Jumat, April 09, 2010

ke Gunung Ijen







Timut tiba-tiba bertanya "Mau ikut nggak..? " tanyanya selalu berteka-teki. "memangnya mau ajak ke mana?" Ganti aku yang tanya. "LHa ikut nggak"? mbulet ae dia tanya tanya tapi gak jelas. Inilah Timut-ku makhluk Tuhan yang cukup aneh... selalu bertanya tapi tidak menjawab kalo ditanya ... karena sudah mengenal dia berpuluh - puluh tahun, dan aku sendiri heran kok yo betah dan anehnya malah kangen jika nggak bau keringatnya. Maka aku jawab "Yo wesss mau...."
"Tapi nani nggak boleh bilanhg lha kok...." pesannya
"Ya lihat dulu, --- lha koknya --- bisa saja muncul... kan Timut buat yang kejutan, kalo kejutannya nggak menarik aku bilang LHA KOK....."

Maka subuh itu kami berangkat tanpa aku tahu ke arah mana mau diajak Timut. Perjalanan sudah ditempuh hampir lima jam dari SUrabaya, tapi aku dan anak-anak tetap saja belum tahu.
"Kemana Pak..." Tanya Ridho
"Bapak nggak jelas tujuannya" Celetuk si Ian
"Jalan tanpa ujung" Seruku...

Tapi Timut teteplah Timut, cuma bilang "lihat saja nanti". ?Mbencekno.
Setelah menempuh hampir enam jam perjalanan kami melewati Bondowoso, memutari bukit
dan berhenti di pinggir lembah yang namanya "arak-arakan". Lembahnya bagus banget Pemandangan yang hijau, bukit serta jurang mengitari daerah ini.
"Disini to kita Pak " Tanyaku. Timut cuma senyum, lihat saja nanti. Bolak balik lihat saja nanti.
Kami makan tahu goreng petis, hemmm enak tenan panas-panas sambil minum kelapa muda.
Ridho dan ian masih sibuk dengan potret sana-sini, ngeker sana-sini.

Perjalanan kemudian dilanjutkan lagi. Setelah menempuh satu jam kami memasuki desa namanya Jurang Sapi. Sampai di sini aku masih belum tahu akan diajak kemana sama Timut. Perjalanan ditempuh dengan menembus hutan jati, dengan kondisi jalan yang cukup parah. DItambah dengan hujan deras membuat aku gondok dan mangkel sama Timut.
"Maaaasssss ini kemana to... kok jalannya mengerikan, jalan nggak ada ujungnya nggak nyampe-nyampe... Mass kemana seeehhh"?! Aku sudah mulai panik dan cemas kuatir mobil akan mogok di tengah jalan hujan deras lagi.
"Pak Didik ini kemana to.." tanyaku ke sopir.
"Lha kulo mboten ngertos Bu, wong Pak Dwi ket wau cuma ngendikan belok kiri, belok kanan lurus...ngoten mawon..." Ihhhhh mbencekno poolll.

Ridho dan Ian juga mulai protes ke Bapaknya. "Pak nanti kalo mogok gimana..."
"Bapak iki mesti gak pernah ngomong mau ke mana..." anak-anak mulai mengikuti arus transformasi kecemasan dan kejengkelanku.

Ketika kami berpapasan dengan mobil kijang, Timut menyuruh Didik untuk berhenti dan menayakan apakah masih jauh arah perkebunan kopi. Sopir mobil kijang itu mengatakan tidak jauh lagi kira-kira lima belas menit sudah sampai, dan kondisi jalan sekitar 100 meter lagi sudah mulus beraspal.

Duh lega rasanya dapat penjelasan. Tapi YA APMYUNNNN.... tenyata yang dibilang lima belas menit itu hampir satu jam, dan yang dibilang jalan mulus 100 meter lagi, ternyata baru kami temui sekitar setengah kilo lagi....
Bertul-betul perjalanan tanpa ujung.... akhirnya kami sampai juga di perkebunan kopi milik Kab. Bondowoso. Dan di kebun kopi inilah kami bermalam dengan suhu yang hampir membekukan tulang. Malam harinya kami istirahat setelah makan nasi goreng, minum kopi, dan makan buah straberry yang segar karena baru saja dipetik dari perkebunan.

Basok paginya barulah kejutan dari Timut. Dengan mengendari mobil sekitar tiga puluh menit dari penginapan kami menuju area wisata gunung ijen. LHADHALAH lak tenan to Timut... karena Timut sejak awal pemberangkatan tidak memberitahu akan diajak kemana, maka aku dan anak-anak tidak mempersiapkan pakaian gunung, sandal gunung serta ransel.
Bayangkan aku pakai sandal Bucherry dengan hal sekitar 5cm, tas yang aku bawa tas yang pantas untuk dibawa jalan-jalan ke mall. Anak-anak tidak pakai sandal gunung, tidak bawa ransel, hanya bawa tas kecil untuk air puti dan pakai sandal jepit. Duh Timut ...

Maunya tas aku tinggal saja di mobil, tapi karena berisi dokumen maka tas itu terpaksa aku jinjing. Bayangkan naik gunung sambil njinjing tas... NGGILANI.

Penjaga pos keamanan menyarankan kami membawa ranting/kayu pohon dipakai sebagai tongkat untuk membantu jalan karena jalan akan licin dan menanjak. Nah, tangan kanan bawa tongkat kayu, tangan kiri njinjing tas... PAYAHHHHH.

Mulailah perjalanan yang cukup melelahkan, dengan perlahan kami menapaki jalan yang licin, dan terus naik. Tiga Puluh menit menapai jalan, nafas sudah ngos-ngosan. Beberapa kali kami sberpapoasan dengan bapak-bapak yang mengangkut belerang dari kawah gunung Ijen. Mereka sudah mulai mengangkuti belerang sejak pukul 23.00 wira-wiri... dengan memanggul sekitar 30 kilo belerang di pundak kanan-kirinya. LUARBIASA.

Pak masih jauh? tanyaku pada mereka. "Oooo... masih, 3 kilo lagi..." Haaa tiga kilo?
Dengan beberapa kali istirahat dan setelah menempuh 2 kilo perjalanan, akhirnya kami sampai di persinggahan tempat para penambang belerang menimbangkan belerangnya. Konon tempat ini peninggalan belanda. Di sini kami istirahat sejenak sambil makan mi instans gelas, dan minum kopi... hemmm lezat juga. Setelah itu perjalanan kembali kami tapaki satu kilo lagi hingga sampai di puncak gunung ijen. DUH LUAR BIASA... Pemandangan yang indah. Aroma belerang, hembusan angin serta kawah ijen yang tampak hijau kadang tertutup asap belerang, sungguh luar biasa.

Ini memang kejutan dari Timut. Setelah itu dia tanya..."LHO KOK nya Mana..." tanyanya sambil senyum-senyum... "Itu tadi lho koknya --pas jalan tidak berujung..." jawabku.

Jalan untuk balik menuju pos penjagaan relatif lebih cepat karena jalan menurun. Tapi karena sangat landai, sandal Bucherry-ku yang haknya lima centi aku lepas, jadinya aku nyeker menapaki jalan turun... perjalanan menurun ini kami tempuh sekitar hanya satu jam, dibandingkan jika naik hampir ditempuh lebih 3 jam.