Saat itu sekitar tahun 2000, Pak Tumiran salah seorang tukang kayu yang membantu membangun rumah kami di ITS bertamu. Dia menawarkan tanah di desanya di Caruban, yang menurutnya cukup luas untuk ditanami pohon jati. Karena Pak Tumiran sangat membutuhkan uang itu, dan dia tidak mau hanya meminjam saja, maka kami menerima tawarannya dan menitipkan tanah itu ke Pak Tumiran, terserah mau dipakai dan ditanami apa. Sesungguhnya kami sendiri tidak tahu lokasinya, kami cuma percaya saja dengan Pak Tumiran ini. Pak Tumiran cuma bilang letaknya di Desa Moring kecamatan Kare. Selang beberapa bulan kemudian kami menerima sertifikat tanah itu.
Sembilan tahun kemudian, dan sebetulnya saya sudah lupa dengan tanah itu, tapi karena saya pingin refreshing ke desa padahal saya tidak punya kerabat yang tinggal di desa, maka saya ajak suami menengok tanah itu. Jadilah kemarin, hari senin kami mengajak Pak Didik taksi untuk mengantarkan kami ke sana. Tak dinyana perjalanan menuju Desa moring termasuk perjalanan yang melelahkan sekaligus mengasyikkan. Dengan memutari bukit hutan jati, dan beberapa kali kesasar dan bertanya-tanya akhirnya kami sampai ke Desa Moring. Di mulut Desa Moring, kami bertanya lagi dimana rumah Pak Tumiran pada seorang laki-laki yang membuka servis perbaikan kursi.
"O Pak tumiran? Meniko ingkang wonten benderanipun" Dia menunjuk ke arah rumah yang di depannya ada bendera partai. "Nanging Pak Tumiran sampun pejah (meninggal).." jelasnya. Waduh! sesaat saya bingung. "Pak Tumiran ingkang gadhah adik naminipun Marjan?" Tanya saya.
"O o sanes, Tumiran ingkang gadah adik naminipun Marjan meniko griyanipun tasih mriko, ingkang wonten tugunipun meniko" Dia menunjuk ke arah tugu, yang sebetulnya saya tidak melihat adanya tugu itu.
"Nggih Pak, maturnuwun sanget" Saya bergegas masuk ke taksi dan mencari tugu yang dimaksud bapak tadi.
Tepat ditikungan jalan di depan warung, ada tugu yang sudah berlumut. Saya turun lagi dan bertanya ke orang-orang yang lagi ngopi di warung itu.
" Pak Tumiran? Nggih leres kagungan adik naminipun Marjan, meinko sampun celak melampah kemawon" Kata Pak Tua yang saya tanya, sambil menunjuk arah rumah di atas bukit.
"Pak Tumiran meniko gadah adik selintunipun Marjan, wonten naminipun Sarjan, Karjan, Winarjan. Bapake naminipun Poniran...
Maka saya lantas menuju ke rumah Pak Tumiran yang agak menjorok di atas bukit. Rumah yang sederhana tapi memiliki ruang dan halaman yang cukup luas. Udara sejuk di sekeliling bukit jati sungguh pemandangan dan suasana yang berbeda.
Pak Tumiran sendiri menemui kami setelah dijemput kerabatnya di kebun. Setelah itu kami diajak melihat tanah yang sembilan tahun lalu kami beli.
"Ngagem sandal jepit kemawon" Sarannya ketika saya mulai mencari-cari sandal saya.
Tak disangka, perjalanan melihat lokasi tanah memakan waktu perjalanan sekitar 30 menit. Dengan melewati jalan setapak bebatuan, yang menukik tajam, kadang naik dengan mendaki undakan batu yang kanan kirinya penuh tanaman jati. Dan setelah melewati sungai, dalam arti benar-benar melewati karena memang tidak ada jembatannya, hanya meniti pada bebatuan yang berjejar tak beraturan, yang airnya demikian bening, sampailah kami ke bukit jati itu.
Duh, luar biasa... Subhanallah, hutan jati dengan cemercap burung, gemiricik air sungai, dan ilalang yang berwarna kuning, dan di sela-sela pohon jati tumbuh pohon perdu yang berbunga ungu, merah, kuning... sungguh menakjubkan pemandangan yang luar biasa.
Dan yang lebih istimewa, bu Tumiran membawakan makanan khas orang kebun, nasi hangat dengan lauk sayur tahu dan tempe bosok, urap kenikir, dan opor ayam kampung. Sungguh makanan yang nikmat...