Im yang juga penjual pracangan di pasar Keputih. Di Pasar Keputih ini, ibu mbak Im yang biasa saya panggil Yu Mus dibantu oleh anak dan mantunya. Saya kenal mantunya yang bernama mbak Siti dan mbak Maya. Dua orang ini sering berebut meladeni saya ketika saya belanja di bedengnya Yu Mus. Dan ketika Yu Mus menanyakan apakah saya punya kertas koran bekas karena dia membutuhkan untuk bungkus dagangannya. Maka, sejak saat itu saya rajin mengirimkan kertas-kertas koran dan jika lebaran tiba, saya juga memberikan bonus pakaian dan roti kaleng untuk mereka. Jadilah kami menjadi saudara satu sama lain.
Karena di pasar Keputih saat itu belum begitu banyak pedagang pracangan, maka Yu Mus mulai mengajari anak dan mantunya untuk berdiri sendiri, menjual dagangannya sendiri. Dan mulailah mbak Im memiliki tempat tak jauh dari lokasi dagangannya Yu Mus yang saat ini ditempati mbak Siti karena Yu Mus sudah tidak aktif lagi ke pasar, dan mbak Maya pindah ke arah laguna. Tapi berpencarnya mereka menjadi tiga tempat membuat saya bingung, karena baik mbak Siti, Mbak Im, dan Mbak Maya semua meminta koran. Dan saya juga bingung harus belanja ke mana apakah ke mbak Im, mbak Siti atau mbak Maya. Akhirnya, entah bagaimana saya selalu belanja ke mbak Im, ini barangkali karena lokasi daganganya mbak Im tidak masuk ke dalam pasar yang becek dan pengab itu. Dan karena saya selalu belanja ke mbak Im, maka kertas koranpun saya kirim ke mbak Im.
Pernah suatu saat saya belanja di tempat mbak Siti, dia bertanya "bu korannya mana...?". Karena saya tidak bawa koran, maka dia saya suruh ambil sendiri di rumah. Dan ketika mbak Siti sudah ambil koran satu karung beras, tiba-tiba mbak Maya telepon minta koran juga. Karena koran sudah habis saya berikan ke mbak Siti, maka sebagai gantinya saya tawari baju yang tidak pernah saya pakai karena saya tidak suka warnanya. Jadilah Malam itu, mbak Maya ke rumah mengambil beberapa baju yang sudah saya siapkan untuknya.
Namun, besok paginya ketika belanja di mbak Im, suaminya mbak Im protes "Bu korannya aku kok nggak dibagi?".....
a