Minggu, April 01, 2012

Rumah Lawang

Rumah ini aku beli sekitar tahun 2008, tentu saja tanpa ijin Timut. Aku sengaja gak memberitahukan dia, karena dia pasti tidak setuju. Pengalaman yang sudah-sudah, setiap aku mau realisasi rumah dia pasti menolak. Ini adalah realisasi rumah yang ke empat yang aku lakukan. Pertama sekitar tahun 1993, di daerah Tanggungangin, tapi Timut menolak. Padahal saat itu ada penawaran dari bapetarum. yang kedua di Singosari daerah yang cukup dingin dekat perbukitan/ Timut menolak lagi. yang ketiga daerah Cerme dekat Gresik, uang muka di bantu kantor cuma-cuma sekitar 5juta. Untuk yang ini aku bahkan sudah meberi tanda jadi yang waktu itu sebesar 250 rb. Uang mukanya dibayari seorang teman... yang pingin bertetangga denganku. Almaaakk... Timut juga tidak setuju.
Akhirnya sekitar bulan Desember 2008, diam diam aku mengunjungi pameran rumah di Gramedia Expo. Rumah yang ditawarkan sekitar Surabaya mahal amat untuk kantongku. Satu-satunya yang terjangkau adalah penawaran di derah Lawang. Aku coba menghitung gaji dan tabungan. Duuhh... sempat ragu juga untk ambil yang pojok. Tapi mbakkku yang mengantarkan aku memberi semangat, kalau aku bisa ambil rumah pojok itu. Dia coba membantu menghitung penghasilanku. BISA BISA PASTI BISA... katanya menyemangati. Uang muka sebesar 48 juta yang harus dicicil 7 kali bagiku berat banget. Tapi Bismillah... akhirnya aku memberi uang muka tanda jadi 500 ribu.

Semua aku lakukan tanpa memberitahu pada Timut atau yang lain. Setiap bulan untuk membayar cicilan, ndeprok ke nyandong ke Gusti Allah, sambil baca surat Al-Waqiah... alhamdulilla kok ya pas to setiap bulan bisa nyicil sampai akhirnya terpenuhi 48 juta itu.
Akhirnya saat menegangkan tiba. Aku harus realisasi dan wawancra dengan suami. Hukumnya wajib kata pengembangnya. Dengan hati-hati aku ajak suami ke Malang karena realisasi ada di Malang. Mula-mula dia marah dan gondok. Sempat tengkar juga sampai aku nangis... aku bilang, ini adalah aktualisasi diriku selama bertahun-tahun kerja/ Lagian di ITS itu cuma rumah dinas yang suatu saat harus dikembalikan. Selama ini memang dia punya beberapa tanah tapi itu kan cuma tanah yang juga tidak jelas kapan akan dibangun.
Mungkin dia ga sampai hati lihat aku nangis, akhirnya dia mau juga aku ajak lihat rumah lawang itu. Sebuah rumah mungil yang dikelilingi bukit. Kadang kabut turun kala sore dan pagi menjelang. Walaupun mungin dan kecil dibanding rumah ITS yang memang luas, tapi aku menyukai rumah ini.

Suatu saat dia bertanya padaku, "mau dicat apa rumah lawang ?" tanyanya. O, kejutan! kulihat dia tampaknya mulai akrab dengan rumah ini... aku bilang terserah aja. Engkau mau melihat rumahku aja aku sudah senang... seruku. Alhasil dia menyurh Pak Didik Sopir untk mengecat warna pink, yang katanya kesukaanku... Alamaakk... padahal aku belum terpikir mau di cat apa. Sebetulnya aku akan memberi warna hiujau tosca, di satu dinding dan warna kuning di dinding lainnya.Dua kamar mungil akan aku cat merah maron dan pink. Tapi ya, gak apalah.... 

Rumah itu saat ini ditunggui Putra, seorang pria remaja yang tinggal di sekitar situ untuk menjaga dan merawat rumahku. Setiap aku datang ke sana, melihat bukit, kabut dan embun serta angin dingin menerpa kulitku... terasa aku pernah berada di tempat yang sama pada waktau yang lampau....