Rabu, Juli 29, 2009

Tuhanpun berpuasa

Dikutip dari Buku “Tuhanpun bepuasa oleh EMHA Ainun Nadjib”.

Puasa dalam arti istilah adalah menahan dan puasa menurut bahasa adalah menahan lapar dan haus dari mulai sahur sampai berbuka. Fisik puasa terletak dibulan ramadhan yang mengahampar dari subuh ke maghrib, suasana hatinya menyebar dan bertaburan di malam hari hingga fajar, tetapi ruhaninya, alam pikirannya, maknanya, hikmah dan hakiki nyawa kehidupannya, sangatlah takjub untuk direnungkan.

Jika para pelakunya memiliki kecerdasan dan kesetiaan; mendobrak dinding bulan ramadhan menembus segala ruang dan waktu memasuki kebudayaan manusia hingga disetiap gerak perilaku semua hamba Allah, menagih kehidupan social manusia. Bertanya keras kepada pangggung-panggung politik, menyerap hak-haknya dari mekanisme ekonomi, serta mempertanyakan bukti aktualisasinya di setiap jengkal (kreativitas sejarah manusia).

Bagi kaum muslimin kebanyakan datangnya bulan ramadhan menggiring mereka untuk merasakkan kekusyukan khusus setahun sekali selama sebulan, dan segala gagasan serta penghayatan mereka mengenai puasa, mereka limpahkan didalam mangkuk ramadhan sebulan itu. Bagi mereka puasa adalah pekerjaan ringan tak makan tak minum serta menahan segala kemaksiatan sejak pagi hingga senja hari.

Bagi mereka iklim ramadhan adalah kepuasan berbuka, romantisme tarawih bersama, perjuang tadarus, kekangenan tarkhim sesudah makan sahur serta rasa memulai ketahanan diri melawan nafsu begitu bedug subuh ditabuh. Bagi mereka puasa dan ramadhan adalah sebuah keasyikan religius dan kemesraan uluhiyah yang diujungi oleh pesta idul fitri.

Ketika Allah memberi pernyataan bahwa ibadah puasa merupakan suatu jenis pengabdian yang khas dan berbeda dari ibadah-ibadah lainnya, karena oleh-Nya ditentukan “ khusus untuk-Ku” apakah kita menganggap bahwa dengan demikian Allah sangat membutuhkan puasa kita? Sehingga ia memonopoli hikmah dan makna puasa kita?

Dan karena itu pula kita menyangka bahwa yang memperoleh manfaat dari puasa kita bukanlah kita melainkan Allah.Kemudian dengan demikian kita juga beranggapan bahwa dengan ibadah ini kita memang bekerja untuk Allah (yang kita sebut Lillahii Ta’aalla).

Saya ingin mengatakan kepada anda sebuah jawaban atas pertanyaan-pertanyya itu yakni tidak sungguh-sungguh tidak. Allah maha agung dan tidak membutuhkan apa-apa dari kekerdilan kita. Tidak perlu manfaat apapun dari kelemahan kita, dan Allah maha tak terhingga san sema sekali tidak memiliki ketergantungan apapun kepada ketololan kita.Manusia hendaknya tau diri, belajarlah bertawadlu’ dan coba mengenali rahasia fitrah dari firmannya denga kata lain manusia jangan “ Ge-Er ”. Kalau Allah mengatakan bahwa ibadah puasa itu khusus baginya, kita biasa membaca maksud dibalik “ retorika pergaulan ” Nya bahwa betapa ibadah puasa itu sangat penting dan memilki makna khusus bagi manusia, betapa Allah sangat mencintai hamba-hambanya yang bersedia, bertasbih dan memiliki kesangupan menahan diri.

Bahwa puasa adalah metode kedisiplinan yang diperlukan oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari, bahwa puasa adalah suatu modal thorikot (cara hidup) yang sangat menentukan selamat tidaknya manusia didunia maupun diakhirat, pandanglah sekelilingmu, lihatlah bagaimana kemewahan-kemewahan diproduksi, lihatlah bagaimana orang berkuasa dan dengan segala cara mempertahankan kekuasaanya.

Bacalah Koran, tontonlah televise, saksikanlah peperangan, perebutan, penggusuran, pembongkaran dan penindasan, mengobrolah dengan tetanggamu, dengan sahabat-sahabatmu dan rekan kerjamu, berbicaralah tentang segala keadaan dimuka bumi ini kemudian tidaklah engkau menemukan pertanyaan yang sama :” kenapa manusia sangat tidak biasa menahan diri ”? padahal Allah selalu sedemikian menahan diri?

Dengan dosa-dosa kita yang sedemikian baertumpuk, baik dosa pribadi maupun dosa kolektif baik dosa personal maupun dosa structural – tidak pantaskah kalau sejak dulu Allah murka dan melindas kita semua?

Tapi bukankah ia sangat menahan diri? Tetap memperkenankanmu berbadan sehat, bernafas dan bergerak, ? bukankah ia sangat menahan diri, dengan tetap menerbitkan matahari, mengalirkan air dan menghembuskan angina seolah-olah tidak perduli betapa malingnya kita, betapa munafik dan kufurnya kita?

Jadi sebagaimana kita ketahui bersama : islam adalah agama pembebasan (dari nafsu keduniawian yang memerosokkan manusia didalam kebinasaan) atau penyelamatan (berdasarkan konsep takdir-Nya). Dan puasa ditunjukkan oleh sikap Allah itu sebagai metode yang paling praktis – tapi mendasar bagi proses pembebasan dan penyelamatan manusia atas dirinya sendiri.

Syahadat adalah fundamen keselamatan sholat adalah tiang yang berdiri statis puasa adalah pedoman menagemen kehidupan disetiap rumah, masyarakat, Negara, kebudayaan, dan peradaban. Zakat adalah “minyak pelumas” bekerjanya “mesin hidup” dan penyeimbang mekanisme sementara haji adalah “mahkota” puncak –puncak pencapaian ibadah kehidupan manusia.

Dengan demikian Allah menunjukkan kepada manusia bahwa puasa adalah prinsip dasar untuk menjalani kehidupan. Puasa adalah menahan diri mengendalikan dan menyaring. Prinsip dasar kehidupan bukanlah melampiaskan, meloloskan, atau menghabiskan. Metode pembebasan bagi kehidupan justru melalui cara mengendalikan, menyadari batas-batas, kesangupan menyaring, menyeleksi dan mensublimasikan. Ini berlaku dalam hal apa saja, dari soal berdagang mengurusi kekuasaan politik, mengelola rumah tangga dan lain sebagainya.

Allah sendiri memberi contoh-contoh dahsyat dan luar biasa soal mengendalikan diri dengan amat setia Allah menerbitkan matahari tanpa perduli apakah kita pernah mensyukuri terbitnya matahari atau tidak. Allah memancarkan cahaya matahari tanpa memperhitungnya dengan pengkhianatan yang kita lakukan atas-Nya setiap hari. Allah memelihara kesehatan tubuh kita dari detik ke detik, meski kita bangun pagi hanya ada satu atau dua saja hamba-Nya yang mengucapkan syukur bahwa matanya masih bisa melek. Allah sendiri”berpuasa” kalau tidak kita sudah dilenyapkan oleh-Nya hari ini, karena sangat banyak alasan rasional untuk itu.