Minggu, September 05, 2010

Jika Hati Tak Lagi Menyatu...

Jika hati tak lagi menyatu, apapun yang dilakukan selalu salah, tidak ada yang benar. Barangkali inilah yang sedang dialami sahabatku.. Salah satu sahabat terbaikku, yang di masa lampau selalu bersama-sama menemani aku, berdua melangkah, tertawa, menangis bersama.


Siang ini aku medapatkan sms darinya yang membuatku terhenyak. “aku sedang proses cerai… ” Duh…. Ikatan yang sudah dijalaninya selama 21 tahun gugur tersapu angin. Tapi langkah dia sebagai seorang istri aku dukung penuh walau itu berat aku lakukan, dan pilihan terburuk dari yang paling buruk.. darinya.

Sebenarnya apa yang dialaminya adalah bentuk pelecehan suami terhadap sang istri. Apa yang diterima sahabatku sebagai seorang istri sangat tidak manusiawi. Selama bertahun-tahum dia tersiksa, dan itu ditahannya sampai kedua anaknya beranjak dewasa. Apa yang bisa dilakukan sang istri jika pelecehan terhadap martabat istri dilakukan sendiri oleh suami? Jika istri hanya dipakai sebagai pelampiasan kekesalan, maka akumulasi dari rasa sakit hati yang terpendam bertahun-tahun akhirnya meledak.
Sudah sering sebetulnya dia mengeluh dan mengatakan tidak tahan terhadap perlakuan suaminya. Memang tidak ada kekerasan fisik. Tapi kekerasan kata-kata, umpatan, pelecehan adalah kasus yang sangat mengerikan. Dampaknya adalah trauma psikis, jejaknya pada hati yang tersayat akan sulit dihapus. Beruntung sahabatku ini tidak melakukan tindakan nekad. Karena bisa saja dia menganiaya suaminya karena tak tahan dengan umpatan dan pelecehan serta hinaan yang dilontarkan suami. Jika suami meludahi sang istri, sudah sewajarnya jika istri melempar suami kurang ajar ini dengan sepatu. Tapi perempuan sahabat saya ini sungguh luar biasa sabarnya. Dia hanya diam saja.

Entah mengapa dia tidak melawan, membiarkan hal ini terjadi bertahun-tahun mengiris hatinya, mengikis perasaannya, mengeringkan rasa cinta dan hormatnya pada suami.

Barangkali saja sahabat saya ini tidak siap melawan, karena dia takut apa yang akan terjadi jika dia pergi. Dia takut kekerasan dan ancaman suaminya akan benar terjadi. Sahabat saya ini adalah ibu rumah tangga biasa, yang sehari-hari tenaganya dihabiskan untuk menyenangkan keluarganyan saja.

Dia bukan tipe perempuan pekerja kantoran yang kadang egois seperti saya, yang memikirkan penampilan dan mengejar target pekerjaan. Seharusnya perempuan macam sehabat saya inilah yang disebut perempuan sejati, karena seluruh hidupnya tercurah untuk keluarganya. Tidak seperti saya yang berkutat dengan masalah pekerjaan di kantor. Berangkat pagi pulang menjelang maghrib.Sesungguhnya wanita semacam sahabat saya inilah yang patut dihargai lebih oleh para suami. Karena apa? karena dia tidak kenal lelah mengurus rumah. Mulai masak, nyuci, setlika, beberes rumah, dsb. Kapan dia sempat istirahat? Dan lagi dia tidak menuntut materi, tidak menuntut macam-macam. Tapi apa yang diperolehnya? hanya cercaan hinaan yang menggerus rasa hormatnya ..
Sahabat saya ini tetap bertahan walau situasi dan waktu tidak mendukungnya, karena dia tidak memiliki tempat untuk pergi dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak tahu ke mana harus berpaling. Dan dari seluruh alasan dia bertahan saat itu adalah karena anak. Seperti halnya perempuan lainnya yang menyayangi anak-anaknya, dia tidak ingin anak-anak menjadi korban perceraian.

Tapi rupanya sang macan sudah bangkit dari tidurnya, taringnya sudah mulai tumbuh. Rasa sakit yang ditahannya bertahun-tahun tumpah ruah, menjelma menjadi kekuatan untuk melawan. Ya perempuan sahabat saya ini menjadi berani menuntut berpisah dengan segala resikonya. Katanya anak-anak mendukung keputusan dia, dan soal beaya hidup katanya anak-anak sudah mulai bekerja, walaupun untuk itu mereka harus cuti sementara dari kuliahnya.

Jika hati tidak lagi bisa disatukan. Jika kesetiaan tidak lagi menjadi pegangan. Jika rasa sayang dan cinta telah musnah dan hancur… lalu apa yang bisa dilakukan selain menghancurkan semuanya hingga remuk tak tersisa?
Jika kata tak lagi didengar, jika belaian tak lagi dirasa, jika rindu tak lagi ada, maka apa yang dilakukan selain meninggalkan semuanya…? Bagaimanapun hidup harus berlanjut, meski tanpa pendamping itu barangkali pilihan terbaik