Kamis, Januari 22, 2009

O, Obama


Seperti warga dunia lainnya, saya termasuk salah satu orang yang kesengsem dengan Mas Obama. Selain ciamik, gaul, dan cool... dia juga seksi. Kulit hitamnya justru menambah kharisma. Seperti halnya Will Smith, dia juga gagah, ganteng dan tampak cerdas.
Hari Selasa kemarin 21 Januari, saya melihat Mas Obama di televisi (HBO), ketika diambil sumpahnya di Capitol Hill, AS. Saat yang bersamaan ratusan orang juga menghadiri perayaan pelantikan Obama di Ritz Carlton Hotel, Jakarta.

Mas Obama ini betul-betul bisa menggiring dan memberi motivasi ke orang lain dengan kalimat yang sangat membius 'Yes, we can. If we can do, i can do.' Bagi saya kalimat yang diucapkan Mas Obama itu luar biasa. Seperti terhipnotis, saya seakan-akan melihat dunia ini begitu indah, melihat kebersamaan tanpa perbedaan, seakan-akan semua bisa berjalan beriringan, semua serba mudah, tidak ada yang tidak bisa selagi kita bersama... Ah mas Obamaaa.... saya membayangkan ketika saya sumpek dengan kerjaan yang tak kunjung selesai, mas Obama menepuk-nepuk bahu saya dan bilang AYO SEMANGAT... ! Ketika saya sedang tidak punya uang banyak untuk bantu Mak Pik memborong lontong mie-nya yang masih satu panci penuh, wajah mas Obama muncul, dan dengan galak bilang : AYO JANGAN PELIT..!

Kemudian, saya membayangkan, jika Mas Obama ada di Indonesia, menjadi Warga Negara Indonesia, tetap bersekolah di Indonesia, apa ya yang kira-kira Mas Obama kerjakan? Jadi Pegawai Negeri Sipil kayak saya ini? Jadi pengusaha? Atau mengikuti trend jadi caleg? Terus wajahnya ikut mejeng di seluruh pinggir jalan... sambil ngepalkan tangan dan bilang : AYO... KITA PASTI BISA!

Tapi jika mas Obama di Indonesia, apakah wajahnya yang ganteng itu akan tetap ngganteng ya?
Apakah kayak Glenn Fedly yang suaminya Dewi Sandra itu?
Ah, yang pasti saat ini saya sedang terbius sama mas Obama... lebih tepatnya terbius dengan senyum dan wajah mas Obama...
Mas Obamaaa......

Selasa, Januari 20, 2009

JIMERTO WEEKLY REPORT


Saat terbetik kabar, jika majalah GAPURA akan hijrah ke Humas, ada sedikit kekecewaan sekaligus lega juga. Sedikit kecewa karena, majalah ini sudah bertahun-tahun, tepatnya sejak tahun 2003 telah dikelola oleh Dinas Infokom, kemudian berganti Bapetikom dan saat ini menjadi Kominfo, dengan wajah baru dan mengalami metamorfosa yang sedemikian luar biasa. Dari majalah yang awalnya hanya dipakai kipas-kipas saja, karena baik isi maupun kualitas kertas yang saat itu memang tidak menarik, sampai akhirnya menjadi majalah yang cukup menarik, dan mendapatkan penghargaan sebagai Juara I Nasional pada Anugerah Media Humas Pemerintah tahun 2006, sekaligus juara III Nasional Profil lembaga cetak yang diselenggarakan oleh Bakohumas Depkominfo RI. Pada tahun 2008 juga mendapatkan juara III Katagori media penerbitan internal pemerintah, antar lembaga pemerintah, departemen dan lembaga negara.

Memang saat itu cukup sulit untuk merubah maindset majalah Gapura. Saat itu saya meminta bantuan mahasiswa saya untuk membenahi content dan tampilan foto-fotonya. Teman saya bu Any yang memegang majalah Gapura, juga se ide dan memiliki gagasan untuk merubah tampilan majalah ini. Jadilah saat itu di tangan bu Any secara perlahan majalah Gapura berubah tampil cantik.
Namun, sejak bu Any ditarik ke bagian umum dan kepegawaian sekeratriat Diskominfo Surabaya, maka Gapura yang biasa ditangani bu Any, menjadi pekerjaan tambahan saya. Dan seandainya benar akan kembali ke Humas, bagi saya tidak masalah, karena memang asal muasalnya atau sejarahnya Gapura ini lahir dari orang-orang yang berkecimpung di Humas. Dan sudah sepantasnya Humas juga memiliki penerbitan sebagai bentuk sosialisasi dan penyebaran informasi.

Dan lega, karena mengisi rubrik di majalah Gapura cukup rumit. Setiap bulan harus diisi dengan hal yang baru. Ini artinya, setiap hari harus mencicil dan mencatat apa kira-kira yang akan diterbitkan untuk bulan berikutnya. Masalahnya, pekerjaan yang saya kerjakan bukan hanya materi atau isi Gapura saja, tapi juga pekerjaan lain seperti membuat buku KIM, brosur, pertemuan Bakohumas/bakorinko, pameran KIM, pertemuan KIM dsb yang sesuai dengan agenda DPA yang sudah disusun.

Sebagai gantinya, dan untuk menyalurkan energi ke-jurnalitik-an yang sudah berakar di sebagian diri teman-teman, saya telah mempersiapkan untuk membuat Jimerto weekly Report, yang berisi hasil liputan kegiatan pemerintah kota surabaya. Mengapa Jimerto weekly Report? Ini karena kegiatan hunting untuk berita di website www.surabaya.go.id berada di Dinas Komunikasi dan Informatika yang berada di jl. Jimerto Surabaya.
Untuk sementara Jimerto Weekly Report ini akan diterbitkan mingguan, pada Jumat sore. Dan jika sudah memiliki crew yang cukup dan bisa berbelanja informasi, maka tidak menutup kemungkinan akan diterbitkan setiap hari. Kegiatan yang diliput selain berita, juga dalam bentuk foto dan video yang semua itu nantinya dinamai Jimerto Weekly Report. Sebagai produk awal, teman-teman sudah mulai menerbitkan Jimerto Weekly Report dalam minggu kedua Januari 2009.

Jimerto Weekly Report menurut gambaran saya, tidak akan serumit menerbitkan majalah Gapura. Jika majalah, maka teman-teman harus investigasi lebih mendalam terhadap berita yang akan ditulis. Tapi jika Jimerto Weekly Report , hampir tiap hari teman-teman bisa mendapatkan berita karena mengikuti agenda kegiatan Pemerintah Kota atau SKPD. Kalau toh tidak ada berita yang diliput, mereka masih bisa mendapatkannya dari keluhan masyarakat yang masuk, yang bisa dikembangkan menjadi berita.

Untuk mempertajam tulisan, memang perlu latihan terutama memahami pakem membuat berita sesuai standar jurnalistik dan kode etik serta enak dibaca. Untuk itu, memang harus banyak belajar dan dilatih. Untungnya teman-teman di Jimerto Weekly Report memiliki semangat yang luar biasa untuk maju. Semangat inilah yang utama. Dan semangat ini perlu disupport agar tetap terjaga.

Minggu, Januari 18, 2009

PARADE FOTO

Jika anda berjalan dan menyusuri Kota Surabaya, maka anda akan disuguhi foto-foto yang berukuran raksasa terpampang disepanjang jalan, disepanjang mata memandang.... Ya, inilah Parade Foto, ajang pamer wajah agar dikenal untuk dipilih sebagai wakil rakyat. Foto-foto itu, saya yakin adalah foto yang diambil dan dipilih dari sudut pemotretan yang terbaik, atau sudah dipoles dan disempurnakan dengan teknologi komputer. Hasilnya, bisa dilihat ketika dipajang disepanjang jalan, gang, kampung, bahkan ditempel ditembok-tembok dan beberapa tiang listrik, telepon dan ada juga yang dipasang di pohon.

Dari semua foto yang dipajang, yang berukuran raksasa ini, posisi dan gaya di foto itu hampir sama, seperti pas foto yang dipasang di ijazah. Bedanya, pada foto-foto yang dipajang, yang seukuran baliho itu ada juga foto orang lain, yang merupakan atau dianggap yang memberi restu atas keikutsertaannya pada pameran foto, untuk pemilihan wakil rakyat mendatang. Jadi parade foto ini mirip foto keluarga yang biasa kita lihat di ruang tamu. Ada ibu, anak, bapak, teman. Sehingga sedikit membingungkan, siapa kira-kira yang nantinya dipilih. Ibunya, anaknya, bapaknya atau temannya... "Walah mbak, kalau bingung ya pegangan kuping..." kata temanku ketika saya nggrundel.

Sepanjang jalan, foto-foto itu menatap kita, dengan senyumnya yang diatur sedemikian rupa untuk memberi kesan ramah, berwibawa, peduli dengan rakyat, sesuai dengan slogan yang diusungnya. Ada juga foto yang benar-benar melotot, ada juga foto yang memakai bulu mata palsu sehingga matanya seakan tidak bisa berkedip, ada juga foto yang senyumnya aneh, dan ada juga foto yang matanya sayu....

Lebih heboh lagi, semua foto itu diberi tulisan yang mencitrakan peduli akan nasib rakyat miskin. Ada tulisan "Janganlah rakyat menderita, biarlah pemimpin saja yang menderita..." . Ada yang ditulis "Berjuang untuk rakyat", "Peduli Wong Cilik". Semua tulisan itu ditulis dengan huruf yang mencolok. Padahal kita sama sekali belum pernah melihat wajah yang ada di foto itu membersihkan sampah, menyantuni orang miskin, membantu anak-anak yang kelaparan dan butuh pendidikan... Teman saya bilang "Jangan apriori opo'o... siapa tahu mereka termasuk orang yang tidak mau disorot kegiatannya.." Iya,ya.. siapa tau begitu, nggak kayak saya yang minta diekspose ketika ngasih pengamen seribu perak. Pada beberapa tulisan di foto itu juga tertulis MOHON DOA RESTU, persis tulisan di undangan kondangan hajatan sunatan atau perkawinan.

Tulisan dan foto ternyata tidak hanya ditempel dan dipasang di pinggir-pinggir jalan, tapi juga di kaca belakang angkot, di belakang kaos oblong, dan stiker. Jika satu orang yang mendaftar sebagai calon wakil rakyat mencetak seratus (saja) foto ukuran baliho, seratus kaos, seratus stiker, seratus spanduk, seratus umbul-umbul, seratus brosur. Maka ada berapa baliho, kaos, spanduk dan lainnya, jika yang mencalonkan ada 100 orang dan masing-masing mencetak 100? Seandainya dipajang berderet-deret, maka betul-betul akan merupakan ajang foto yang memanjang sepanjang Surabaya sampai Lamongan... Padahal, parade foto ini hampir melanda di seluruh kota di Indonesia... jika semua dipajang, maka betul-betul menjadi foto dari Sabang sampai Merauke, berjajar foto-foto...sambung menyambung menjadi satu, itulah Indonesia....
Jika dihitung dengan biaya, berapa banyak uang yang telah dikeluarkan...? Seandainya uang itu dikumpulkan untuk orang yang kelaparan, butuh modal, butuh pendidikan, butuh obat... pasti senyum lebar dan air mata terharu akan tergambar di wajah orang-orang yang dibantu ini. Kata ustaz justru orang-orang ini menebarkan bau surga, karena doanya akan mampu menjebol langit.

Sudahkah mereka yang wajahnya tersenyum di parade foto itu pernah mengunjungi orang miskin di pelosok daerah pilihannya? Jika sudah, masihkah mereka akan mecetak foto raksasa dirinya yang beayanya bisa buat menyambung hidup orang miskin?
Kembali teman saya nyletuk, "Jangan su'udon, siapa tahu, mereka yang kampanye ini, akan betul-betul memperjuangkan rakyat dan menyantuni orang miskin..."

Sabtu, Januari 17, 2009

Ngobrol buah apel


Jika kita punya sebuah apel dan kita bagikan ke sepuluh orang, maka masing-masing akan mendapatkan sepotong. Tapi jika kita punya pengetahuan dan kita bagikan ke sepuluh orang, maka mereka akan mendapatkan pengetahuan yang sama dan menularkan ke lainnya... Begitulah filosofi dari Pak Prawoto, Kepala BIP Depkomnfo setiap mengawali seminar atau pertemuan dengan orang lain.

Namun siang ini ketika kami bertemu untuk makan siang di RM Handayani Kertajaya, untuk sekedar ngobrol ringan, Pak Prawoto tidak saja membagi pengetahuan tapi juga berbagi filosofi tentang kesehatan. Dia mengatakan jabatan itu hanyalah sesaat, yang setiap saat bisa diganti orang lain karena diinginkan banyak orang, karena itu bekerja sesuai dengan kapsitas dan kemampuan. Karena tenaga dan pikiran kita juga terbatas, kalau kita jatuh sakit tak ada seorangpun yang mau menggantikan rasa sakit itu...

Ketika Pak Prawoto menghubungi saya dan mengatakan hari Sabtu ada di Surabaya, maka saya mencoba menawarkan untuk makan siang bersama teman-teman. Saya sendiri tidak menyangka, Pak Prawoto masih menyempatkan diri memenuhi undangan kami makan siang, padahal jadwal dia sangat padat. Apalagi makan siang ini hanya ngobrol sharing soal pekerjaan, sedikit bernostalgia, kenangan waktu masih di Surabaya, ketika masih menjadi Kepala Infokom Jatim dan Ketua STIKOSA. Saya juga cerita kalau saya masih mengajar di STIKOSA sesuai dengan reomendasinya. Kemudian dia menyarankan agar dalam pekerjaan saya ada semacam call center Telepon Sahabat Anak... Jika ada anak yang tersesat, anak yang mendapat kesulitan, bisa menghubungi call center ini... hmmm bagus juga ya... kira-kira bisa nggak ya diaplikasikan di kantor? Bos setuju nggak ya?
DIantara kesibukannya Pak Prawoto juga aktif mengajar di beberapa perguruan tinggi di Jakarta. Rupanya dia telah mempersiapkan diri untuk jadi dosen jika kelak pensiun. Apalagi S3-nya sudah diselesaikan tahun lalu. Dan saya tidak sempat hadir di Brawijaya -Malang, ketika pengukuhan doktoralnya....

Saya sebetulnya ingin sekali menerima tawaran Pak Prawoto untuk mengunjungi Kantornya di BIP Kominfo Jakarta, tapi saya masih belum ada waktu yang pas untuk ke sana. Pingin banget lihat aktifitas teman-teman Kominfo di News room-nya, dan di pelayanan publiknya...
Ketika obrolan siang ini hampir selesai, saya bertanya..."Pak jika kelak seandainya Bapak jadi meteri, apakah masih bisa menyempatkan hadir memenuhi undangan kami seperti siang ini tanpa birokrasi?"... Pak Prawoto cuma tersenyum dan tertawa lebar...

DaUn MuDA


Daun Muda. Siapa yang tidak tahu daun muda? Jangan berasusmi daun muda adalah Brondong atau Perempuan muda... Daun muda disini ya benar-benar daun...
Jika hari libur tiba, dan kebetulan pas tidak ada lembur di kantor, maka mulailah ritual yang menurut anakku "NGGILANI"... pagi-pagi anakku dengan bersungut-sungut sudah mencari daun-daun muda... dia mulai metiki pucuk daun kates, luntas, jambu air, kedondong, juga daun asem yang masih bewarna hijau pupus... "Ma... rumputnya juga ta..!" teriaknya. "HUsss, memang mamamu ini kambing?" .... "Lha wong mama makannya daun-daun begini, terus kambingnya dikasih apa?"...

Setelah membuat sambal terasi, mencuci semua daun sampe bersih, maka akupun siap di meja makan. Tak lupa lalapan itu ditambah dengan potoongan kunir mentah. Semua serba mentah...fresh in the garden pokok-e...
"Hiiii... mama nggilani"... seru anakku. "Ini enak, coba aja, menyehatkan lagi" kataku
"Ga mau..." anakku heran lihat aku makan dengan lahap semua daun itu plus sambal dan lalapan kunir.

Aku sendiri heran, kenapa daun-daun itu menggugah selera makanku... ini barangkali kesalahan gen dari orang tua. Dulu sewaktu kecil, kami setiap hari selalu sarapan dengan lalapan. mulai dari yang umum dipakai lalap seperti kemangi, luntas sampai yang tidak biasa dipakai lalap seperti jahe, kunir . Bahkan daun kates dan pare yang menurut orang pahit, maka aku sudah biasa makan mentah... lebih segar kriuk, kriuk.....
Dikantor kadang sungkan juga ketika bawa bekal, tapi penuh lalapan daun kates dan kunir.... Karena itu kalau bawa bekal, lalapan itu pasti saya tinggal di rumah, cuma kunir saja yang saya bawa setelah dipotong tipis tipis.

Untungnya halaman rumah cukup luas untuk ditanami jenis pohon yang daunnya bisa aku makan... dan lagi tetangga ga ada yang melihara kambing. Kalau ada kambing, masak aku royokan sama kambing....

Temanku bilang, tuh ada juga daun yang bisa kamu makan... Daun kuping, daun pintu, daun jendela....

Jumat, Januari 16, 2009

ISENG ae...


Jika di kantor kejenuhan sudah mulai mendera, maka keisenganpun muncul... apa saja bisa saya pake untuk iseng... iseng mengganggu teman, atau jika ga ada yang bisa diganggu, ya brwosing di internet, beeksperimen dengan angka...
Teman saya bilang, "Buat apa iseng bereksperimen, buang waktu saja, toh Bos nggak akan peduli..." saya jawab, "ya biarlah nggak peduli, daripada ngrumpi..." Maka mulailah saya iseng-iseng menghitung tingkat kepadatan penduduk Surabaya 10 tahun lagi, lengkap dengan tingkat kesejahteraan kehidupannya, usianya, dan usia produktifnya. Saya juga iseng menghitung tingkat kematian bayi. Semua saya hitung dengan rumus Kependudukan yang saya peroleh dari browsing internet. Hasilnya, setelah dibaca salah seorang teman pers, dia tertarik dan ingin mempublikasikan. Tentu saja saya nggak mau, karena ini cuma hitungan yang perlu dibuktikan kebenarannya. Tapi teman saya ini bilang, kalau yang saya buat sangat bisa dipublikasikan, karena dihitung pake rumus yang sudah ditetapkan. Karena dia maksa, yo wis saya serahkan hitungan saya itu, tapi dengan catatan kalau dipublikasikan tidak perlu menyebut nama saya sebagai narasumber. Jadilah besoknya berita dia terbit, lengkap dengan asumsi yang saya tulis, tapi dia menepati janjinya, nama saya tidak tersebutkan sama sekali....

Keisengan saya berikutnya adalah, pas ada mahasiswa magang di kantor. Saya pernah jadi mahasiswa yang magang, dan merasakan benar, kebanyakan mahasiswa magang banyak dianggurkan... maka iseng-iseng saya minta dia membuat Analisa Berita, membandingkan berita di surat kabar X dan Y tentang pemberitaan Pemkot Surabaya, tentu saja dengan berita yang topiknya sama.

Saya bilang padanya, coba kita ukur dengan standar jurnalistik dan pakai analisa isi atau framing, bagaimana kedua surat kabar itu ketika memberitakan tentang Pemkot. Apa benar mereka tidak memberikan opini pada beritanya... hasilnya ehmmm.... ternyata media X bisa diasumsikan memberikan opini yang negatif terhadap Pemkot, media Y netral. Besoknya, kita coba membedah Analisa Berita lagi dengan topik lain, tapi surat kabarnya ditambah surat kabar X, Y, dan Z..... Sebetulnya dengan analisa berita ini, kita bisa tahu arah opini masyarakat dan opini surat kabar tentang kebijakan Pemkot... tapi saya belum berani menyodorkan analisa berita ini ke bos, kuatir tidak dibaca dan nggarai gelo... wong asalnya iseng kok mau pamer...

Keisengan yang saya lakukan tidak berhenti, dan sasarannya mahasiswa. Siapa lagi yang bisa membantu keisengan ini kalau bukan mahasiswa? Sekali waktu ketika ada mahasiswa yang magang dia berkonsultasi tentang Tugas Akhir yang akan dikerjakannya. Saya sarankan untuk meneliti, bagaimana pemahaman para PKL terhadap perda PKL. Apakah mereka para PKL itu paham? Paham terus Patuh? Atau Paham tapi tidak patuh? Bagaimana Perda itu ketika dososialisasikan? Lewat media apa saja? Melibatkan siapa saja? cara mensosialisasikan?
Akhirnya mahasiswa ini mengambil Tugas Akhir seperti yang saya sarankan.... hasilnya? ehmmm....ternyata...Perda PKL... ahhh saya ngantuk, besok saja ya... mau nonton film di HBO sampe pagi, soalnya Sabtu besok sementara tidak lembur,Alhamdulillah.... bisa masak kepala ikan rek! uenak tenan...

UAS


Setelah Ujian Tengah Semester berlalu, tiba-tiba terbersit pikiran ingin mencoba mahasiswa hal yang baru. Saat pertemuan awal setelah UTS, saya tawarkan UAS tidak take home seperti UTS tapi terjun langsung ke lapangan mengapliasika teori dan kejadian yang ada di lapangan. Syukurlah mahasiswaku ini antusias... saya juga jadi semangat, karena ini UAS pertama di kampus yang mahasiswanya melakukan penelitian di lapangan. Untuk sementara saya ragu juga, mereka baru semester pertama, dan mata kuliah yang saya ajarkan adalah Pengantar Ilmu Komunikasi. Biasanya mahasiswa melakukan penelitian setelah mendapatkan materi teori komunikasi atau semester 6 ketika mendapatkan materi Metode Penelitian Komunikasi (yang juga saya ajarkan). Tapi saya coba mengikuti apa yang pernah dikatakan pak Habibie mantan menteri riset dan Presiden kita yang ke 3, bahwa perlu dilakukan lompatan besar. Yang biasanya orang mulai dari awal dahulu baru menuju akhir, tapi sekarang dibalik menuju akhir dulu baru awalnya diikuti.... karena itu Pak habibie dulu langsung membuat pesawat terbang, padahal masyarakat masih banyak yang belum bisa merakit sepeda....

Setelah meminta izin pada Rektor Kampus (Pak Zaenal), bahwa UAS mahasiswa saya tidak mengerjakan soal atau membuat makalah (take home), tapi membuat karya tulis penelitian tentang Keberanian Kaum Transeksual Mengungkapkan jati dirinya, maka mahasiswapun langsung mencari data.

Karena saya sangat bangga dengan mahasiswa yang antusias dan semangat ini, maka sayapun coba menghubungi Pak Zaenal lagi, untuk bisa hadir ketika anak-anak presentasi. Alhamdulillah, Pak Zaenal hadir juga, dan sungguh luar biasa hasil yang disajikan anak-anak... mereka cukup cerdas menguaraikan permasalahan dan memaparkan hasil penelitiannya, lengkap dengan film hasil wawancara dengan kaum gay dan waria...
Inilah senangnya jadi dosen, bisa bereksplorasi dan menuangkan gagasan yang kemudian diterjemahkan para mahasiswa. Menurut saya, pekerjaan dosen adalah semacam seniman, dia bisa bebas berkarya, tidak terikat dengan pakem. Dua pekerjaan yang bisa menghasilkan eksplorasi dan kebebasan berimajinasi, serta kebebasan berkarya, adalah dosen dan seniman. Karena itu para seniman bebas untuk melukis, menulis, mencipta lagu, menggambar dsb....

Ketika pagi hari sibuk dengan pekerjaan menjadi PNS, mengikuti kehendak, keinginan, dan perintah atasan... maka ketika sore hari bertemu para mahasiswa, hati dan pikiran bisa sangat terang benderang, ide-ide mengalir sangat deras... kayaknya ide yang tersumbat di pagi hari meluncur deras di sore hari... Dan ide semakin mengalir ketika menulisdi blog... luar biasa. Rasa lelah tiba-tiba hilang ketika bisa bertemu mahasiswa, dan menulis di blog...

Kehilangan Momen



Kehilangan Momen. Itu kalimat yang diucapkan suamiku ketika aku minta izinnya untuk ambil S3 di ITS. Aku heran juga, kenapa dia tidak begitu antusias, bahkan sekedar mengucapkan selamat atas diterimanyaS3 saja nggak. Alih-alih mengucapkan selamat, malah dia katakan "Kamu nanti kehilangan momen anak-anakmu. Ian mau masuk SMP, si Ridho masuk Perguruan Tinggi". Peristiwa "bersejarah" itu pada bulan Juli tahun 2007. Yang sampai saat ini masih teringat.
Saat itu, mbakku menawari aku untuk coba daftar s3 di ITS dengan program beasiswa Unggulan dari Dikti Pusat. Saat itu aku menolak, pertama aku nggak yakin dengan kemampuan bahasa inggrisku. Ini dibantah sama mbakku. Dia bilang bahasa inggris bisa dipelajari. Kedua, aku malas belajar lagi toh aku pikir ga akan berpengaruh terhadap pekerjaanku yang PNS ini. Lagi-lagi mbakku berargumen, kalo pendidikan itu sampai kapanpun akan laku, apalagi katanya, aku akan memerlukannya karena aku juga ngajar. Kali ini aku membantahnya, aku bilang kalau aku ngajar bidang komunikasi, pendidikan s1-s2 ku juga dari komunikasi, mana nyambung dengan materi yang di ITS, yang eksak itu.
Mbakku bilang, jangan kuatir... aku wis lihat silabusnya, awakmu ndaftar di Jurusan Arsitektur dengan konsentrasi Manajemen Pengembangan Kota (MPK). Menurutnya eman-eman, wong dibiayai negara, aku tinggal bondo isi kepala saja. Karena didesak, dirayu sekaligus dimarahi... maka akupun coba daftar s3 ini. Setelah lihat materi silabus dan mata pelajarannya, akupun mulai yakin kalo aku akan bisa melewati, karena materinya tidak jauh berbeda dengan sosiologi.

Setelah membeli formulir seharga 500 ribu, aku mulai belajar mempersiapkan diri untuk tes. Karena salah satu syarat pendaftaran harus dilengkapi dengan rekomendasi pimpinan, maka aku mulai cari-cari siapa kira-kira yang bisa memberi rekomendasi untuk mendaftar s3 ku ini. Singkat cerita aku mendapatkan rekomnedasi dari Pa Nadjib (Kepala Bapetikom saat itu), Pak Hari (Kepala Humas), Pak Fadil yang saat itu masih menjabat asisten dan pak Teguh dosen Unitomo. Pinginnya sih mendapatkan rekom juga dari Pak Deddy Mulyana, tapi karena pak Deddy berada di Bandung karena mengajar di Unpad, maka aku urungkan rekom dari pak Deddy ini.

Tes pertama sudah dilewati dengan biasa saja. Tes kedua adalah mempresentasikan rencana desertasi yang akan diambil. Saat itu aku mengambil judul PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP KEBIJAKAN PEMKOT SURABAYA. Metode yang aku pakai Multi stage random sampling penduduk surabaya usia 20 tahun ke atas. Presentasi dihadapan pengujiProf. Heppy, DR. Fakih, DR. Djoko dan seorang lagi yang aku lupa namanya. Ternyata aku satu-satunya dari komunikasi, semua yang presentasi dan daftar s3 berlatar belakang pendidikan arsitektur. Mati Aku! Sempat minder juga... berani-beraninya orang komunikasi ndaftar s3 di Arsitek.
Tapi aku coba meyakinkan di depan para penguji, bahwa penelitian ini ingin mengetahui seberapa jauh tingkat partisipasi masyarakat terhadap kebijakan Pemkot Sby.

Jika kebijakan pemkot sudah disosialisasikan, seberapa jauh tingkat pemhaman mereka. Jika mereka paham apakah mereka melakukan sesuai dengan isi kebijakan tersebut. Apakah mereka hanya paham saja tapi enggan melakukannya? Atau mereka paham tapi isi kebijakannya bertentangan dengan budaya mereka, bertentangan dengan kebiasaan mereka. Atau mereka tidak paham karena isi kebijakan tersebut membingungkan dan sulit dipahami, atau bisa jadi merea tidak paham karena cara penyampaiannya yang tidak tepat. Tidak tepat ini bisa jadi petugasnya yang tidak menguasai materi, atau cara penyampaian petugas yang tida komunikatif dsb.

Akhirnya para penguji cukup tertarik dengan presentasiku ini. Bahkan Dr. Djoko mengatakan ini baru pertama kali orang komunikasi memasuki bidang Arsitek. Dan menurut Pak Djoko, art itu tidak hanya bangunan tapi juga isi perda yang aku paparkan ini. Bahkan Pak Fakih berharap aku bisa lolos sampai pusat. Prof. Heppy bilang, nanti promotorku Dr. Fakih...

Dua bulan kemudian, aku mendapatkan surat pemberitahuan kalau aku lolos tahap pertama di ITS. Tahap kedua yakni menunggu penentuan lolos beasiswa unggulan dari Dikti Pusat. Tapi tak lama kemudian namaku muncul di situs Dikti Pusat, kalau aku lolos s3. Dikti pun sudah 2 kali menghubngi aku untuk wawancara. Dan aku kaget ketika Dikti bertanya, aku akan pilih kuliah di Amerika, Jepang, Astralia atau Jerman? Walah... ku pikir tidak ada kuliah di luar negeri....
Itulah sebabnya ketika aku minta izin suami, maka jawabannya seperti yang aku tulis di awal tulisan ini, Aku akan kehilangan momen anak-anakku ... dan ketika aku minta pendapat anakku mbarep, si Ridho, dia bilang, "Ma, mama nanti kalo mati ga ditanya lulusan apa... yang ditanya mama ngopeni anake nggak...?
Aku juga minta pendapat anakku ragil, si Ian, dia bilang "Ya pergi saja kalau mama pingin pergi, kan ada Bapak yang ngopeni anak-anaknya.." Akhirnya saya bertanya sekali lagi ke suami, "Bagaimana Pak, diizinkan nggak...?"
"Jawabanku ada di jawaban anak-anak". Maka bercucuranlah air mata ini.... antara sedih, bingung, dan terharu jadi satu.... Sedih aku harus melepas kesempatan s3 yang sudah di depan mata, bingung karena jawaban ke tiga para ksatria ini tidak bisa aku pahami dengan jelas, dan terharu ternyata aku masih dibutuhkan sebagai ibu, bukan sebagai seorang doktor!

Akhirnya, besoknya akupun menghubungi Prof Heppy selaku Ketua Program Pasca Sarjana Arsitektur dan Dr. Fakih selaku promotorku. Aku meminta maaf dan rasa penyesalan yang mendalam tidak bisa melanjutkan mengikuti Program S3. Sebetulnya Prof Heppy sangat menyayangkan kemunduruan diriku ini, sebab program ini belum tentu ada untuk tahun berikutnya. Tapi ketika kuberikan alasanku, akhirnya Prof. Heppy memahami, bahkan aku disarankan mengikuti lagi tes doktoral dengan program Habibi Center yang tidak ada perkuliahan di luar negeri.

Aku juga SMS meminta maaf ke bapak-bapak yang telah memberiku rekomendasi.... dari sekian SMS yang aku kirimi hanya pak Nadjib yang balas : Ya sudahlah, bagaimanapun keluarga adalah yang terbaik... ambil hikmahnya saja.
Dan ketika bertemu dengan Pak Redy Panuju (Dosen Komunikasi di Unitomo), dia kaget kenapa s3ku kok dilepas... setelah aku ceritakan dia bilang sambil bercanda : Buangen ae bojomu.... aku jawab "ya janganlah... golek yang model begini sudah nggak ada lagi....."

Tapi suamiku benar adanya, kalo aku ambil s3, maka aku nggak akan lihat momen anakku berjuang menembus UI, dan yang ragil menembus SMP ... mereka adalah yang utama, biarlah Ridho dan Ian saja yang kelak lanjutkan sekolahku, bahkan kalo bisa yang lebih tinggi lagi...

Sekarang aku tinggal menyelesaikan cita-cita yang tertunda, tulisan Nainaidhodoriku, ternyata mendapat sambutan luar biasa baik dari anakku, suamiku, temannya anak-anakku, juga anak-anak lainnya termasuk Satria anaknya Novi.... Maaf, untuk sementara Nainaidhodhorinya tidak ditulis di blog ini, tapi disimpan ditempat lain, sampai nanti selesai dan siap di publikasikan.
Tunggu saja cerita duyung ini... aku janji akan segera selesai, sebab sahabat-sahabat kecilku hampir tiap hari menanyakan kelanjutan cerita Nainaidhodhori....sabar yaaa...

Senin, Januari 05, 2009

KEONG

Tahu keong-kan? ituloh binatang yang punya antena, yang punya rumah di punggungnya... Nah, ternyata yang hobi bawa-bawa rumah bukan cuma keong saja, tapi juga di sini di kantorku.
Mau tahu ceritanya?