Jumat, Januari 16, 2009

Kehilangan Momen



Kehilangan Momen. Itu kalimat yang diucapkan suamiku ketika aku minta izinnya untuk ambil S3 di ITS. Aku heran juga, kenapa dia tidak begitu antusias, bahkan sekedar mengucapkan selamat atas diterimanyaS3 saja nggak. Alih-alih mengucapkan selamat, malah dia katakan "Kamu nanti kehilangan momen anak-anakmu. Ian mau masuk SMP, si Ridho masuk Perguruan Tinggi". Peristiwa "bersejarah" itu pada bulan Juli tahun 2007. Yang sampai saat ini masih teringat.
Saat itu, mbakku menawari aku untuk coba daftar s3 di ITS dengan program beasiswa Unggulan dari Dikti Pusat. Saat itu aku menolak, pertama aku nggak yakin dengan kemampuan bahasa inggrisku. Ini dibantah sama mbakku. Dia bilang bahasa inggris bisa dipelajari. Kedua, aku malas belajar lagi toh aku pikir ga akan berpengaruh terhadap pekerjaanku yang PNS ini. Lagi-lagi mbakku berargumen, kalo pendidikan itu sampai kapanpun akan laku, apalagi katanya, aku akan memerlukannya karena aku juga ngajar. Kali ini aku membantahnya, aku bilang kalau aku ngajar bidang komunikasi, pendidikan s1-s2 ku juga dari komunikasi, mana nyambung dengan materi yang di ITS, yang eksak itu.
Mbakku bilang, jangan kuatir... aku wis lihat silabusnya, awakmu ndaftar di Jurusan Arsitektur dengan konsentrasi Manajemen Pengembangan Kota (MPK). Menurutnya eman-eman, wong dibiayai negara, aku tinggal bondo isi kepala saja. Karena didesak, dirayu sekaligus dimarahi... maka akupun coba daftar s3 ini. Setelah lihat materi silabus dan mata pelajarannya, akupun mulai yakin kalo aku akan bisa melewati, karena materinya tidak jauh berbeda dengan sosiologi.

Setelah membeli formulir seharga 500 ribu, aku mulai belajar mempersiapkan diri untuk tes. Karena salah satu syarat pendaftaran harus dilengkapi dengan rekomendasi pimpinan, maka aku mulai cari-cari siapa kira-kira yang bisa memberi rekomendasi untuk mendaftar s3 ku ini. Singkat cerita aku mendapatkan rekomnedasi dari Pa Nadjib (Kepala Bapetikom saat itu), Pak Hari (Kepala Humas), Pak Fadil yang saat itu masih menjabat asisten dan pak Teguh dosen Unitomo. Pinginnya sih mendapatkan rekom juga dari Pak Deddy Mulyana, tapi karena pak Deddy berada di Bandung karena mengajar di Unpad, maka aku urungkan rekom dari pak Deddy ini.

Tes pertama sudah dilewati dengan biasa saja. Tes kedua adalah mempresentasikan rencana desertasi yang akan diambil. Saat itu aku mengambil judul PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP KEBIJAKAN PEMKOT SURABAYA. Metode yang aku pakai Multi stage random sampling penduduk surabaya usia 20 tahun ke atas. Presentasi dihadapan pengujiProf. Heppy, DR. Fakih, DR. Djoko dan seorang lagi yang aku lupa namanya. Ternyata aku satu-satunya dari komunikasi, semua yang presentasi dan daftar s3 berlatar belakang pendidikan arsitektur. Mati Aku! Sempat minder juga... berani-beraninya orang komunikasi ndaftar s3 di Arsitek.
Tapi aku coba meyakinkan di depan para penguji, bahwa penelitian ini ingin mengetahui seberapa jauh tingkat partisipasi masyarakat terhadap kebijakan Pemkot Sby.

Jika kebijakan pemkot sudah disosialisasikan, seberapa jauh tingkat pemhaman mereka. Jika mereka paham apakah mereka melakukan sesuai dengan isi kebijakan tersebut. Apakah mereka hanya paham saja tapi enggan melakukannya? Atau mereka paham tapi isi kebijakannya bertentangan dengan budaya mereka, bertentangan dengan kebiasaan mereka. Atau mereka tidak paham karena isi kebijakan tersebut membingungkan dan sulit dipahami, atau bisa jadi merea tidak paham karena cara penyampaiannya yang tidak tepat. Tidak tepat ini bisa jadi petugasnya yang tidak menguasai materi, atau cara penyampaian petugas yang tida komunikatif dsb.

Akhirnya para penguji cukup tertarik dengan presentasiku ini. Bahkan Dr. Djoko mengatakan ini baru pertama kali orang komunikasi memasuki bidang Arsitek. Dan menurut Pak Djoko, art itu tidak hanya bangunan tapi juga isi perda yang aku paparkan ini. Bahkan Pak Fakih berharap aku bisa lolos sampai pusat. Prof. Heppy bilang, nanti promotorku Dr. Fakih...

Dua bulan kemudian, aku mendapatkan surat pemberitahuan kalau aku lolos tahap pertama di ITS. Tahap kedua yakni menunggu penentuan lolos beasiswa unggulan dari Dikti Pusat. Tapi tak lama kemudian namaku muncul di situs Dikti Pusat, kalau aku lolos s3. Dikti pun sudah 2 kali menghubngi aku untuk wawancara. Dan aku kaget ketika Dikti bertanya, aku akan pilih kuliah di Amerika, Jepang, Astralia atau Jerman? Walah... ku pikir tidak ada kuliah di luar negeri....
Itulah sebabnya ketika aku minta izin suami, maka jawabannya seperti yang aku tulis di awal tulisan ini, Aku akan kehilangan momen anak-anakku ... dan ketika aku minta pendapat anakku mbarep, si Ridho, dia bilang, "Ma, mama nanti kalo mati ga ditanya lulusan apa... yang ditanya mama ngopeni anake nggak...?
Aku juga minta pendapat anakku ragil, si Ian, dia bilang "Ya pergi saja kalau mama pingin pergi, kan ada Bapak yang ngopeni anak-anaknya.." Akhirnya saya bertanya sekali lagi ke suami, "Bagaimana Pak, diizinkan nggak...?"
"Jawabanku ada di jawaban anak-anak". Maka bercucuranlah air mata ini.... antara sedih, bingung, dan terharu jadi satu.... Sedih aku harus melepas kesempatan s3 yang sudah di depan mata, bingung karena jawaban ke tiga para ksatria ini tidak bisa aku pahami dengan jelas, dan terharu ternyata aku masih dibutuhkan sebagai ibu, bukan sebagai seorang doktor!

Akhirnya, besoknya akupun menghubungi Prof Heppy selaku Ketua Program Pasca Sarjana Arsitektur dan Dr. Fakih selaku promotorku. Aku meminta maaf dan rasa penyesalan yang mendalam tidak bisa melanjutkan mengikuti Program S3. Sebetulnya Prof Heppy sangat menyayangkan kemunduruan diriku ini, sebab program ini belum tentu ada untuk tahun berikutnya. Tapi ketika kuberikan alasanku, akhirnya Prof. Heppy memahami, bahkan aku disarankan mengikuti lagi tes doktoral dengan program Habibi Center yang tidak ada perkuliahan di luar negeri.

Aku juga SMS meminta maaf ke bapak-bapak yang telah memberiku rekomendasi.... dari sekian SMS yang aku kirimi hanya pak Nadjib yang balas : Ya sudahlah, bagaimanapun keluarga adalah yang terbaik... ambil hikmahnya saja.
Dan ketika bertemu dengan Pak Redy Panuju (Dosen Komunikasi di Unitomo), dia kaget kenapa s3ku kok dilepas... setelah aku ceritakan dia bilang sambil bercanda : Buangen ae bojomu.... aku jawab "ya janganlah... golek yang model begini sudah nggak ada lagi....."

Tapi suamiku benar adanya, kalo aku ambil s3, maka aku nggak akan lihat momen anakku berjuang menembus UI, dan yang ragil menembus SMP ... mereka adalah yang utama, biarlah Ridho dan Ian saja yang kelak lanjutkan sekolahku, bahkan kalo bisa yang lebih tinggi lagi...

Sekarang aku tinggal menyelesaikan cita-cita yang tertunda, tulisan Nainaidhodoriku, ternyata mendapat sambutan luar biasa baik dari anakku, suamiku, temannya anak-anakku, juga anak-anak lainnya termasuk Satria anaknya Novi.... Maaf, untuk sementara Nainaidhodhorinya tidak ditulis di blog ini, tapi disimpan ditempat lain, sampai nanti selesai dan siap di publikasikan.
Tunggu saja cerita duyung ini... aku janji akan segera selesai, sebab sahabat-sahabat kecilku hampir tiap hari menanyakan kelanjutan cerita Nainaidhodhori....sabar yaaa...