Minggu, September 05, 2010

Tetangga Sebelah

Tetangga sebelah ini sungguh menjengkelkan. Resek banget, tidak suka lihat orang senang, usil dan bikin gregeten. Padahal yang namanya tetangga seharusnya saling menghormati, saling menghargai, kalau perlu berbagi apa yang dimiliki. Tetangga tidak punya lombok ya minta di tetangga sebelahnya, karena pasar jauh. Sang tetangga pun tidak keberatan berbagai lombok. Nanti gantian jika tidak ada garam, minta ke tetangga barang sejumput asal cukup menggarami masakan.

Tapi tetangga yang satu ini, nglunjak. Maunya tidak hanya minta sedikit tapi minta semuanya, kalau perlu apa yang dimiliki tetangga sebelah diambil semua. Karena merasa akrab dan saling berbagi lombok, garam, gula itulah makanya dia merasa tetangganya ini akan baik-baik saja, tidak akan marah kalau gulanya diminta semuanya, garamnya juga, lomboknya juga. Nyatanya memang, tetangga ini tidak marah, hanya ngedumel di belakang saja, rasan-rasan saja tidak berani negur, tidak berani bilang… “Jangan, nanti aku masak pakai apa..?”

Karena sang tetangga tidak pernah marah inilah, maka tetangga sebelah semakin menjadi-jadi. Gula, garam dan lombok di kemas kembali oleh tetangga ini menjadi produk home indistri-nya, diberi label, dan kemudian di kenalkan ke tetangga-tetangga lainnya.

Namun, tetangga-tetangga itupun sebetulnya tahu bahwa gula, garam dan lombok itu diambil dari rumah sang tetangganya. Para tetangga inipun juga heran mengapa sang tetangga tidak marah dan membiarkan tetangganya mengaku-ngaku kalau barang itu adalah miliknya?

Maka di kompleks perumahan itupun terjadilah perbincangan hangat antar para tetangga. Tetangga yang satu mengatakan, bahwa sang tetangga asli yang memiliki gula, garam dan lombok itu patut dikasihani, karena tidak bisa berbuat apa-apa. Tetangga yang lainnya mengumpat dan mengatakan kurang ajar betul tetangga yang mengaku-aku mengklaim gula, garam dan lombok adalah miliknya. Namu tak sedikit yang menyalahkan sang tetangga yang punya hak patent terhadap gula, garam, dan lombok, karena membiarkan saja barang-barangnya bergletakan berdebu, tak terurus. Barangkali dipikir barang-barang itu sudah tidak terpakai.

Sayangnya, tetangga ini tidak izin ketika mengambil. Maka tetap saja sang tetangga mengatakan ini adalah pencurian… “Mau saya gletakan mau, saya jemur, mau saya siram suka-suka saya, wong ini punya saya…” begitu kata sang tetangga yang memiliki produk gula, garam dan lombok dengan besengut.

Kemarin tetangga ini berusaha mengambil genteng milik tetangganya yang punya garam, gula dan lombok. Padahal genteng itu masih menempel di tempatnya. Tiba-tiba saja dia mengambil tangga dan naik, berupaya mreteli genteng-genteng itu. Kali ini sang tetangga yang punya garam, gula dan lombok bereaksi. Karena tidak tahan melihat ulah tetangga yang semakin menjadi-jadi, dia marah… “Hei, apa maksudmu… selalu mengganggu aku…!” teriak sang tetangga.

Beberapa genteng yang sudah dipreteli, kemudian dipasang lagi. “Eh, anu gentengnya akan saya perbaiki biar tidak bocor…” katanya sambil turun dari anak tangga setelah memasang kembali genteng yang akan diambilnya.

“ Gentengku masih bagus tidak bocor…!” Teriaknya jengkel.

“Kenapa sih kamu selalu menggangu aku…?” Tanyanya

Tetangganya diam saja.

“Kenapa kamu mencuri barang-barangku…?” tanyanya lagi

Tetangganya masih diam.

“Kita kan bertetangga, malu saya kalau harus bertengkar”

Dia masih diam saja.

Akhirnya sang tetangga ini dengan tetangga sebelahnya tidak bertegur sapa. Sang tetangga berusaha mengamankan barang-barangnya yang memang banyak untuk dimasukkan ke rumahnya. Tapi tetangga sebelahnya inipun, entah mengapa masih saja mengendap-endap berusaha mengambil lagi entah itu hanya sebatang ranting yang tumbuh di halaman tetangganya.

Mula-mula sang tetangga ini tidak sadar kalau sediki demi sedikit ranting pohonnya yang tumbuh di halaman rumahnya dipreteli. Sampai suatu hari dia kaget, pohonnya menjadi tipis dan tidak rimbun lagi. Hatinya semakin panas, ketika dilihatnya ranting-ranting itu menjadi calon pohon baru di rumah tetangganya.

“Hei… kapan kamu berhenti berulah..?” teriaknya jengkel. Kali ini dia mendatangi rumah tetangganya.

“Itukan pohonku, yang kamu curi dari ranting-ranting pohon induknya. Lihat pohonku jadi kurus dan tidak memiliki ranting lagi…!” Tetangga ini mendelik matanya merah saking jengkelnya.

“Ah tuan, saya kan cuma ambil sedikit saja, rantingnya buat saya… pohonnya milik tuan…”

“Kamu kalau ngomong jangan seenaknya ya… Pohon itu aku beli dan ada sertifikat bukti pembayaran dan kepemilikan, jangan mengambil milik orang lain..!!”  Kali ini dia sangat marah, nafasnya tersengal-sengal rupanya marahnya sudah mencapai ubun-ubun.

“Yahh tuan, silahkah tuan bawa sertifikatnya, itu milik tuan… tapi ranting ini tetap milik saya…”