Selasa, Maret 31, 2009

SENDIRI

Tiba-tiba saya merasa keheningan menyelingkupi, dan rasa sesak menggumpal di dada. Rasa sesak itu menyisakan hempasan nafas yang berat yang mengganjal tenggorokkan. Ya, keheningan dan kesesakan ini menciptakan sebuah atmosfir, saya terhenyak, ternyata saya sendiri...

Saya tidak ingin bersentimentil, atau berkeluh peluh... tapi hari ini saya merasakan turbelensi.
Seperti dentingan garputala yang mengeluarkan atmosfir keheningan, saya merasakan ternyata saya bukan siapa-siapa. Bahkan diri saya, tubuh saya untuk diri saya sendiri, saya tidak kuasa. Saya bukan siapa-siapa.... Kesadaran ini muncul dan membuat saya terhenyak tak berdaya, manakala saya tidak bisa memutuskan apa yang terbaik bagi diri saya...

Kelelahan yang mendera yang biasanya tidak saya rasakan, karena saya menikmati pekerjaan saya walaupun pulang menjelang maghrib, tiba-tiba saja bukan rasa lelah yang saya rasa , tapi kesendirian dan keheningan... Sore ini menjelang ke kampus, dan seperti biasanya saya akan berangkat dari kantor Dinkominfo pukul 16.30, dan saya merasakan ke sendirian itu menyergap... karena rasa sendiri inilah, jauh-jauh hari tidak seperti biasanya, saya sudah menyiapkan naskah UTS sekaligus UAS, dan materi kuliah. Terbayang, malam ini saya akan sampai rumah menjelang pukul 21.00. Terbayang pula wajah Ridho anakku yang kuliah di UI. Kepedihan dan kerinduan, menjadikan saya betul-betul tidak mampu mengusir kesendirian ini. Saya masih ingin memeluknya, membacakan cerita patung batu, atau sandal yang bisa berbicara.... sebuah cerita yang dulu menjadi favoritnya, dan ketika diminta untuk mengulang ceritanya, dia pasti dengan lancar akan bercerita.

Barangkali kesendirian ini karena aku kangen sama Ridho

Rabu, Maret 25, 2009

GALAU GAGAL CALEG

Menarik sekali ide yang saat ini dilakukan oleh beberapa rumah sakit jiwa (RSJ) dengan menyediakan fasilitas perawatan bagi caleg yang terganggu kejiwaannya akibat gagal menjadi caleg 2009. Ide rumah sakit ini cukup cemerlang dan bisa diartikan mereka para pengelola rumah sakit jiwa ini bisa membaca tanda-tanda dan situasi yang akan dialami oleh para caleg yang gagal melaju ke pilkada. Antisipasi menyediakan tempat dan fasilitas untuk para caleg yang terganggu jiwanya akibat gagal dalam pencalonannya, barangkali karena "peluang" untuk gagal menjadi caleg dan menjadi galau atau terganggu kejiwaannya cukup terbuka lebar. Hal ini bisa dilihat dari jumlah caleg sementara yang akan bertarung pada Pemilu tahun 2009 mencapai 11.868 orang. Mereka berasal dari 77 daerah pemilihan di 33 provinsi, dan akan memperebutkan 560 kursi DPR. Jadi memang peluang untuk lolos menjadi caleg ini betul-betul super ketat, dan persaingannya sangat luar biasa. Apalagi pada pemilihan caleg yang memperoleh kesempatan untuk menduduki kursi adalah mereka yang mendapatkan suara terbanyak. Artinya nomor urut tidak berpengaruh terhadap peluang memperoleh kursi. Siapapun yang bakal mendapatkan perolehan suara terbanyak pada 9 April nanti, walaupun dia berada di urutan nomor buncit, maka akan memperoleh kesempatan memperoleh kursi.Karena itulah, saat ini tidak cukup hanya gambar atau foto para caleg yang terpampang berjejer di depan hidung dan mata saja untuk mencitrakan dirinya atau menarsiskan dirinya, tapi kerja nyata di tengah masyarakat, untuk menarik simpati warga, giat dialakukan mereka demi mendulang suara sebanyak-banyaknya. Akhirnya, mereka tidak saja bersaing antar partai, tapi juga sesama partai. Dan untuk menarik simpati warga ini, sudah dipastikan mereka akan merogoh kocek dalam-dalam. Jika rogohan koceknya dangkal, masih ada jalan lain, yakni jurus "tangdu" (utang dulu). Nanti, kalau terpilih tang-tangnya akan dilunasi. Memakai jurus tangdu, masih bisa dinalar, asal mereka bisa memprediksi cara untuk melunasinya dengan cara yang nalar pula. Yang tidak bisa dinalar adalah, jika mereka sampai menyekolahkan rumahnya, menyekolahkan harta bendanya, bahkan sampai melakukan penipuan, seperti salah satu anggota caleg yang baru-baru ini ditahan polisi karena tersangkut masalah penipuan pembuatan SIM. Bagi mereka yang tidak bernalar inilah, maka peluang untuk masuk ke RSJ sangat terbuka lebar. Apalagi ketika tidak terpilih, sedangkan mereka sudah mengeluarkan biaya yang sangat besar, maka sangat wajar jika mereka stress dan galau, dan akhirnya dirawat di RSJ. Sedangkan RSJ sendiri dengan cerdas menangkap peluang ke-stress-an para caleg gagal ini untuk dirawat.Bisa jadi RSJ ini berkaca pada pengalaman-pengalaman tahun lalu, dimana banyak para caleg yang stress sehingga perlu perawatan akibat kalah pertarungan dan gagal menjadi caleg.

Agar tidak mencicipi fasilitas RSJ, walaupun kabarnya cukup berkelas, terjangkau, dan mewah, namun konotasi masyarakat masih cukup negatif, jika seseorang sampai dirawat di RSJ akibat galau gagal caleg. ara caleg ini jauh-jauh hari seharusnya bisa membaca peta dan mengukur dirinya ketika akan mencalegkan diri. Sebab para caleg ini pasti paham mereka akan memperebutkan 560 kursi, sedangkan yang mendaftar sejumlah 11.868 orang. Agar lolos dan mendapatkan kursi, mereka harus bisa mengkampanyekan dirinya dan menarik simpati masyarakat. Pun mereka harus bisa menguji hipotesis untuk dirinya sendiri, apakah mereka lolos atau tidak pada pencalonan ini. Serta mereka harus bisa memprediksi tingkat simpati warga terhadap partainya terutama terhadap dirinya. Tanda-tanda kejiwaan bisa dilihat mulai dari janji-janji sampai tingkat kenarsis-an diri seorang caleg.
Janji memberikan gajinya kepada masyarakat miskin jika terpilih, merupakan salah satu janji yang sulit untuk diterjemahkan dan diprediksi, karena tidak jelas apa yang dimaksud dengan memberikan gaji? Apakah seluruh gaji plus penghasilannya di dewan, atau hanya gaji pokoknya saja?. Kita semua tahu, gaji pokok anggota dewan "tidak seberapa" dibanding dengan tunjangannya , seperti tunjangan kesehatan, perumahan, listrik, Air, Makan-Minum, Perumahan, belum bonus dari kunjungan kerja dan lainnya. Lantas gaji mana yang dimaksud? Gaji pokoknya saja, atau seluruh pendapatannya? Tapi jika seluruh pendapatannya diberikan, lantas dia dan keluarganya makan apa? Jangan-jangan caleg ini nanti malah menjadi penguni RSJ karena tidak berpenghasilan...

Gangguan tanda-tanda kejiwaan lainnya bisa diprediksi dari tingkat kenarsisan ketika "men-jual" dirinya dengan memuji-muji dirinya dengan sangat berlebihan. Apabila ini dilakukan maka bisa dicurigai dia menderita gangguan kejiwaan. Hanya orang yang tidak memiliki malu saja yang memuji-muji dirinya dengan sangat berlebihan. Artinya dia menslogankan dirinya orang yang peduli dengan kemiskinan, santun, bijaksana, anti korupsi dan sebagainya. Ketika membaca sikap dan sifat para caleg yang ditulis sendiri dengan memuji-muji diri sendiri, seraya ada fotonya, maka yang terbayang adalah gambaran orang yang angkuh. Alih-alih menarik simpati, tetapi malah memunculkan kesan kesombongan, karena di sekitar kita ada orang-orang yang justru ketika menyantuni orang miskin, memberikan bantuan pendidikan, dan peduli dengan sekitarnya justru tidak ingin diliput. Karena itu, jika sejak awal sudah men-jual dirinya dengan sangat narsis, maka jika gagal, dan jualannya tidak laku, maka tidak heran jika dia semakin narsis dan berakhir terdampar di RSJ.

Kalau sudah begini, maka para caleg ini harus betul-betul siap bermental baja...karena jika tidak, maka RSJ yang sudah mempersiapkan segala fasilitas untuk menempa kembali dirin
ya.

Rabu, Maret 11, 2009

NGAJAR MPK

Selasa sore itu, jarum telah menunjukkan pukul 17.00 WIB, tapi saya masih berkutat di kantor, belum juga berangkat ke kampus. Padahal pagi tadi sudah ditanya pengajaran, apakah sore ini saya ngajar, mengingat Selasa kemarin saya masih ijin sakit. Saya sempat minta ijin untuk dicarikan asisten dosen menggantikan saya sementara saja, karena saya merasa capek beberapa minggu ini. Tapi informasi dari kampus, mahasiswa saya kali ini lumayan banyak, karena banyak mahasiswa pagi yang pindah kuliah ke sore. Akhirnya saya janjikan nanti sore akan masuk.

Jarum jam bergerak ke 17.15 WIB ketika saya berlari menuruni tangga dan ijin ke Pak Gafar untuk ngajar. Sengaja sore itu saya tidak naik taksi, saya pikir masih ada waktu walaupun saya naik angkot, toh ngajar dimulai jam 18.15. Di dalam angkot, perut terasa melilit, saya baru sadar jika sejak pagi belum terisi sama sekali. Segera saya SMS Mas Riyanto, untuk dipesankan makanan nasional, mie goreng instan di kantin.

Tetapi ketika ampai di kampus, di meja saya di ruang transit dosen, tidak ada mie goreng idaman itu, ternyata mas Riyanto pulang ke desanya. Pantas SMS saya tidak ada jawaban. Aduh perut makin kenceng berteriak. Akhirnya saya putuskan untuk makan nanti saja di rumah sepulang ngajar, karena waktu ngajar sudah tiba, jarum sudah menunjukkan pukul 18.15 WIB. Saya masuk ke ruang kuliah dengan gemetar, apalagi saya tidak terbiasa ngajar dengan duduk. Waktu dua jam saya pakai berdiri di depan kelas untuk menerangkan mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi.
Tidak seperti ketika saya mengajar Pengantar Ilmu Komunikasi yang memakai in focus dan power point, pada mata kuliah ini saya sengaja tidak memakai in focus, karena saya pikir lebih jelas kalau saya menerangkan memakai white board saja.

Mula-mula saya menerangkan cara penelitian dengan metode content analysis media, yang didalamnya termasuk semiotic, framing dan analisia wacana. Termasuk persiapan tugas untuk meneliti media. Bagaimana sikap media dan posisi media ketika memberitakan Pilpres misalnya.

Entahlah ketika bertatap muka dengan mahasiswa dan berdiri di depan kelas, rasa lelah tiba-tiba hilang, laparpun tidak terasa. Waktu dua jam berlalu dengan cepat. Teman saya pernah bilang, saya ini nyamar... tipu lawan katanya, saya tidak tahu apa yang dimaksud.

Sampai di rumah menjelang pukul 21.00, sudah tidak ada selera untuk makan lagi, yang diinginkan cuma pingin segera rebah. Jika ada yang berbesar hati untuk mijat kaki aduh senangnya... asal bukan pijat kayak si ipul dan kiki fatmala itu...

Selasa, Maret 10, 2009

LORONG HUTAN JATI


Saat itu sekitar tahun 2000, Pak Tumiran salah seorang tukang kayu yang membantu membangun rumah kami di ITS bertamu. Dia menawarkan tanah di desanya di Caruban, yang menurutnya cukup luas untuk ditanami pohon jati. Karena Pak Tumiran sangat membutuhkan uang itu, dan dia tidak mau hanya meminjam saja, maka kami menerima tawarannya dan menitipkan tanah itu ke Pak Tumiran, terserah mau dipakai dan ditanami apa. Sesungguhnya kami sendiri tidak tahu lokasinya, kami cuma percaya saja dengan Pak Tumiran ini. Pak Tumiran cuma bilang letaknya di Desa Moring kecamatan Kare. Selang beberapa bulan kemudian kami menerima sertifikat tanah itu.

Sembilan tahun kemudian, dan sebetulnya saya sudah lupa dengan tanah itu, tapi karena saya pingin refreshing ke desa padahal saya tidak punya kerabat yang tinggal di desa, maka saya ajak suami menengok tanah itu. Jadilah kemarin, hari senin kami mengajak Pak Didik taksi untuk mengantarkan kami ke sana. Tak dinyana perjalanan menuju Desa moring termasuk perjalanan yang melelahkan sekaligus mengasyikkan. Dengan memutari bukit hutan jati, dan beberapa kali kesasar dan bertanya-tanya akhirnya kami sampai ke Desa Moring. Di mulut Desa Moring, kami bertanya lagi dimana rumah Pak Tumiran pada seorang laki-laki yang membuka servis perbaikan kursi.

"O Pak tumiran? Meniko ingkang wonten benderanipun" Dia menunjuk ke arah rumah yang di depannya ada bendera partai. "Nanging Pak Tumiran sampun pejah (meninggal).." jelasnya. Waduh! sesaat saya bingung. "Pak Tumiran ingkang gadhah adik naminipun Marjan?" Tanya saya.
"O o sanes, Tumiran ingkang gadah adik naminipun Marjan meniko griyanipun tasih mriko, ingkang wonten tugunipun meniko" Dia menunjuk ke arah tugu, yang sebetulnya saya tidak melihat adanya tugu itu.
"Nggih Pak, maturnuwun sanget" Saya bergegas masuk ke taksi dan mencari tugu yang dimaksud bapak tadi.

Tepat ditikungan jalan di depan warung, ada tugu yang sudah berlumut. Saya turun lagi dan bertanya ke orang-orang yang lagi ngopi di warung itu.

" Pak Tumiran? Nggih leres kagungan adik naminipun Marjan, meinko sampun celak melampah kemawon" Kata Pak Tua yang saya tanya, sambil menunjuk arah rumah di atas bukit.
"Pak Tumiran meniko gadah adik selintunipun Marjan, wonten naminipun Sarjan, Karjan, Winarjan. Bapake naminipun Poniran...

Maka saya lantas menuju ke rumah Pak Tumiran yang agak menjorok di atas bukit. Rumah yang sederhana tapi memiliki ruang dan halaman yang cukup luas. Udara sejuk di sekeliling bukit jati sungguh pemandangan dan suasana yang berbeda.
Pak Tumiran sendiri menemui kami setelah dijemput kerabatnya di kebun. Setelah itu kami diajak melihat tanah yang sembilan tahun lalu kami beli.

"Ngagem sandal jepit kemawon" Sarannya ketika saya mulai mencari-cari sandal saya.
Tak disangka, perjalanan melihat lokasi tanah memakan waktu perjalanan sekitar 30 menit. Dengan melewati jalan setapak bebatuan, yang menukik tajam, kadang naik dengan mendaki undakan batu yang kanan kirinya penuh tanaman jati. Dan setelah melewati sungai, dalam arti benar-benar melewati karena memang tidak ada jembatannya, hanya meniti pada bebatuan yang berjejar tak beraturan, yang airnya demikian bening, sampailah kami ke bukit jati itu.

Duh, luar biasa... Subhanallah, hutan jati dengan cemercap burung, gemiricik air sungai, dan ilalang yang berwarna kuning, dan di sela-sela pohon jati tumbuh pohon perdu yang berbunga ungu, merah, kuning... sungguh menakjubkan pemandangan yang luar biasa.

Dan yang lebih istimewa, bu Tumiran membawakan makanan khas orang kebun, nasi hangat dengan lauk sayur tahu dan tempe bosok, urap kenikir, dan opor ayam kampung. Sungguh makanan yang nikmat...

Jumat, Maret 06, 2009

MANDIRI atau TIDAK SIH

Saya barangkali orang yang termasuk tidak setuju adanya perkumpulan para wanita, walaupun saya sendiri wanita. Dalam arti tidak menyetujui adanya perkumpulan semacam PKK, Dharma Wanita, termasuk juga adanya menteri yang mengurusi perempuan. Tapi sebaliknya, saya sangat kagum kepada para wanita yang pekerja keras, yang memiliki hati baja, yang super women, yang mau dan rela bersusah payah mengerjakan pekerjaan para laki-laki. Pokoknya terhadap para wanita yang mandiri saya sangat bangga padanya. Terhadap para persiden, menteri, gubernur, bupati, walikota, anggota DPR yang perempuan sungguh saya sangat bangga. Mereka bisa memposisikan dirinya sederajat dengan pria, bisa memimpin para pria, dimana sepanjang abad para pria selalu dianggap memiliki nilai lebih dibanding para perempuan.

Justru dengan semakin berkibarnya para perempuan dikancah jagad para lelaki, dengan menjadi pemimpin ini, maka sudah tidak bisa dibantah lagi, bahwa para perempuan memang bukan lagi sebagai konco wingking para lelaki. Bukan lagi ber-pameo, suarga ikut neraka katut. Para perempuan ini benar-benar telah mandiri. Justru karena kemandiriannya ini, bahkan kepintaranya terkadang mengalahkan para lelaki, maka sudah saatnya para perempuan tidak memerlukan hari perempuan, tidak perlu ada menteri yang mengurusi para perempuan, tidak perlu ada perkumpulan PKK, Dharma Wanita, atau perkumpulan khusus wanita lainnya.

Mengapa? Justru adanya PKK, Dharma Wanita, Hari Perempuan, Menteri yang mengurusi perempuan, sepertinya para perempuan masih tidak PD untuk eksis. Sepertinya perempuan masih ingin dilihat, masih ingin diperhatikan, masih ingin dimanja. Rasanya kalau tetap ada yang namanya PKK, Dharma Wanita dan semacamnya, kesannya mereka bergabung ke PKK, Dharma Wanita karena semata-mata suaminya bekerja di salah satu instansi, maka otomatis dia sebagai istri harus bergabung dengan para perempuan lainnya, mengikuti perkumpulan perempuan, dimana sang suami bekerja. Nah, kan tetap saja para perempuan ini menjadi konco wingking para suami bukan?

Seharusnya, kalau mereka akan terjun pada suatu gerakan atau perkumpulan, tidak perlu mengkhususkan diri karena semata-mata mereka perempuan, atau semata-mata karena suami. Mereka harus mandiri, dan harus bergabung dengan para lelaki lainnya. Mereka harus memimpin para lelaki juga. Coba kalau di PKK atau di Dharma Wanita yang anggotanya para perempuan, ketuanya juga perempuan, anggotanya perempuan. Semua serba peremupuan.
Padahal tidak ada perkumpulan Dharma Pria, tidak ada perkumpulan khusus laki-laki, tidak ada menteri yang mengkhususkan mengurusi laki-laki, maka mereka, para lelaki ini tidak perlu menonjolkan jati dirinya.

Selama para perempuan itu membutuhkan PKK, Dharma Wanita, Hari Perempuan, Menteri yang mengurusi perempuan, maka mereka masih ingin diakui keberadannya dan tidak percaya diri jika mereka sejajar dengan pria.

Kamis, Maret 05, 2009

CONTRENG

CONTRENG. Kalimat, obrolan atau tulisan soal ini telah menjadi sesuatu yang menjadi bahan perbincangan di kalangan masyarakat terutama kalangan mereka yang sedang menyaleg-kan diri pada Pileg pada bulan April 2009 mendatang.
Pada intinya, cara pemilihan tidak lagi mencoblos, tapi mencontreng. Dan mencotreng ini adalah sesuatu yang baru, yang baru pertama kali dilakukan.
Lantas apa sih sesungguhnya contreng itu? Ketika membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Lux penerbit CV. Widya Karya Semarang tahun 2005 karangan Drs. Suharso dan Dra. Retnoningsih, disana tidak ditemukan kata contreng. Yang ada justru conteng, coreng dan coret. Conteng dalam Kamus Besar Bahasa Indoensia itu berarti coret dengan jelaga, arang. Coreng berarti garis panjang tebal, sedangkan coret adalah garis panjang menghapus tulisan, meniadakan bilangan dan lain-lain. Lha, lantas apa contreng itu? Barangkali yang dimaksud contreng itu adalah cawang, karena yang dicontohkan pada gambar-gambar baliho atau poster para Pileg yang berjejer di jalan-jalan adalah memberi tanda yang mirip cawang pada nomornya. Namun pada Kamus Bahasa Indonesia dijelaskan kalau cawang artinya cabang. Nah...
Ada yang mengistilahkan contreng sama dengan centang. Coba kita buka Kamus Besar Bahasa Indoensia. Di sana istilah centang adalah centang perenang, tak beraturan kelaknya, malang-melintang, morat-marit, berantakan, mencentang, memukul, menempeleng.
Lalu kenapa dinamakan mencontreng untuk memberikan tanda : v ? Seandainya kata contreng itu diartikan atau disamakan dengan centang, maka kalau merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia ini, berarti bisa saja diartikan memukul atau menempeleng. Jadi jika para caleg itu mengatakan "Ayo Contreng no sekian..." ,
jika diartikan dengan centang, maka bisa diartikan "Ayo tempeleng no sekian..." .

Kalau dikatakan centeng malah lebih heboh lagi karena biasanya diartikan tukang pukul, atau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pegawai penjaga malam di rumah atau pabrik, mandor di tanah partikelir, atau pegawai pada penjual candu.
Bagaimana jika diartikan dengan conteng? Bisa berarti "Ayo coret nomor sekian..." Padahal kata coretpun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti menghapus tulisan dengan garis panjang, yang bisa jadi meralat sesuatu yang mula-mula dianggap benar.
Contreng atau apalah namanaya yang memberikan tanda v
pada nomor urut caleg telah disosialisasikan, yang tentu saja juga membuat bingung, karena tidak semua orang tahu apa yang dimaksud contreng. Jika dibandingkan dengan sistem pemilihan pada tahun-tahun sebelumnya, tata cara pemilihan adalah mencoblos. Selain murah, dan mudah dipahami, juga masyarakat telah terbiasa memilih dengan mencoblos. Yang sudah uzurpun telah terbiasa dan paham untuk mencoblos. Yang buta hurufpun tahu cara mencoblos. Jika mencontreng atau memberi tanda dibutuhkan bolpoint atau spidol. Bagaimana jika tiba-tiba saja bolpoinnya macet atau habis tintanya? Bagaimana jika salah memeberi tanda, apa boleh diralat seperti kalau kita meralat jawaban ujian yang dicoret dua kali pada pilihan ganda? Bagaimana kalau keliru memberi tanda bukan dicontreng? tapi di beri tanda titik, atau tanda silang? Bagaimana kalau yang sudah uzur atau yang tidak pernah pegang bolpoint? Butuh berapa lama mereka belajar untuk bisa membuat coretan yang kira-kira hanya membutuhkan beberapa detik saja di bilik suara? Jangan-jangan ada yang iseng malah menambah gambar kumis, gambar topi, gambar kacamata, cambang dan sebagainya pada foto-foto yang akan dicontreng.

Rabu, Maret 04, 2009

SeanDainya Punya Mobil...

Kemarin sebetulnya adalah hari pertama ngajar untuk semester genap di STIKOSA, mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi untuk semester 6. Tapi ternyata kondisiku betul-betul drop. Sebetulnya ini bukan alasan untuk mangkir dan absen dari ngajar, kasihan mahasiswa yang sudah nunggu. Tapi hujan tidak kompromi, sejak sore sudah merintik. Sedangkan tubuh meriyang, rasanya saya harus minum aspirin.
Kepala Bidang saya yang tahu kondisi saya, bilang "Makanya beli mobil ..., jangan naik angkot, kalau hujan begini kan butuh.." Saya cuma tertawa. Lha duit siapa yang buat beli?

Sore itu, ketika hujan masih merintik, saya berdiri di pinggir jalan sambil menggeber payung. Beberapa teman mengebel kendaraannya ketika tahu saya berdiri di pinggir jalan. Dan beberapa teman yang naik roda empat juga melakukan hal sama. Saya cuma tersenyum ketika mereka ngebel ngebel saja, tidak satupun yang menawari saya untuk naik. Barangkali mereka juga tahu, percuma nawari saya, karena saya pasti menolak. Tentu saja saya akan menolak, karena saya juga tahu mereka cuma basa-basi saja. Lha siapa yang mau dinunuti sampai ke ITS?

Karena badan sudah menggigil, akhirnya saya naik taksi. Di pinggir jalan, saya melihat beberapa orang berdiri menggigil menunggu angkot, persis dengan saya tadi ketika belum dapat taksi. Ingin rasanya saya mengajak mereka, tapi saya tidak kenal.

Akhirnya, saya melihat seorang teman, dan saya tawari untuk ikut saja daripada menggigil. Dia bilang rumahnya di Ngagel. Saya bilang tidak apa, toh saya juga bisa lewat sana untuk menuju ke ITS. Akhirnya sore itu saya punya teman untuk pulang. Walaupun muter dulu ke Ngagel tidak masalah...

Selasa, Maret 03, 2009

UCAPAN TERIMAKASIH ITU.......


Seminggu yang lalu saya terima SMS dari Pak Sasongko warga Darmo Permai. Dia mengucapkan terimakasih atas bantuan yang saya berikan. Saya berpikir cukup lama untuk mengingat siapa pak Sasongko ini dan bantuan apa yang saya berikan padanya? setelah saya SMS balik, dia bercerita kalo pernah dibantu soal keluhan yang diajukan ke pos pelayanan informasi di kantor saya di lantai 5 ini. Aduh, saya jadi malu... saya rasanya tidak sepatutnya menerima terimakasih dari mereka, karena pertama pekerjaan melayani masyarakat termasuk Pak Sasongko ini adalah memang tupkosi yang harus saya kerjakan, kedua saya toh juga memakai fasilitas kantor ketika menerima telepon dan balik menelpon. Saya tidak tahu, apakah saya tetap akan membantu mereka ketika saya tidak memiliki tupoksi itu, atau tidak ada telepon di kantor.... saya kuatir, apa yang saya lakukan ini karena memang tuntutan pekerjaan, bukan karena saya benar-benar membantu.
Saya jadi teringat. Beberapa waktu lalu saya kedatangan salah seorang warga bernama Priyo Utomo alamatnya di Jl. Kapasari IX DKS 16 RT 012/RW 05, dia datang dengan wajah penuh keringat, tidak heran karena untuk sampai ke lantai 5 membutuhkan stamina dan nafas yang panjang untuk naik tanpa bantuan lift. Menurutnya dia dikasih tahu oleh salah satu penjaga parkir di bawah, jika masalahnya bisa dibantu oleh saya... Nah, ini yang membuaat rasa malu saya demikian besar... apa saya ini dianggap orang sakti sama pak parkir itu? Kemudian dia bercerita kalau dia di PHK dari pekerjaannya mendadah karet di Kalimantan. Sudah hampir 2 tahun jadi pengangguran. Dan dia melihat iklan di televisi, kalau pemerintah akan memberi bantuan modal untuk rakyat miskin atau Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa anggunan apapun. Dia juga menceritakan, jika dirinya sudah mencari informasi kemana-mana, termasuk ke RCTI yang ada di Jl. Dharmahusada Indah, telepon ke Departemen Koperasi Pusat Jakarta karena iklan itu dari Departemen Koperasi Jakarta, ke BRI, dan bank-bank lainnya yang menurut iklan tersebut bisa membantu modal. tetapi semua itu tidak bisa membantunya, karena menurutnya salah satu syarat yang diajukan oleh bank-bank itu, modal akan diberikan kalau dia sudah punya usaha. "Lha saya ini bu, tidak punya usaha apa-apa... uang dari mana untuk buka usaha?". "Menurut iklan di televisi itu, modal akan diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan, tanpa melihat apa dia punya usaha apa tidak...? terus bagaimana bu... saya harus kemana dan bertanya ke siapa..? Keluhnya.

Saya mendengarkan ceritanya dia dengan takjub. Takjub, karena Tuhan masih memberikan kekuatan kepada dia untuk tidak putus asa. Takjub karena dampak iklan itu sungguh luar biasa memberikan harapan kepada orang lain, dan mampu menggerakkan orang lain mencari informasi dari tayangan yang hanya berdurasi 40 detik itu.

Mula-mula saya tidak tahu, saya harus bagaimana untuk membantunya? Jelas ini adalah dampak dari iklan televisi yang membuat orang lain memiliki harapan untuk bisa hidup lebih baik. Saya lantas mencoba membantunya dengan membukakan situs atau portal Departemen Koperasi Jakarta. Aneh, saya tidak menemukan informasi apapun yang terkait dengan iklan tersebut atau KUR tadi. Kemudian saya cari di google. Memang muncul informasi tentang bantuan seperti yang dimaksud bapak itu, tapi sayangnya salah satu syaratnya harus punya usaha dulu, baru pihak bank dapat membantu. Saya lantas mencoba hubungi Departemen Koperasi Pusat, sayang beberapa nomor telepon yang saya hubungi tidak ada yang mengangkat.

Saat itu rasanya saya se-putus asa bapak itu. Bayangkan, di depan saya seorang Bapak membutuhkan informasi, yang dia pikir informasi itu dapat merubah hidupnya. Sedangkan saya tidak bisa membantunya sama sekali, infrormasi yang juga saya butuhkan macet total. padahal saya bekerja di bagian komunikasi dan informasi. Betapa bebalnya saya...
Akhirnya saya beri dia beberapa nomor telepon yang barangkali bisa dia hubungi. Saya tahu tindakan saya ini jelas tidak berprikemanusiaan, sebab saya tahu birokrasi untuk menelpon sangat susah, apalagi untuk telepon ke Jakarta membutuhkan ongkos yang tidak sedikit bagi bapak itu. Tapi saya pikir ini adalah jalan yang sementara bisa saya lakukan , karena bapak itu sendiri tidak punya nomor telepon yang bisa dihubungi, jadi jika saya mendapatkan informasi saya tidak bisa segera menghubunginya. Saya sedih dengan tindakan saya ini dan saya mohon maaf padanya tapi bagaimanalagi? Sungguh saat itu saya merasa menjadi manusia yang tidak berguna.... saya hanya bisa meninggalkan nomor telepon saya barangkali dia akan menghubungi saya lagi dan sedikit uang untuknya.

Beberapa minggu kemudian, saya menerima surat darinya, dan saya cuplikan apa adanya :

Dengan hormat,
melalui surat ini saya :
nama : Priyo Utomo
Alamat : Jl. Kapasari IX DKS 16 RT 012/RW 05 Kelurahan Kapasari-Kec Genteng Kota
Surabaya
menyampaikan terimakasih atas santuan dan informasinya tentang Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan saya telah mendatangi Bank terkait, inti jawabannya sama, saya tidak/belum dapat memperoleh KUR tersebut sebab belum mempunyai kerja dan usaha.

Selanjutnya mendapat informasi dari kelurahan (Suratnya diterima Kelurahan minggu kemarin) bahwa DPRD Tingkat Satu Jawa Timur meluncurkan program baru yakni P2SEM (Program Penanggulangan Sosial Ekonomi masyarakat). Namun keterangan dari kelurahan tidak sama dengan keterangan dari pengurus P2SEM, sebab dari kelurahan beranggapan jika P2SEM diperuntukkan bagi masyarakat yang belum mempunyai kerja dan usaha, tapi tidak begitu keterangan dari pengurus P2SEM.

Demikian melalui surat ini saya sekali lagi menyampaikan terimakasih atas santunan dan informasinya. Semoga Allah SWT dengan Berkah dan Rahmatnya, memberikahi dan merahmati hidup dan kehidupan ibu beserta staf Bapetikom dan saya dan keluarga.

Begitulah, saya terkejut mendapatkan surat darinya, padahal saya merasa tidak membantunya sama sekali, kalau toh saya memberikan sedikit bantuan padanya, itu karena memang tugas saya.... rasanya saya tidak pantas mendapatkan ucapan terimakasih darinya, toh dia tetap belum bisa mendapatkan KUR impiannya itu... lantas apa gunanya saya ini mendapatkan ucapan terimakasih? ....

Beberapa tahun yang silam ketika saya masih di humas, saya juga menerima pengaduan masyarakat, dan beberapa dari mereka menjadi teman saya, yang sekali waktu kita saling ber SMS menanyakan kabar masing-masing. Saya teringat ada salah satu warga keturunan (laki-laki) yang menemui saya, dia menceritakan soal pohon tumbang yang ada di depan rumahnya. Setelah ngobrol sejenak dan kemudian mengklarifikasi ke SKPD terkait, masalah itu bisa diselesaikan dengan pengertian dari Bapak itu. Besoknya Bapak itu datang lagi menemui saya, rupanya dia terkesan dengan apa yang sama sampaikan. Jadilah kita menjadi teman ngobrol. Saya bilang pada Bapak itu, saya cuma butuh telinga dan hati saja, untuk mendengar cerita dari Bapak....

Saya bukanlah orang yang berjasa membangun kota ini, bukan orang yang menjadikan kota ini indah dengan tamannya, bukan orang yang menjadikan kota ini menjadi kota terbersih, bukan pula orang yang menjadikan kota ini menjadi bersinar dan sparkling. Saya hanya orang yang mendengarkan orang lain mengeluh, kadang mereka juga mengumpat dengan kasar jika permasalahan itu tidak bisa segera diselesaikan... tapi untungnya kita masih bisa mendengarkaan dengan hati, ini yang penting dan harus terus di jaga... kita mencoba berempati pada perasaan orang lain, ini yang juga harus terus diasah, agar kita tetap peka.

Bergaul dengan orang semacam Pak Priyo, adalah anugerah tersendiri bagi saya, menyenangkan mereka walaupun itu hanya sesaat itu juga kebahagiaan bagi saya.....