Rabu, Desember 30, 2009

si Anak Mbarep


Inilah rasanya menjadi seorang ibu, ketika menanti anaknya mudik. Semua sudut rumah dibersihkan, masak kesukaannya, menyiapkan kamar, membersihkan kamar mandi. Semua itu berharap agar dia selalu kangen rumah, setelah sekian lama berkutat di kamar kos yang sumpek, pengap dan pastinya kotor (karena dia paling malas bersih-bersih)...

semalam aku telepon menanyakan jadi naik kereta apa, dia bilang mau ganti kereta anggrek, karena kereta sembrani telat lima jam!

Wah, jadinya pagi harinya sibuk ke stasiun pasar turi jemput dia jam 09.00. Duh anakku wajahnya kemeleng. rambutnyha gondrong, tapi dia lumayan menjulang. Diusianya yang baru menginjak 17 tahun 2 bulan, dia tampak matang. Aku bilang dia boros wajah. Lha piye, sekolah cuma dua tahun dua tahun, lalu usia 15 tahun sudah kuliah di UI. tentu saja wajahnya mateng dewasa banget.

ketika aku tanya siapa pacarmu? jawabannya memnbuatku tergelak... AKu manut mama saja, mama ae yang milihkan... aku percaya mama kalo urusan perempuan... ha ha ha...

Senin, Desember 21, 2009

RIBUT TIKET

Sabtu kemarin, anakku Ian pingin nonton bola di Tambaksari. Memang dia pingin banget nonton Jagoannya Persebaya di Tambaksari. Padahal hari Sabtu adalah jadwalnya di les di Newtron.
"Hari ini jadwal lesnya Fisika Ma, mama ngijinkan enggak aku gak les? "rajuknya sambil ketap ketip.
"Ya lah nggak apa wes..." kataku. Tiba-tiba Bapaknya bertanya
"Kamu nggak pingin nonton Avatar?" Bapaknya ini memang gila nonton, yang tentu saja nurun ke anak-anaknya. Dalam minggu ini sudah 2 film yang ditonton yaitu 2012 dan Laskar Pelangi. Bahkan ketika antri tiket untuk 2012 antrinya naudzubillah puanjaaanggg .... uyel-uyelan. Ketika nonton Laskar Pelangi dia beli langsung 6 tiket. Masyaallah.... terpaksa ngajak tetangga dan keponakan.
"Lha wis nonton bola masak nonton Avatar" protesku yang merasa eman duit kok dibuang-buang.

"Lho Avatar iki film yang diulas banyak media, 3 dimensi lagi, mama iki gak gaul blas..... 

yo wes lah terserah kamu sama Bapak. Kebetulan sore itu hujan dueres poll, jadinya mereka berdua sampai di rumah teles kebles. Dan yang buat aku jengkel, tiketnya AVATAR ceket kayak di-lem. yang satu tiket bisa aku selamatkan yang dua tiket ketumpuk jadi satu, gak bisa dilihat nomor kursinya berapa. Ini gimana to, ya nggak bisa laku tiket yang model begini. kataku jengkel. BISA NANTI BISA MASUK kata suamiku. E, lhadalah kok tiket itu disetelika to sama bojoku. Maksudnya biae cepet kering. Sempat tarik=tarikan denganku. Aku nggak mau tiket itu disetelika, tapi suamiku ngotot narik tiket untuk disetelika. Hasilnya? Tiket itu jadi hitam legam. karena tintanya luntur kena panas setelika.... aku tambah jengkel. Tapi suamiku tetep ngajak ke GALAXY nglanjutkan acara nonton. Sampai disana, aku masih nggondok polll, dia antri untuk nukarkan tiket.... tak lama dia sudah sampai di depan hidungku sambil nyodorkan tiket yang gress, dengam tanda tangan manajernya... dalam hati kau katakan SAKTI JUGA . tapi karena gengsi dan masih gondok aku cuek saja dia berhasil dapatkan tiket.

KArena film AVATAR bagus, dan dia belikan aku popcorn, pulangnya aku simpan tiket itu dengan senyum-senyum. DASAR kata suamiku. he he he 

Selasa, Desember 15, 2009

CINTA MUTLAK

Senin, Desember 07, 2009

rumah di bawah bukit

Kemarin, bersama Timut aku ngunjungi rumah di bawah bukit. AKu senang banget, dan sujud syukur nggak nyangka bisa juga punya rumah sendiri. Walaupun awalnya Timut marah karena nggak setuju (aku belinya nggak ngomong ke Timut....), tapi akhirnya karena rasa cintanya padaku demikian luar biasa akhirnya toh Timut luluh juga ketika aku bilang 'AKU INGIN MENIKMATI HARI-HARI BERSAMA TIMUT, HANYA BERSAMA TIMUT DI RUMAH ITU....
Kini rumah itu menjadi rumah impian, terasa memanggil manggilku untuk aku singgahi.

Sore kamarin pertama kali aku membersihkan rumah itu, sudah aku belikan cat warna ungu jingga. Rumah ini menjadikan rumah impian yang terwujud. Karena betul-betul di bawah bukit dan gunung Arjuno. Sebenarnya di balik bukit itu, terhampar tanah kebun yang baru saja dibeli Timut dengan luas hampir 600 meter. Aku ingin menambahkan 150 meter lagi karena tinggal satu petak yang tersisa. Ku pikir nanggung, mending dibeli saja untuk tambahan inves bagi ridho dan ian, anakanakku yang luar biasa. Saat ini tanah itu baru saja aku tanami nangka satu pohon, duren 2, duku 2, kelengkeng 3, rambutan 2.

Lokasi tanah kebun ini betul-betul asli tanah desa, dengan berpetak-petak sawah yang ditanami padi juga banyak pohon bambu, nangka, jagung dan umbi-umbian. Petak-petak kebunku pun ditanamai penduduk kacang tanah. Kami mengijinkan mereka menanaminya karena selain agar semakin gembur juga agar ada yang merawat kebun itu.

Senin, November 30, 2009

Rumah Impian

Akhirnya bisa juga beli rumah di bawah bukit. Walaupun mungil dengan type 36 dan luas tanah 168, aku merasa sangat lega bisa mendapatkan rumah ini. Dengan lokasi di bawah bukit dan udara yang cukup sejuk, aku memilih lokasi di pojok. Ketika sore menjelang, kabut akan menyelimuti lereng bukit tersebut. Memang belum aku tempati rumah itu, disamping belum ada listrik dan airnya, tapi sekali waktu aku mengunjunginya hanya untuk mencicil menanam pohon kesukaanku dihalaman yang tidak begitu luas itu. Aku ingin mengecatnya dengan warna hijau lumut, gordennya juga senada, dan pagarnya pun aku ingin berupa tanaman dari pohon bambu.

Mula-mula rumah ini aku beli tanpa seizin Mas Dwi suamiku, karena aku tahu dia pasti tidak akan menyetujuinya. Ini adalah rumah yang ke empat kalinya aku pesan. Yang pertama dan ke tiga semuanya ditolak Mas Dwi. Karena itu yang ke empat ini aku beli tanpa memberitahukannya. AKu cicil sedikit demi sedikit dari gaji dan honor dari beberapa kegiatan. Tentu saja reaksi Mas Dwi ketika tahu adalah marah... aku bahkan sempat menangis. Aku katakan ini adalah impianku dan bentuk dari aktualisasi dari hidupku.

Tapi seperti biasanya, hati suamiku tak akan lama marah, walaupun dia cemberut tapi akhirnya toh dia menerima alasanku. Tapi yang begitu surprise, adalah ternyata suamikupun juga membeli tanah di sekitar lokasi yang tak jauh dari rumah yang aku beli itu. Tak tanggung-tanggung luasnya sekitar 600 meter. Dia ingin mewujudkan impianku yang memiliki rumah dibawah bukit. Nah, tanah yang dibelinya betul-betul pas dilereng bukit yang penuh pohon bambu. Rumahku dan tanah yang dibelinya hanya berbatasan bukit. AKu berjanji padanya, akan menggenapi tanah itu menjadi 750 meter, karena ada sisa tanah yang belum dijual.

Kemarin kami mengunjungi rumah dan tanah tersebut. Rumah itu aku tanamai mangga manalagi dan beberapa tanaman perdu. Sedangkan di pekarangan tanah di sebelah bukit tersebut kami tanami duren dan nangka. Sebetulnya ingin juga kami tanami kelengkeng, tapi mobil Katana kami tidak muat untuk mengangkut tanaman. Jadi akan kami cicil untuk menanami berbagai pohon kesukaan Timut. Aku bilang sama TImut, aku ingin sekali jalan di jalan setapak di lereng bukit itu, hanya dengan Timut, melihat sawah yang menghijau dan istirahat di rumah mungil sambil menyantap duren atau nangka atau apa saja yang bisa dimakan.... ah mudah-mudahan Tuhan masih memberikan waktu untuk itu semua...

Terimakasih timut....

reuni LAGI

Tanggal 4 oKTOBER LALU adalah reuni teman-teman SMPN 5 yang ke enam kalinya. Dan kali ini di rumahku, di ITS. Kaerena masih dalam suasana lebaran, maka jauh-jauh hari aku sudahh mempersiapkan apa saja yang akan aku suapkan untuik menyambut kedatangan teman-teman ini. Bersama Ridho anakku, aku ke Giant membeli beberapa barang pecah belah yang aku berikan sebagai souvenir. Ada gelas, piring, mankok dsb.

Lumayan banyak yang hadir kala itu, wajah-wajah yang dulu imut dan kudisan, sekarang bermetamorfosis jadi cambangan, ubanan, garis keriput mulai nampak diwajah, dan tentu saja banyak yang sudah beranak pinak.

Perjalanan waktu bisa jadi menggerus uisa, tubuh bahkan raga, tapi jangan sampai menggerus rasa persahabatan ini teman

Jumat, Agustus 21, 2009

Menyesal

Ada kepedihan di sini menyeruak menusuk sampai ke tulang sum sum. Kepedihan dan rasa sesal selalu datang terlambat, menyesakkan dada menggumpal perih yang tak mungkin terhapus. Padahal luka itu mula-mula hanya tipis saja, tapi semakin dalam dan akhirnya menusuk menghunjam.

Rasa sesal itu selalu datang terlambat karena dibutakan dengan keangkuhan untuk mengakui bahwa ini adalah salah. Padahal jelas-jelas tergambar apa yang dilakukan hanya sebuah penuntasan rasa penasaran dan balas dendam pada masa lalu yang seharusnya tidak perlu dilewati. Namun mengapa justru masa lalu itu dilewati saja? Padahal masa lalu itu adalah jalan yang tidak pernah diniati untuk ditempuh, tak terbersit sedikitpun saat itu untuk dilalui, tapi kini mengapa justru bermain-main dengan sesuatu yang seharusnya sudah terkubur..?

Kesadaran ini sebetulnya sangat terlambat datangnya. Itupun jika tidak disebabkan karena sebuah feeling, maka kesadaran ini tak akan pernah muncul. Seperti disayat itulah, rasa sadar ini baru muncul. Dan kemarahanpun meledak, karena merasa terlecehkan, tertipu, terusik harga diri. Ah masihkah ada sebuah harga diri dengan apa yang sudah terjadi? Tentu saja, semua argumen juga dibantah, bahwa ini hanya pikiranku saja yang dirangkai-rangkai... akhirnya kemarahan pun bergaung diseluruh ulu hati, dada, dan seluruh nadiku. Entah sampai kapan rasa marah ini akan mereda? Yang pasti rasa menyesalku mengaliri seluruh hidupku....

Kamis, Agustus 20, 2009

SAHUR BERSAMA

Seperti halnya kebiasaan di bulan Ramadhan, kita selalu menyediakan takjil yang dikirimkan ke masjid-masjid, agar mereka yang berpuasa segera dapat berbuka puasa. Mula-mula sayapun juga menyediakan takjil untuk teman-teman jamaah yang berada di Masjid Masyitoh, di kawasan Mulyosari. Kadang saya kirim, terkadang pula mereka ambil sekitar pukul lima sore atau menjelang maghrib.
Namun sejak adik saya yang juga jamaah di sana mengatakan, kalau takjil banyak yang nyediakan tapi kalau sahur tidak ada. Para jamaah ini butuh sahur dan mereka tidak sempat beli, bahkan terkadang tidak ada dana untuk sahur. Mereka sibuk tadarus, apalagi saat minggu terakhir bulan Ramadhan, bisa dipastikan akan banyak jamaah yang bertadarus dan itikaf. Adik saya bertanya apakah saya bisa menyediakan sahur untuk teman-temannya? Sayapun menyanggupi, mengingat sayapun ketika kost juga mengalami ha yang sama, tapi saya mohon agar diambil karena saya tidak ada kendaraan untuk mengantarkan ke sana.

Maka sejak saat itu sampai sekarang sudah hampir sembilan tahun saya selalu menyempatan diri untuk menyediakan sahur mereka. Makanan sahur yang saya masak sejak pukul 19.00 atau terkadang sepulang dari sholat Taraweh saya siapkan di teras rumah, dan akan diambil sekitar pukul 23.00 - 24.00 WIB. Nasi dan lauk-nya saya pisah. Tapi saya tidak pernah menyediakan menu ayam, karena teman-teman masjid tidak makan ayam potong yang dijual di pasar, kecuali ayam yang disembelih sendiri. Menu yang saya buatpun sederhana.

Setiap tahun, yang mengambil sahur ini orangnya selalu bergantian. Jadi saya selalu menemui wajah baru. Yang dulunya bertugas mengambil sahur, pada tahun berikutnya sudah bekerja atau lulus kuliah, atau sudah menikah. Jadi selalu saja ada penggantinya. Dan saya sendiri belum satu kalipun mengikuti pengajian di Masjid Masyitoh ini, juga belum pernah sholat taraweh di sana. Sekali saya ke sana untuk sholat maghrib dan isya berjamaah serta tasykauran, ketika akan menyunatkan anak saya. Pada saat itulah Pak Suwandi sang ustadz
memperkenalkan saya, inilah wajah yang mengirimkan sahur setiap ramadhan.

Sahur yang saya kirimkan ke masjid MAsjitoh ini sesungguhnya adalah manifestasi dari balas dendam ketika saya kesulitan untuk sahur ketika kuliah dulu. Waktu saya kost, setiap sahur dan buka saya sering nimbrung di tempat kost sahabat, karena memang keuangan saya sangat ngepas untuk buat makan. Mengetahui hal ini, ibu kost saya yang bernama Bu Syarifudin mengajak saya sahur bersama. JAdilah malam-malam ramadhan saya dan hanya ibu kost makan saur bersama yang disediakan pembantunya. Ibu Kost saya ini berusia sekitar 72 tahun, tidak memiliki anak dan hidup hanya dengan pembantunya saja. Saya adalah penghuni nomor tiga, yang sudah dianggap anak olehnya.

Sejak saat itu, saya ingin, kelak bisa menyediakan sahur buat orang-orang yang tidak bisa sahur. Selain dengan masjid Masyitoh, pelampiasan dendam saya juga saya lampiaskan ke anak-anak kost di rumah. Mula-mula saya hanya menyediakan untuk 2 orang yang kost di rumah. Setiap pukul setengah tiga pagi, saya ketuk pintu kamar mereka untuk sahur. Kemudian tahun berikutnya meningkat menjadi 4 orang, dan sekarang menjadi sekitar 8 orang. Jika mereka mengajak temannya belajar bersama, saya juga meminta agar temannya itu pun ikut sahur juga.

Kini terbersit keinginan, saya ingin menyediakan sahur juga bagi mereka yang tidak bisa sahur. Saya ingin siapa saja yang butuh sahur, tapi tidak punya uang untuk beli makanan, silahkan datang ke rumah. Saya ingin menyediakan di teras rumah, dekat lapangan basket yang dibuat mas Dwi, suami saya. Kalau banyak anak-anak main basket setiap sore di rumah saya, seharusnya lapangan basket itupun juga bisa berfungsi untuk sahur gratis.

Tapi mas Dwi sepertinya tidak setuju dengan gagasan saya. Dia bilang saya akan merugikan usaha pedagang makanan, warung-warung yang berjualan karena mereka yang seharusnya membeli, beralih ke tempat saya. Saya bilang, saya meneydiakan untuk mereka yang memang tidak bisa membeli makanan sahur. Mas Dwi mengatakan, bisa saja yang datang ke tempat saya adalah orang yang seharusnya bisa membeli di penjual-penjual makanan. Dan saya termasuk orang yang merugikan pedagang.

Sungguh saya tidak ada niatan untuk merugikan orang lain, dan saya juga tidak ingin pamer. Saya hanya ingin agar para tukang becak, satpam, anak-anak kost yang orang tuanya tidak mampu bisa ikut menikmati masakan saya. Jika seandainya yag datang adalah mereka yang mampu membeli, itu di luar prediksi saya. Dan saya yakin, Tuhan tidak akan mematikan para pedagang itu. Saya selalu yakin ada faktor X, faktor keajaiban diluar prediksi dan hitung-hitungan statistik maupun rumus manusia. Mas Dwi adalah pakar statistik, dan dia selalu menghitung probabilitas, menghitung prediksi dan kemungkinan-kemungkinan. Sedangkan saya adalah orang yang mempercayai bahwa ada kekuatan yang menakjubkan diluar perkiran dan prediksi. Air mata saya hampir menetes, ketika saya memutuskan tidak menyediakan sahur di lapangan basket. Apalah artinya jika mas Dwi tidak mendukungku?

Jika anda membaca ini tolong kirimkan pendapat anda pada email saya so_puri@yahoo.com, karena pada blog ini tidak saya sediakan kolom komentar. Terimakasih.

Selasa, Agustus 18, 2009

Tuhan Ampuni Aku

Minggu-minggu ini air mata tertahan di pelupuk mata. Aku ingin menangis, bahkan menjerit agar beban penyesalan sedikit berkurang. Tapi aku tidak yakin, jika seandainya aku bisa mencucurkan air mata atau menjerit sampai tenggorokaanku kering, rasa sesal itu akan hilang. Tidak aku katakan tidak... bahkan sampai kapanpun akan melekat erat di ingatan dan hati. Aku telah melakukan hal yang sangat bodoh, naif dan sangat tidak elegan. Yang ingin aku lakukan hanyalah mengunci kamar, tidur, dan krukupan selimut. Rasanya tidak ingin ketemu siapapun, bahkan untuk telepon pun aku malas mengangkatnya.

Tapi sungguh Tuhan Maha Agung, Dia yang menciptakan hati manusia dari segumpal darah, masih menyisakan rasa sesal yang mengaliri seluruh urat nadiku. Paling tidak urat sesal dan nadi malu masih belum terputus, dan mengalir deras dalam darahku. Seandainya Tuhan memutus salah satunya, aku pasti tidak memiliki rasa malu maupun rasa sesal. Itulah salah satu alasanku akhir-akhir ini berusaha rajin sholat tahajjud, bersimpuh memohon ampunan dan kekuatan hati, agar hati yang kelam dan menjijikan ini dapat dicuci-Nya... yak aku katakan jijik, karena hati dan pikiranku senantiasa menjijikan, sehingga terkadang kepala ini menggerakkan hati atau hati yang menggerakkan kepala untuk berbuat hal yang menjijikan. Dan agar Tuhan masih berkenan melekatkan dengan erat urat malu-ku dan sesa-lku, sampai Dia akhirnya berkenan untuk memutuskan kontrak roh dari jasadku.

Tuhan ampuni aku... apakah sisa usiaku ini masih cukup untuk bersujud memohon ampunan-Mu? ... permohonanku pada-Mu ya Rabbi, berikanlah berkah, kesehatan dan usia panjang yang bermanfaat untuk suamiku Mas Dwi, terlalu banyak luka dan kecewa yang aku buat untuknya, rasa cintanya yang demikian besar telah menutupi rasa kecewanya padaku, dan itupun tidak aku imbangi dengan kasih sayangku padanya. Maka izinkanlah aku bersimpuh kepada-Mu, muliakanlah suamiku ini, selama ini dia telah bersikap seperti malaikat, hidupnya hanya untuk menyenangkan orang lain... Izinkanlah aku bersujud pada-Mu, memohon dengan sepenuh jiwa-ku, berikan usia yang panjang dan bermanfaat yang membuatnya bahagia, melebihi usiaku... bahkan jika seandainya dia akan menikah lagi, berikan padaku rasa iklash untuk merestuinya...

Rabu, Agustus 12, 2009

Dus Gusti...

aku tak bisa mengatakan apa-apa.... mengapa hati ini begitu lemah? masihkah ada dendam yang harus aku tuntaskan? ..... Jika itu dendam, mengapa harus mengorbankan yang seharusnya tidak terjadi?... Duh Gusti, mata-MU yang sangat tajam tertutup oleh hati kelamku... akankah tahajjudku disepanjang sajadah malam akan membuatku menemukan keteduhan-MU? akankah sholat tasbihku di pagi dan malam sunyi bakal menumbuhkan rasa sesalku? dan apakah bacaan surah Al-Fathekah seribu kali dari bibirku di malam hening akan membeningkan hati dan pikiranku? Duh Gusti, ampuni aku... berikan kekuatan untukku agar aku tak melakukannya, sampai Engkau mengizinkan dengan Rakhmat dan Hidayah-Mu ...Pintaku kepada-Mu, biarkan malam hening mendekapku dalam tahajjud dengan kebeningan hati ini, agar aku bisa merasakan genggaman Tangan-MU...

Selasa, Agustus 11, 2009

Puasa Menuju Makan Sejati

Puasa : Menuju Makan Sejati
(Emha Ainun Nadjib)

Puasa itu jalan sunyi
Tersedia makanan tapi tak dimakan
Tersedia kursi tapi tak diduduki
Tersedia tanah tapi tak dipagari
Puasa itu jalan sunyi
Menggambar tapi tak terlihat
Bernyanyi tapi tak terdengar
Menangis tapi tak diperhatikan
Puasa itu jalan sunyi
Menjadi tanpa eksistensi
Pergi menuju kembali
Hadir tapi tak dikenali


ILMU Rasulullah Muhammad, "hanya makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang", telah menjadi pengetahuan hampir setiap pemeluk Agama Islam, tetapi mungkin belum menjadi ilmu. Puasa demi puasa, Ramadlan demi Ramadlan beserta fatwa demi fatwa yang senantiasa menyertainya dengan segala kerendahan hati harus saya katakan belum cukup mengantarkan kita dari permukaan pengetahuan menuju kedalaman ilmu.
Ada jarak yang tak terkirakan antara pengetahuan dengan ilmu, meskipun khasanah kebahasaan kita dengan kalem menyebut ilmu pengetahuan di lembaran-lembaran kamusnya. Dengan berkunjung ke sebuah museum, kita bisa memperoleh pengetahuan tentang sebilah pedang, lengkap dengan semua data tentang panjang-lebarnya, asal-usul sejarahnya, serta logam suku cadangnya, termasuk berapa kepala yang dulu pernah dipenggalnya.
Tetapi, ilmu baru terjadi tatkala pedang itu telah menyatu dengan tangan kita. Bukan saja kita sanggup menggenggamnya dan mendayagunakannya dengan seribu teknik silat; lebih dari itu ilmu ditandai oleh realitas menyeluruh, di mana pedang itu telah menjadi bagian dari diri kita, bagian dari badan kita, akal pikiran kita, emosi hati kita, termasuk budi dan kearifan jiwa kita.
Pengetahuan barulah tataran terendah dari persyaratan mutu dan aktualitas eksistensi mahluk yang bernama manusia. Tetapi, ilmu pun belumlah "langit" tertinggi dalam kosmos "ahsani taqwin" sebaik-baik mahluk - manusia. Sebab, ilmu pedang bisa merupakan awal mula dari tertikamnya dada seseorang. Oleh karena itu, di atas ilmu si penggenggam kebenaran ada langit lebih tinggi yang bernama hubb atau cinta.
Cinta adalah rem, pembijak, pengatif, yang terkandang nikmat terkadang sakit, bagi kemungkinan pembunuhan atau permusuhan yang dipotensialkan oleh ilmu pedang. Ini berlaku pada skala mana pun, di kesempitan pergaulan sehari-hari hingga di keluasan peradaban.
Adapun jika ilmu jika penghayatan akan kebenaran, bersenyawa, bekerja sama, berkoperasi, berposisi, dan berkelangsungan intermanagable, atau denan kata lain "bersuami-istri dengan hubb" atau cinta maka tercapailah tataran "taqwa".
Tanpa itulah target puasa. Taqwa itulah cakrawala perjalanan kemusliman manusia. Taqwa lebih tinggi dari nilai kebenaran dan nilai cinta. Apalagi dibandingkan tataran norma, hukum formal, adat, serta tabung-tabung formal kultural lainnya dalam komunitas atau kejamaahan umat manusia. Taqwa itu suatu atmosfer yang bukan main menyejukkan, menenteramkan, dan membahagiakan, yang terletak di garis kemungkinan "liga rabb", yakni kemungkinan pertemuan hamba-hamba hina dina macam kita ini dengan Allah. Sekarang bisalah kita membandingkan, apa beda kemungkinannya jika pedang berada di tangan orang berpengetahuan, dengan jika ia tergenggam di tangan orang berilmu saja, atau jika ia tergenggam di tangan orang yang bercinta saja dengan jika ia tergenggam di tangan orang yang bertaqwa.
Kemudian gampanglah bagi kita untuk memproyeksikan: jika pedang itu adalah kekuatan fisik, adalah kekuasan politik, adalah modal dan peluang ekonomi, adalah pasal-pasal hukum, atau apa pun saja. Gampanglah kita perhitungkan: terjaditikaman, siapa yang menikam dan yang tertikam, seberapa dahsyat akibat sejarah dari ketertikaman itu, ataukah mungkin berlangsung suatu ketaqwaan peradaban, di mana pedang tak pernah menikam, di mana ketajaman pedang ditaqwai untuk hanya menguak kesejahteraan dan kebahagiaan bersama.
Makan yang sejati
Rasanya tak enakuntuk memuji-muji Muhammad. Ada situasi psikologis tertentu dalam pergaulan teologis dan kultural di lapangan integrasi nasional kita, yang menjadi sumber ketidakenakan tersebut.
Sepenuhnya saya memahami itu. Secara kultural, untuk situasi semacam itu, saya harus pelti" pujian. Tetapi, dalam konteks ilmu kita tidak bisa menemukan argumentasi apa pun untuk melakukan hal yang sama. Tidak kebetulan bahwa arti harfiah kata "Muhammad adalah juga yang terpuji". Apa yang ingin saya lakukan dengan tulisan ini hanyalah mencicil landasan rasional agar kita berhak menyebut rasul terakhir itu dengan Muhammad. Kalau tak cukup pengetahuan dan ilmu, syukur cinta dan ketaqwaan, maka jika kita memanggilnya dengan mesra "Ya Muhammad kekasih", rasanya kosong, tak ada muatannya. Muhammad menolehkan kepalanya dan melirikkan bola matanya ke arah kita, tetapi hati, nalar dan budinya tak ikut merasa terpanggil, karena panggilan kita memang tanpa nalar, hati dan budi. Beliau pasti kecewa.
"Makan hanya ketika lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang" Adalah formula tentang kesehatan hidup. Tak hanya menyangkut tubuh, tapi juga keseluruhan mental sejarah. Ia adalah contoh soal lebih dari sekadar teori keilmuan tentang keefektifan dan efisiensi.
Selama ini pemahaman-pemahaman nilai budaya kita cenderung mentabukan perut. Orang yang hidupnya terlalu profesional dan hanya mencari uang, kita sebut "diperbudak oleh perut". Para koruptor kita gelari "hamba perut" yang mengorbankan kepentingan negara dan rakyat demi perutnya sendiri.
Padahal ia bukanlah hamba perut. Sebab, kebutuhan perut amat sederhana dan terbatas. Ia sekadar penampung dan distributor sejumlah zat yang diperlukan untuk memelihara kesehatan tubuh. Perut tak pernah mempersoalkan, apakah kita memilih nasi pecel atau pizza, lembur kuring atau masakan Jepang.
Yang menuntut berlebih pertama-tama adalah lidah. Perut tidak menolak untuk disantuni dengan jenis makanan cukup seharga seribu rupiah. Tetapi, lidah mendorong kita harus mengeluarkan sepuluh ribu, seratus ribu, aau terkadang sejuta rupiah.
Mahluk lidah termasuk yang menghuni batas antara jasmani dengan rohani. Satu kaki lidah berpijak di kosmos jasmani, kaki lainnya berpijak di semesta rohani. Dengan kaki yang pertama ia memanggul kompleks tentang rasa dan selera; tak cukup dengan standar 4 sehat 5 sempurna, ia membutuhkan variasi dan kemewahan. Semestinya cukup di warung pojok pasar, tapi bagian lidah yang ini memperkuda manusia untuk mencari berbagai jenis makanan, inovasi dan paradigma teknologi makanan, yang dicari ke seantero kota dan desa. Biayanya menjadi ratusan kali lipat.
Dengan kaki lainnya lidah memikul penyakit yang berasal dari suatu dunia misterius, yang bernama mentalitas, nafsu, serta kecenderungan-kecenderungan aneh yang mensifati budaya manusia. Makan, yang dalam konteks perut hanya berarti menjaga kesehatan, di kaki lidah itu diperluas menjadi bagian dari kompleks kultur, status sosial, gengsi, feodalisme, kepriyayian, serta penyakit-penyakit kejiwaan komunitas manusia lainnya.
Kecenderungan ini membuat makan tidak lagi sejati dengan konteks perut dan kesehatan tubuh, melainkan dipalsukan, dimanipulir atau diartifisialkan menjadi urusan-urusan kultur danperadaban, yang biayanya menjadi amat, sangat mahal. Budaya artifisialisasi makan ini dieksploitasi dan kemudian dipacu oleh etos industrialisasi segala bidang kehidupan, serta disahkan oleh kepercayaan budaya, bahwa harus senantiasa ada proses kreatif: orang menyelenggarakan modifikasi budaya makan, pembaruan teknologi konsumsi, jenis makanannya, panggung tempat makannya, nuansanya, lagu-lagu pengiringnya, pewarnaan meja kursi dindingnya hingga karaokenya.
Artif isia l isasi budaya makan itu akhirnya juga menciptakan berbagai ketergantunan manusia, sehingga agar selamat sejahtera dalam keterlanjuran ketergantungan itu, manusia bernegosiasi di bursa efek, menyunat uang proyek, memborong gunung-gunung dan hutan-hutan, bahkan berperang dan membunuh satu sama lain.
Padahal perut hanya membutuhkan "makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang".
Maka yang bernama "makan sejati" ialah makan yang sungguh-sungguh untuk perut. Adapun yang pada umumnya kita lakukan selama ini adalah "memberi makan kepada nafsu".
Perut amat sangat terbatas dan Allah mengajarinya untuk tahu membatasi diri. Sementara nafsu adalah api yang tak terhingga skala perbesaran atau pemuaiannya. Jika filosofi makan dirobek dan dibocorkan menuju banjir bandang nafsu tak terbatas, jika ia diartifisialkan dan dipalsukan dan tampaknya itulah salah satu saham utama beribu konflik dan ketidakadilan dalam sejarah umat manusia maka sesungguhnya itulah contoh paling konkret dari terbunuhnya efisiensi dan keefektifan. Rekayasa budaya makan pada masyarakat kita, dari naluri sehari-hari hingga aplikasinya di pasal-pasal rancangan pembangunan jangka pendek dan jangka panjang, mengandung inefisiensi atau keborosan dan keserakahan, yang terbukti mengancam alam dan kehidupan manusia sendiri; di samping sangat tidak efektif mencapai hakikat tujuan makan itu sendiri.

Kebutuhan sejati

Aktivitas puasa selalu diartikan - dan memang benar demikian - sebagai peperangan melawan nafsu. Cuma barangkali karena pengetahuan dan ilmu kita tentang musuh yang harus diperangi itu tidak bertambah, maka strategi dan taktik perang kita pun kurang berkembang.
Kalau kita mendengar tentang nafsu makan, asosiasi kita menunjuk ke makan, bukan ke nafsunya. Maka ketika istri kita ke pasar, yang dibeli terutama adalah pesanan-pesanan nafsu, bukan kapasitas kebutuhan makan yang diperlukan. Setiap pelaku puasa punya pengalaman untuk cenderung mendambakan dan menumpuk berbagai jenismakanan dan minuman sepanjang hari, kemudian ketika saat berbuka tiba, ia baru tahu, bahwa perut sama sekali tidak membutuhkan sebanyak dan semewah itu.
Pelajaran yang diperoleh dari peristiwa semacam itu seharusnya adalah kesanggupan memilahkan antara dorongan nafsu dengan kebutuhan makan. Kegiatan puasa jadinya bukanlah pertempuran melawan "tidak boleh makan" atau "tidak adanya makanan", melainkan melawan nafsu itu sendiri yang menuntut pengadaan
lebih dari sekadar makanan.
Puasa adalah penguraian "nafsu" dari "makan". Untuk tidak makan dari subuh hingga maghrib, putra kita yang baru duduk di kelas III Sekolah Dasar saja pun sudah sanggup. Untuk "tidak makan" jauh lebih gampang dan ringan dibanding untuk "tiak bernafsu makan", terutama bagi para penghayat "makan yang sejati".
Seorang Sufi yang taraf pergaulannya dengan makan tinggal hanya berkonteks kesehatan tubuh, dalam hidupnya ia tak pernah lagi ingat makan, kecuali ketika perutnya lapar. Ia bukan merekayasa untuk hanya makan ketika lapar, tapi memang betul-betul sudah tak ingat makan sampai perutnya mengingatkan, bahwa ia lapar.
Untuk ingat lapar, cukup perut yang melakukannya, tapi untuk berhenti makan sebelum kenyang, manusia memerlukan dimensi-dimensi rohani tinggi kemanusiaannya untuk mengingatnya. Ia memerlukan nalar ilmu kesehatan tentang makan yang sehat, yakni tentang kurang dan tak lebih. Ia juga memerlukan ilmu dan kearifan yang lebih tinggi untuk melatih ketepatan kapasitas makan, agar ia memperoleh ketepatan pula dalam aktivitas "makan" yang lain di bidang-bidang kehidupan yang lebih luas.
Dalam pelajaran keaktoran teater, ada metoda "biasakan makan minum yang pas, agar dalam bermain drama engkau tidak overacting dan juga tidak underacting."
Padahal ilmu "makan sejati" atau "makan pas"-nya Rasulullah Muhammad juga berlaku untuk segala makan dalam kehidupan.
Kita masuk ke toko serba ada dengan segala gemerlap yang tidak memanggil-manggil kebutuhan kita, melainkan mengundang nafsu kita. Saya mohon maaf, bukan saya bermaksud
mematikan nafkah para pedagang, tetapi bermilyar-milyar rupiah dikeluarkan orang untuk membeli pelayanan atas nafsu, bukan pelayanan atas kebutuhan.
Program-program pembangunan kita memacu tahyul; mengetalasekan beribu-ribu jenis konsumsi yang tak sejati, yang sebenarnya belum tentu dibutuhkan oleh konsumen. Iklan-iklan industri adalah kendaraan budaya yang mengangkut jutaan manusia dari terminal kebutuhan ke terminal nafsu, dari kesejatian dan kepalsuan. Mereka dicetak untuk merasa rendah atau bahkan merasa tak ada, apabila tidak memiliki celana model ini dan kosmetika model itu. Merk-merk dagang adalah strata tahyul dan klenik. Para pasien di rumah sakit budaya tinggi, budaya gengsi, budaya kelas priyayi, menyerbu warung-warung status modernitas tidak untuk membeli barang, melainkan membeli anggapan-anggapan tentang barang.
Salah satu wajah dunia industri modern adalah tahyul konsumtifisme, yang menjadi sumber dari berbagai konflik serius di bidang persaingan ekonomi, pergulatan kekuasaan politik hingga penyelewengan hukum.
Ini adalah kata-kata "purba", yang terasa lucu dan naif untuk diperdengarkan. Tapi, tak bisa kita menghapusnya, karena setiap orang - setidaknya beberapa hari menjelang ajalnya - akan mendengar kata-kata semacam itu dari lubuk hati dan kesadarannya sendiri.
Puasa mengajarkan dan melatih pelaku-pelakunya untuk makan, untuk memiliki sejumlah uang dan kekayaan, untuk bersedia menggenggam kekuasaan, untuk menjadi ini-itu atau melakukan apa pun saja hanya ketika benar-benar dalam keadaan "lapar sejati", bukan dalam keadaan "merasa lapas karena nafsu".
Jika orang menjalankan puasa dengan pengetahuan, ilmu, cinta, dan ketaqwaan, ia akan terlatih untuk bertahan pada "makan yang sejati". Yakni, terlatih untuk mengambil jarak dari nafsu. Terlatih untuk tidak melakukan penumpukan kuasa dan milik, tidak melakukan monopoli, ketidakadilan, serta penindasan, karena telah diketahui dan dialaminya, bahwa itu semua adalah "makanan palsu".
Tetapi, alangkah sedihnya menyaksikan, betapa dunia ini diisi oleh banyak manusia yang tak henti-hentinya makan, padahal ia tak lapar, serta oleh banyak manusia yang tak habis-habisnya makan, padahal ia sudah amat kekenyangan.
Untunglah, bahwa bagi para pelaku puasa sejati, kesabaran untuk menyaksikan keburaman hidup semacam itu bisa justru meningkatkan perolehan kemuliaan dan kesejatiannya.

http://didin_uninus.blogspot.com

BERCINTA DENGANKU


oleh: white_mermaid

Aku ingin bercinta. Sungguh. Aku ingin bersatu denganmu. Rindu akan bisikan cintamu nan mesra. Haus akan belaianmu. Menikmati pelukanmu. Rakus akan kecupanmu. Merasakan debar jantungmu berpadu dengan debar jantungku. Bersama denganmu melayang tinggi menuju surga, perlahan tapi pasti. Aku ingin bercinta. Denganmu. Mengapa? Aku tak tahu. Aku hanya tahu aku memiliki gairah ini, untukmu.

Aku tak pernah membayangkan akan seperti ini jadinya ketika kita pertama kali berkenalan. Kau yang begitu sopan dan kaku, dan aku yang pemalu. Kombinasi yang membosankan, konservatif, kuno, atau apapun sebutannya. Kita tak pernah membicarakan hal yang bersangkut paut dengan cinta, apalagi tentang bercinta. Kita hanya berusaha saling mengenal, saling memahami diri kita masing-masing. Dan selama kita bersama itu, tak pernah terpikir olehku aku akan terbius oleh cintamu, akan tergoda oleh gairahmu, sampai aku ingin bercinta denganmu. Aku tak suka disentuh dan menyentuh, terutama oleh lawan jenisku. Aku tak suka ketika pertama kali kau menyentuhku, walaupun itu kau lakukan secara tak sengaja. Katamu kau juga tak pernah menyentuh perempuan.

Lalu mengapa seiring dengan bergulirnya waktu dan kedekatan kita, kau menyentuh aku? Dan mengapa aku membiarkan diriku disentuh, bahkan aku sendiri rindu untuk menyentuh kamu? Aku terpesona. Aku kagum. Aku heran. Tapi aku takut melihat cepatnya deru hubungan fisik kita. Lebih cepat daripada menguapnya embun pagi yang menetes di daun saat fajar tiba, tanganku sudah berada dalam genggamanmu. Tak sampai matahari membakar sisa hujan musim ini, aku berada di pelukmu. Sebelum dedaunan kembali tumbuh setelah gugur, aku hanyut dalam kecupmu.

Aku takut. Aku ngeri. Ini terlalu cepat bagiku. Aku tak lagi mengerti diriku sendiri, tak lagi memahami tubuhku. Aku ngeri pada diriku. Diriku telah berkhianat karena aku tak dapat mencegah diriku untuk tidak menyentuh kamu. Aku juga tak dapat memarahi diriku yang menikmati sentuhanmu, mendambakan belaianmu. Mengapa kau tidak takut? Karena kau telah iap memberi hatimu seutuhnya padaku, itu jawabannya. Sedangkan aku? Aku tak mau, aku tak bisa menyerahkan hatiku, memberikan seluruh hidupku, hanya kepada satu orang saja. Aku tak rela melihat diriku sendiri terikat pada satu mahluk.

Aku egois katamu? Oh ya, aku memang egois. Aku tak mau diriku ada dalam kekuasaan seseorang. Kau tahu saat terlemah bagi orang terkuat di dunia? Itu adalah saat ketika dia membuka hatinya untuk mencintai. Cinta adalah senjata paling ampuh di dunia ini. Cinta sanggup menorehkan luka yang tak akan pernah sembuh. Dan aku ak bersedia dilukai. Aku tak mau membuka hatiku. Aku tak mau jatuh cinta. Namun nyatanya, aku menggelepar dalam binar matamu. Aku hanyut dalam pelukanmu.

Aku leleh dalam hangatnya ciumanmu. Aku yang kuat seorang diri, tak butuh orang lain, yang tak suka sentuhan fisik, tertawan olehmu ketika pertama kali kau memelukku. Tak bisa lepas darimu saat pertama kau menciumku. Aku pernah dipeluk dan dicium, tentu saja. Justru kau-lah perjaka dalam ciuman itu. Namun ternyata aku-lah yang jatuh semakkin dalam. Aku tak mau itu. Aku tak rela berada dalam kekuasaan cinta.

Aku takut. Tapi, tahukah kau, aku terkadang berpikir. Benarkah cinta yang kurasakan atau hanyalah gairah, nafsu belaka? Kalau ini cinta, mengapa aku masih bersikap egois? Bukankah cinta dapat mengubah keegoisan seseorang menjdi penuh rasa memahami orang yang dicintai? Kalau ini hanya gairah, mengapa aku selalu ingin yang terbaik untuk dirimu? Karena cinta berarti kau rela memberikan apapun untuk melihat pujaan hatimu bahagia? Mungkinkah gairah ini adalah buah dari cinta yang kurasakan? Satu hal yang pasti, aku tak pernah puas mereguk manis kecupanmu, hangat pelukmu, erat genggaman tanganmu, halus belaianmu. Aku ingin lebih. Aku ingin semua yang ada di dirimu.

Aku penasaran dengan tubuhmu, bagaimana rasanya ketika tubuhmu menyatu dengan tubuhku, ketika kecupanmu di tanganku saja mampu membuatku melayang tinggi. Aku menginginkanmu. Murni laksana embun. Aku hanya menginginkanmu. Andai saja aku bisa bercinta dengamu. Tanpa syarat. Tanpa tuntutan apapun setelah itu. Biarkan semua berjalan seperti apa adanya. Aku hanya ingin menikmati katika gairah yang kupendam untukmu meledak, berpendar, bergaung, bersama dirimu. Namun itu tak mungkin. Tak ada satu perbuatan pun yang tak memiliki imbalan. Itu hukum dunia. Hanya saja...bisakah suatu saat kkita berpura-pura menjadi dua manusia yang tak ingat masa lalu, tak punya masa depan, hanya dapat menggenggam masa kini.

Tak punya hak, tak memiliki kewajiban apapun, hanya kebutuhan dan keinginan untuk saling memuaskan. Dengan begitu, kita bisa bercinta. Hanya saat itu saja, biarkan dunia menjadi milik kita berdua, kita tidak dikenal dan mengenal siapapun. Hanya ada kita, dan cinta, serta gairah. Bercintalah denganku, karena aku tahu kau menyimpan gairah yang sama. Make love with me, will you?


AddThis Social Bookmark Button

Senin, Agustus 03, 2009

Selamat Ulang Tahun Timut...

3 Agustus 2009, hari senin ini adalah ulang tahun mas Dwi yang biasa aku panggil dengan sebutan Timut, yang ke 49. Tidak ada hal yang istimewa yang aku sediakan pagi ini untuknya, hanya ciuman mesra untuknya yang aku berikan dan sebaris doa agar dia tetap panjang usia, sehat, dan tetap sabar mendampingi aku.
Ada rencana malam nanti aku akan ajak ke Jimbaran, makan malam bersama anak-anak.. aku sudah menyiapkan voucher sejak satu bulan yang lalu untuk hari istimewa ini.

Sebetulnya ada satu permintaanku yang ingin dipegang oleh mas Dwi, aku ingin dia menjagaku agar aku tidak "hilang" di curi orang. Aku bilang padanya yang antri di belakang mas Dwi cukup panjang, dan menunggu kelengahanku juga kelengahan mas Dwi. Ibarat Rahwana yang siap menerbangkan Dewi Shinta. Cuma ketika Dewi Sinta "hilang" masih ada Hanoman yang mengejar Rahwana dan menyelamatkan Dewi Shinta... Lha kalau aku yang hilang? siapa yang mau repot-repot cari aku, lagian aku pasti tidak berani terjun kedalam kobaran api seperti yang dilakukan Dewi Shinta untuk membuktikan kesetiaan pada pasangannya Prabu Rama. Karena Timut tahu, aku kadang tidak setia padanya, jadi buat apa pembuktian api itu?

Ah, Timut selamat ulang tahun.... semoga masih ada waktu untuk membangun rumah di dekat hutan pinus dan cemara, rumah mungil saja yang penuh jendela kaca, untuk kita berdua mengisi sisa usia...

Ingin belikan mama rumah

Pagi ini saya ke stasiun Pasar Turi, jemput anakku mbarep si Ridho liburan kuliah. Sebetulnya dia sudah libur sejak dua bulan yang lalu, tapi saya tidak ingin dia nganggur selama liburan yang cukup lama. Karena itu saya beri 3 opsi untuk mengisi liburannya. Pertama kerja dengan memberi les, kursus bahasa asing, atau ambil semester pendek. Kebetulan di UI tempatnya dia menuntut ilmu ada semester pendek, yang biayanya dihitung per SKS. Jadi dia ambil opsi yang ketiga, tapi dengan konsekuensi saya harus menyediakan tambahan biaya dan saya harus menahan kangen untuk tidak ketemu anakku ini selama dia ambil semester pendek itu.

Pagi ini, perasaan saya senang luar biasa, saya bangga dan terharu melihat dedek piadhek-nya Ridho. Rasa kangen saya tumpahkan dengan memberikan ciuman dan pelukan padanya. Saya tanyakan juga rencananya untuk ambil beasiswa. Dia bilang banyak tawaran beasiswa tapi syaratnta yang belum bisa dipenuhi, karena harus mempunyai tabungan dan ATM sendiri. Nah, untuk punya tabungan dan ATM sendiri, dia harus memiliki KTP. Sedangkan untuk mendapatkan KTP usianya harus 17 tahun. Sedangkan dia baru berusia 16 tahun, dan usia 17 tahun nanti baru jatuh pada 24 Oktober 2009. Memang ketika masuk di UI usianya baru menjelang 15 tahun. Jadi selama ini ATM-nya atas nama Bapaknya.

Kemudian saya tanya kabar "pacar"-nya. Dulu waktu dia bilang kalau sedang jatuh cinta sama temannya satu kelas di SMA, saya cemas dan kuatir, namun yang sesungguhnya adalah saya belum siap anak saya ini punya pacar. Pagi itu saya kaget, ternyata dia bilang kalau sudah putus. Dan saya kaget sekaligus bangga ketika dia mengatakan alasannya. Dia bilang pertama tidak boleh ustaz (ha ha ha..., saya tertawa dalam hati, tentu saja dia tidak tahu kalau saya tertawa). kedua dia ingin konsentrasi kuliah dulu, karena menurutnya pelajaran di UI membutuhkan konsentrasi yang sangat tinggi ditambah dengan kesibukkan organisasinya, sehingga telepon dan SMS dari sang idolanya dianggap mengganggu konsentrasinya. dan ketiga, yang membuat saya terharu (jika tadi dalam hati membuat saya tertawa, kali ini ucapannya membuat saya menangis....), dia pingin sebelum menikah membelikan rumah dulu buat mama, membantu beaya adiknya kuliah, baru dia mikirkan yang lain, menikah misalnya.

Tak pelak ucapannya dengan mimik yang serius dan mencureng (alisnya tebal kata bapaknya kayak saya), mebuat saya merinding, bangga, terharu dan entah... luar biasa! Kulihat bapaknya menahan airmatanya .... Dia melanjutkan lagi, bahwa putusnya dengan pacarnya secara baik-baik, dia bilang, akan tetap setia dengan pacarnya, cuma dia belum mau berpikir secara serius. Kalau seandainya pacarnya akan berpaling dia tidak apa-apa, tapi kau pacarnya mau menunggunya juga gak apa-apa, dia lebih suka itu. Dia bilang, mendorong pacarnya untuk konsentrasi ke kuliah dulu masing-masing, menyenagkan orang tua dulu.

Ah, pagi ini ... betul-betul luar biasa, terimakasih Tuhan, telah memberikan mutiara yang sangat luar biasa padaku...

Saya jadi teringat dua tahun yang lalu, ketika saya diterima menjadi mahasiswa S3 ITS dengan beasiswa DIKTI, namun ketika adaa pemberitahuan bahwa saya harus menempuh perkuliahan beberapa bulan di luar negeri, suami tidak memberikan respon. Dia bilang saya nanti akan kehilangan momen perkembangan anak-anak saya. Dan ketika saya meminta pendapat si Ridho yang saat itu masih kelas 2 SMA, dia bilang mama nanti kalau meninggal tidak ditanya lulusan apa, tapi yang ditanaya mama ngopeni anaknya tidak? Maka bercucuranlah airmata saya... dua hari saya menangis sampai sembab. Menangis karena saya harus melepas kuliah S3 ini, dan menangis dengan keras, karena anak saya butuh perhatian ibu-nya tidak butuh S3 ibunya.

Memang seandainya saya ambil S3, maka saya akan kehilangan momen untuk mendampingi dan mensupport Ridho, kehilangan momen melihat adiknya ( si Ian) yang semakin menggemaskan, ucapan Ridho menyadarkan saya, kehadiran ibunya lebih berharga daripada apapun juga....

Rabu, Juli 29, 2009

Tuhanpun berpuasa

Dikutip dari Buku “Tuhanpun bepuasa oleh EMHA Ainun Nadjib”.

Puasa dalam arti istilah adalah menahan dan puasa menurut bahasa adalah menahan lapar dan haus dari mulai sahur sampai berbuka. Fisik puasa terletak dibulan ramadhan yang mengahampar dari subuh ke maghrib, suasana hatinya menyebar dan bertaburan di malam hari hingga fajar, tetapi ruhaninya, alam pikirannya, maknanya, hikmah dan hakiki nyawa kehidupannya, sangatlah takjub untuk direnungkan.

Jika para pelakunya memiliki kecerdasan dan kesetiaan; mendobrak dinding bulan ramadhan menembus segala ruang dan waktu memasuki kebudayaan manusia hingga disetiap gerak perilaku semua hamba Allah, menagih kehidupan social manusia. Bertanya keras kepada pangggung-panggung politik, menyerap hak-haknya dari mekanisme ekonomi, serta mempertanyakan bukti aktualisasinya di setiap jengkal (kreativitas sejarah manusia).

Bagi kaum muslimin kebanyakan datangnya bulan ramadhan menggiring mereka untuk merasakkan kekusyukan khusus setahun sekali selama sebulan, dan segala gagasan serta penghayatan mereka mengenai puasa, mereka limpahkan didalam mangkuk ramadhan sebulan itu. Bagi mereka puasa adalah pekerjaan ringan tak makan tak minum serta menahan segala kemaksiatan sejak pagi hingga senja hari.

Bagi mereka iklim ramadhan adalah kepuasan berbuka, romantisme tarawih bersama, perjuang tadarus, kekangenan tarkhim sesudah makan sahur serta rasa memulai ketahanan diri melawan nafsu begitu bedug subuh ditabuh. Bagi mereka puasa dan ramadhan adalah sebuah keasyikan religius dan kemesraan uluhiyah yang diujungi oleh pesta idul fitri.

Ketika Allah memberi pernyataan bahwa ibadah puasa merupakan suatu jenis pengabdian yang khas dan berbeda dari ibadah-ibadah lainnya, karena oleh-Nya ditentukan “ khusus untuk-Ku” apakah kita menganggap bahwa dengan demikian Allah sangat membutuhkan puasa kita? Sehingga ia memonopoli hikmah dan makna puasa kita?

Dan karena itu pula kita menyangka bahwa yang memperoleh manfaat dari puasa kita bukanlah kita melainkan Allah.Kemudian dengan demikian kita juga beranggapan bahwa dengan ibadah ini kita memang bekerja untuk Allah (yang kita sebut Lillahii Ta’aalla).

Saya ingin mengatakan kepada anda sebuah jawaban atas pertanyaan-pertanyya itu yakni tidak sungguh-sungguh tidak. Allah maha agung dan tidak membutuhkan apa-apa dari kekerdilan kita. Tidak perlu manfaat apapun dari kelemahan kita, dan Allah maha tak terhingga san sema sekali tidak memiliki ketergantungan apapun kepada ketololan kita.Manusia hendaknya tau diri, belajarlah bertawadlu’ dan coba mengenali rahasia fitrah dari firmannya denga kata lain manusia jangan “ Ge-Er ”. Kalau Allah mengatakan bahwa ibadah puasa itu khusus baginya, kita biasa membaca maksud dibalik “ retorika pergaulan ” Nya bahwa betapa ibadah puasa itu sangat penting dan memilki makna khusus bagi manusia, betapa Allah sangat mencintai hamba-hambanya yang bersedia, bertasbih dan memiliki kesangupan menahan diri.

Bahwa puasa adalah metode kedisiplinan yang diperlukan oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari, bahwa puasa adalah suatu modal thorikot (cara hidup) yang sangat menentukan selamat tidaknya manusia didunia maupun diakhirat, pandanglah sekelilingmu, lihatlah bagaimana kemewahan-kemewahan diproduksi, lihatlah bagaimana orang berkuasa dan dengan segala cara mempertahankan kekuasaanya.

Bacalah Koran, tontonlah televise, saksikanlah peperangan, perebutan, penggusuran, pembongkaran dan penindasan, mengobrolah dengan tetanggamu, dengan sahabat-sahabatmu dan rekan kerjamu, berbicaralah tentang segala keadaan dimuka bumi ini kemudian tidaklah engkau menemukan pertanyaan yang sama :” kenapa manusia sangat tidak biasa menahan diri ”? padahal Allah selalu sedemikian menahan diri?

Dengan dosa-dosa kita yang sedemikian baertumpuk, baik dosa pribadi maupun dosa kolektif baik dosa personal maupun dosa structural – tidak pantaskah kalau sejak dulu Allah murka dan melindas kita semua?

Tapi bukankah ia sangat menahan diri? Tetap memperkenankanmu berbadan sehat, bernafas dan bergerak, ? bukankah ia sangat menahan diri, dengan tetap menerbitkan matahari, mengalirkan air dan menghembuskan angina seolah-olah tidak perduli betapa malingnya kita, betapa munafik dan kufurnya kita?

Jadi sebagaimana kita ketahui bersama : islam adalah agama pembebasan (dari nafsu keduniawian yang memerosokkan manusia didalam kebinasaan) atau penyelamatan (berdasarkan konsep takdir-Nya). Dan puasa ditunjukkan oleh sikap Allah itu sebagai metode yang paling praktis – tapi mendasar bagi proses pembebasan dan penyelamatan manusia atas dirinya sendiri.

Syahadat adalah fundamen keselamatan sholat adalah tiang yang berdiri statis puasa adalah pedoman menagemen kehidupan disetiap rumah, masyarakat, Negara, kebudayaan, dan peradaban. Zakat adalah “minyak pelumas” bekerjanya “mesin hidup” dan penyeimbang mekanisme sementara haji adalah “mahkota” puncak –puncak pencapaian ibadah kehidupan manusia.

Dengan demikian Allah menunjukkan kepada manusia bahwa puasa adalah prinsip dasar untuk menjalani kehidupan. Puasa adalah menahan diri mengendalikan dan menyaring. Prinsip dasar kehidupan bukanlah melampiaskan, meloloskan, atau menghabiskan. Metode pembebasan bagi kehidupan justru melalui cara mengendalikan, menyadari batas-batas, kesangupan menyaring, menyeleksi dan mensublimasikan. Ini berlaku dalam hal apa saja, dari soal berdagang mengurusi kekuasaan politik, mengelola rumah tangga dan lain sebagainya.

Allah sendiri memberi contoh-contoh dahsyat dan luar biasa soal mengendalikan diri dengan amat setia Allah menerbitkan matahari tanpa perduli apakah kita pernah mensyukuri terbitnya matahari atau tidak. Allah memancarkan cahaya matahari tanpa memperhitungnya dengan pengkhianatan yang kita lakukan atas-Nya setiap hari. Allah memelihara kesehatan tubuh kita dari detik ke detik, meski kita bangun pagi hanya ada satu atau dua saja hamba-Nya yang mengucapkan syukur bahwa matanya masih bisa melek. Allah sendiri”berpuasa” kalau tidak kita sudah dilenyapkan oleh-Nya hari ini, karena sangat banyak alasan rasional untuk itu.

Ibunda

(cuplikan dari buku Ibu Tamparlah Mulut Anakmu – Sekelumit Catatan Harian Emha Ainun Nadjib)

Ibunda

Emha Ainun Nadjib

Ibumu adalah
Ibunda darah dagingmu
Tundukkan mukamu
Bungkukkan badanmu
Raih punggung tangan beliau
Ciumlah dalam-dalam
Hiruplah wewangian cintanya
Dan rasukkan ke dalam kalbumu
Agar menjadi jimat bagi rizki
dan kebahagiaanmu


Tanah air adalah Ibunda alammu
Lepaskan alas kaki keangkuhanmu
Agar setiap pori-pori kulitmu
menghirup zat kimia kasih
sayangnya
Sentuhkan keningmu pada
hamparan debu
Reguklah air murni dari
kandungan kalbunya
Karena Ibunda tanah airmu itulah
pasal pertama setiap kata ilmu dan
lembar pembangunan hidupmu
Rakyat adalah Ibunda sejarahmu
Rakyat bukan bawahanmu,
melainkan atasanmu
Jangan kau tengok mereka ke bawah
kakimu, karena justru engkau
adalah alas kaki mereka yang
bertugas melindungi kaki mereka
dari luka-luka
Rakyat bukan anak buahmu
yang engkau berhak
menyuruh-nyuruh dan mengawasi
Rakyat adalah Tuanmu,
yang di genggaman tangannya terletak
hitam putih nasibmu
di hadapan mata Tuhan
Rakyat adalah
Ibunda yang menyayangimu
Takutlah kepada air matanya, karena
jika Ibunda menangis karena engkau
tusuk perasaannya,
Tuhan akan mengubah peranNya dari
Sang Penabur Kasih Sayang
menjadi Sang Pengancam,
Sang Penyiksa yang maha dahsyat
Ibunda darahmu
Ibunda tanah airmu
Ibunda rakyatmu
Adalah sumber nafkahmu,
kunci kesejahteraanmu serta mata air
kebahagiaan hidupmu
Pejamkanlah mata,
rasakan kedekatan cintanya
Sebab ketika itu Tuhan sendiri yang
mengalir dalam kehangatan
darahnya
Kalau Ibunda membelai rambutmu
Kalau Ibunda mengusap keningmu,
memijiti kakimu
Nikmatilah dengan syukur
dan batin yang bersujud
Karena sesungguhnya Allah sendiri
yang hadir dan maujud
Kalau dari tempat yang jauh engkau
kangen kepada ibunda
Kalau dari tempat yang jauh ibunda
kangen kepada engkau,
dendangkanlah nyanyian puji-puji
untuk Tuhanmu

Karena setiap bunyi
kerinduan hatimu adalah
Sebaris lagu cinta Allah kepada segala
ciptaanNya
Kalau engkau menangis
Ibundamu yang meneteskan air mata
Dan Tuhan yang akan mengusapnya
Kalau engkau bersedih
Ibundamu yang kesakitan
Dan Tuhan yang menyiapkan
hiburan-hiburan
Menangislah banyak-banyak
untuk Ibundamu
Dan jangan bikin satu kalipun
Ibumu menangis karenamu
Kecuali engkau punya keberanian
untuk membuat
Tuhan naik pitam kepada hidupmu
kalau ibundamu menangis,
para Malaikat menjelma jadi butiranbutiran
air matanya
Dan cahaya yang memancar dari
airmata ibunda membuat para
malaikat itu silau
dan marah kepadamu
Dan kemarahan para malaikat adalah
kemarahan suci sehingga Allah tidak
melarang mereka tatkala menutup
pintu sorga bagimu
Ibu kandungmu adalah
ibunda kehidupanmu
Jangan sakiti hatinya, karena ibundamu
akan senantiasa memaafkanmu
Tetapi setiap permaafan ibundamu atas
setiap kesalahanmu akan digenggam
erat-erat oleh para malaikat untuk
mereka usulkan kepada Tuhan agar
dijadikan kayu bakar nerakamu
Rakyat negerimu adalah
ibunda sejarahmu
Demi nasibmu sendiri jangan
pernah injak kepala mereka
Demi keselamatanmu sendiri jangan
curi makanan mereka
Demi kemashlahatan anak cucumu
sendiri jangan pernah hisap darah
mereka
Jangan pernah rampok tanah mereka
Sebab engkau tidak bisa menang
atas Ibundamu sendiri
Dan ibundamu tidak pernah
ingin mengalahkanmu
Sebab pemerintahmu tidak akan
bisa menang atas rakyatmu
Sebab rakyatmulah
ibunda yang melahirkanmu
Serta ia pulalah yang nanti akan
menguburkanmu sambil menangis,
karena ia tidak menjadi bahagia
oleh deritamu
karena ibu sejarahmu itu
tidak bergembira oleh kejatuhanmu
Ibundamu,
tanah airmu,
rakyatmu
Tak akan pernah bisa engkau kalahkan
Engkau merasa menang sehari semalam
Esok pagi engkau tumbang
Sementara Ibundamu,
tanah airmu, rakyatmu
Tetap tegak di singgasana kemuliaan
Emha Ainun Nadjib
Senin, 15.12.1992

GUSTI ALLAH TIDAK NDESO

Emha Ainun Nadjib: Gusti Allah Tidak “Ndeso”
Beragama yang Tidak Korupsi

Oleh: Faisal

Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun. “Cak Nun,” kata sang penanya, “misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?

Cak Nun menjawab lantang, “Ya nolong orang kecelakaan.”
“Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?” kejar si penanya.
“Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu,” jawab Cak Nun.
“Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, ” katanya lagi. “Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang
memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi.

Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di mesjid,
melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang. Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.

Seraya bertanya balik, Emha berujar, “Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.

Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan. Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?”

Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga. Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-injaknya. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran.

Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama. Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.

Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat,
baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama. Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.

Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh’afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.

Ekstrinsik VS Intrinsik

Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang yang shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lisannya. Nabi Muhammad SAW menjawab singkat, “Ia di neraka.” Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup. Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial.
Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus harus melahirkan kepedulian pada lingkungan sosial.

Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan dipakai sebagai tameng memperoleh kedudukan dan citra baik di hadapan orang lain. Hal ini sejalan dengan definisi keberagamaan dari Gordon W Allport. Allport, psikolog, membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik dan intrinsik.

Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan demikian rupa agar dia memperoleh status darinya. Ia puasa, misa, kebaktian, atau membaca kitab suci, bukan untuk meraih keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dirinya. Dia beragama demi status dan harga diri. Ajaran agama tidak menghujam ke dalam dirinya.

Yang kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang memasukkan nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai dan ajaran agama terhujam jauh ke dalam jiwa penganutnya. Adanya internalisasi nilai spiritual keagamaan. Ibadah ritual bukan hanya praktik tanpa makna. Semua ibadah itu memiliki pengaruh dalam sikapnya sehari-hari. Baginya, agama adalah penghayatan batin kepada Tuhan. Cara beragama yang intrinsiklah yang mampu menciptakan lingkungan yang bersih dan penuh kasih sayang.

Keberagamaan ekstrinsik, cara beragama yang tidak tulus, melahirkan egoisme. Egoisme bertanggungjawab atas kegagalan manusia mencari kebahagiaan, kata Leo Tolstoy. Kebahagiaan tidak terletak pada kesenangan diri sendiri. Kebahagiaan terletak pada kebersamaan. Sebaliknya, cara beragama yang intrinsik menciptakan kebersamaan. Karena itu, menciptakan kebahagiaan dalam diri penganutnya dan lingkungan sosialnya. Ada penghayatan terhadap pelaksanaan ritual-ritual agama.

Cara beragama yang ekstrinsik menjadikan agama sebagai alat politis dan ekonomis. Sebuah sikap beragama yang memunculkan sikap hipokrit; kemunafikan. Syaikh Al Ghazali dan Sayid Quthb pernah berkata, kita ribut tentang bid’ah dalam shalat dan haji, tetapi dengan tenang melakukan bid’ah dalam urusan ekonomi dan politik. Kita puasa tetapi dengan tenang melakukan korupsi. Juga kekerasan, pencurian, dan penindasan.

Indonesia, sebuah negeri yang katanya agamis, merupakan negara penuh pertikaian. Majalah Newsweek edisi 9 Juli 2001 mencatat, Indonesia dengan 17.000 pulau ini menyimpan 1.000 titik api yang sewaktu-waktu siap menyala. Bila tidak dikelola, dengan mudah beralih menjadi bentuk kekerasan yang memakan korban. Peringatan Newsweek lima tahun lalu itu, rupanya mulai memperlihatkan kebenaran. Poso, Maluku, Papua Barat, Aceh menjadi contohnya. Ironis.

Jalaluddin Rakhmat, dalam Islam Alternatif , menulis betapa banyak umat Islam disibukkan dengan urusan ibadah mahdhah (ritual), tetapi mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan, kesengsaraan, dan kesulitan hidup yang diderita saudara-saudara mereka. Betapa banyak orang kaya Islam yang dengan khusuk meratakan dahinya di atas sajadah, sementara di sekitarnya tubuh-tubuh layu digerogoti penyakit dan kekurangan gizi.

Kita kerap melihat jutaan uang dihabiskan untuk upacara-upacara keagamaan, di saat ribuan anak di sudut-sudut negeri ini tidak dapat melanjutkan sekolah. Jutaan uang dihamburkan untuk membangun rumah ibadah yang megah, di saat ribuan orang tua masih harus menanggung beban mencari sesuap nasi. Jutaan uang dipakai untuk naik haji berulang kali, di saat ribuan orang sakit menggelepar menunggu maut karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Secara ekstrinsik mereka beragama, tetapi secara intrinsik tidak beragama. [ed.AYS]

TOKO dalam TOKO KELONTONG

Oleh: Emha Ainun Nadjib

Dalam forum Maiyahan, tempat pemeluk berbagai agama berkumpul melingkar, sering saya bertanya kepada forum:
"Apakah anda punya tetangga?".
Biasanya dijawab: "Tentu punya"
"Punya istri enggak tetangga Anda?"
"Ya, punya dong"
"Pernah lihat kaki istri tetangga Anda itu?"
"Secara khusus, tak pernah melihat "
" Jari-jari kakinya lima atau tujuh? "
"Tidak pernah memperhatikan"
"Body-nya sexy enggak?"
Hadirin biasanya tertawa.
Dan saya lanjutkan tanpa menunggu jawaban mereka:
"Sexy atau tidak bukan urusan kita, kan? Tidak usah kita perhatikan,tak usah kita amati, tak usah kita dialogkan,diskusika n atau perdebatkan. Biarin saja".

Keyakinan keagamaan orang lain itu ya ibarat istri orang lain. Ndak usah diomong-omongkan, ndak usah dipersoalkan benar salahnya, mana yang lebih unggul atau apapun.Tentu, masing-masing suami punya penilaian bahwa istrinya begini begitu dibanding istri tetangganya, tapi cukuplah disimpan didalam hati.

Bagi orang non-Islam, agama Islam itu salah.
Dan itulah sebabnya ia menjadi orang non-Islam.
Kalau dia beranggapan atau meyakini bahwa Islam itu benar, ngapain dia jadi non-Islam?
Demikian juga, bagi orang Islam, agama lain itu salah.Justru berdasar itulah maka ia menjadi orang Islam.Tapi, sebagaimana istri tetangga, itu disimpan saja didalam hati, jangan diungkapkan, diperbandingkan, atau dijadikan bahan seminar atau pertengkaran. Biarlah setiap orang memilih istri sendiri-sendiri, dan jagalah kemerdekaan masing-masing orang untuk menghormati dan mencintai istrinya masing-masing, tak usah rewel bahwa istri kita lebih mancung hidungnya karena Bapaknya dulu sunatnya pakai calak dan tidak
pakai dokter,umpamanya.

Dengan kata yang lebih jelas, teologi agama-agama tak usah dipertengkarkan, biarkan masing-masing pada keyakinannya. Sementara itu orang muslim yang mau melahirkan padahal motornya gembos, silakan pinjam motor tetangganya yang beragama Katolik untuk mengantar istrinya ke rumah sakit.
Atau, Pak Pastor yang sebelah sana karena baju misanya kehujanan,padahal waktunya mendesak, ia boleh pinjam baju koko tetangganya yang NU maupun yang Muhamadiyah. Atau ada orang Hindu kerjasama bikin warung soto dengan tetangga Budha, kemudian bareng-bareng bawa colt bak ke pasar dengan tetangga Protestan untuk kulakan bahan-bahan jualannya.

Tetangga-tetangga berbagai pemeluk agama, warga
Berbagai parpol, golongan, aliran, kelompok, atau
apapun, silakan bekerja sama di bidang usaha
perekonomian, sosial, kebudayaan, sambil saling
melindungi koridor teologi masing-masing.
Bisa memperbaiki pagar bersama-sama, bisa gugur gunung membersihi kampung, bisa pergi mancing bareng bisa main gaple dan remi bersama.
Tidak ada masalah lurahnya Muslim, cariknya Katolik,kamituwonya Hindu, kebayannya Gatholoco, atau apapun.Jangankan kerja sama dengan sesama manusia, sedangkandengan kerbau dan sapi pun kita bekerja sama nyingkal dan nggaru sawah.
Itulah lingkaran tulus hati dengan hati.
Itulah Maiyah.

SERIBU MASJID SATU JUMLAHNYA, (emha ainun nadjib)

Satu
Masjid itu dua macamnya
Satu ruh, lainnya badan
Satu di atas tanah berdiri
Lainnya bersemayam di hati

Tak boleh hilang salah satunyaa
Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu
Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu

Dua
Masjid selalu dua macamnya
Satu terbuat dari bata dan logam
Lainnya tak terperi
Karena sejati

Tiga
Masjid batu bata
Berdiri di mana-mana
Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya
Timbul tenggelam antara ada dan tiada

Mungkin di hati kita
Di dalam jiwa, di pusat sukma
Membisikkannama Allah ta’ala
Kita diajari mengenali-Nya

Di dalam masjid batu bata
Kita melangkah, kemudian bersujud
Perlahan-lahan memasuki masjid sunyi jiwa
Beriktikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warna

Empat
Sangat mahal biaya masjid badan
Padahal temboknya berlumut karena hujan
Adapun masjid ruh kita beli dengan ketakjuban
Tak bisa lapuk karena asma-Nya kita zikirkan

Masjid badan gmpang binasa
Matahari mengelupas warnanya
Ketika datang badai, beterbangan gentingnya
Oleh gempa ambruk dindingnya
Masjid ruh mengabadi
Pisau tak sanggup menikamnya
Senapan tak bisa membidiknya
Politik tak mampu memenjarakannya

Lima
Masjid ruh kita baw ke mana-mana
Ke sekolah, kantor, pasar dan tamasya
Kita bawa naik sepeda, berjejal di bis kota
Tanpa seorang pun sanggup mencopetnya

Sebab tangan pencuri amatlah pendeknya
Sedang masjid ruh di dada adalah cakrawala
Cengkeraman tangan para penguasa betapa kerdilnya
Sebab majid ruh adalah semesta raya

Jika kita berumah di masjid ruh
Tak kuasa para musuh melihat kita
Jika kita terjun memasuki genggaman-Nya
Mereka menembak hanya bayangan kita

Enam
Masjid itu dua macamnya
Masjid badan berdiri kaku
Tak bisa digenggam
Tak mungkin kita bawa masuk kuburan

Adapun justru masjid ruh yang mengangkat kita
Melampaui ujung waktu nun di sana
Terbang melintasi seribu alam seribu semesta
Hinggap di keharibaan cinta-Nya

Tujuh
Masjid itu dua macamnya
Orang yang hanya punya masjid pertama
Segera mati sebelum membusuk dagingnya
Karena kiblatnya hanya batu berhala

Tetapi mereka yang sombong dengan masjid kedua
Berkeliaran sebagai ruh gentayangan
Tidak memiliki tanah pijakan
Sehingga kakinya gagal berjalan

Maka hanya bagi orang yang waspada
Dua masjid menjadi satu jumlahnya
Syariat dan hakikat
Menyatu dalam tarikat ke makrifat

Delapan
Bahkan seribu masjid, sjuta masjid
Niscaya hanya satu belaka jumlahnya
Sebab tujuh samudera gerakan sejarah
Bergetar dalam satu ukhuwah islamiyah

Sesekali kita pertengkarkan soal bid’ah
Atau jumlah rakaat sebuah shalat sunnah
Itu sekedar pertengkaran suami istri
Untuk memperoleh kemesraan kembali

Para pemimpin saling bercuriga
Kelompok satu mengafirkan lainnya
Itu namanya belajar mendewasakan khilafah
Sambil menggali penemuan model imamah

Sembilan
Seribu masjid dibangun
Seribu lainnya didirikan
Pesan Allah dijunjung di ubun-ubun
Tagihan masa depan kita cicilkan

Seribu orang mendirikan satu masjid badan
Ketika peradaban menyerah kepada kebuntuan
Hadir engkau semua menyodorkan kawruh

Seribu masjid tumbuh dalam sejarah
Bergetar menyatu sejumlah Allah
Digenggamnya dunia tidak dengan kekuasaan
Melainkan dengan hikmah kepemimpinan

Allah itu mustahil kalah
Sebab kehidupan senantiasa lapar nubuwwah
Kepada berjuta Abu Jahl yang menghadang langkah
Muadzin kita selalu mengumandangkan Hayya ‘Alal Falah!

1987

Selasa, Juli 21, 2009

maaf aku marah

Hari ini saya marah pada mas Al, tepatnya tidak hanya marah, tapi jengkel... Tapi bagus juga saya bisa marah, artinya saya sadar bahwa selama ini apa yang ada dibenakku, ternyata terjawab tuntas tas tas.... APa yang menyebabkan saya marah? RAsanya tidak perlu saya jelaskan lebih lanjut sebab musabab kemarahan saya sebab bisa jadi dia hanya guyonan saja layaknya para lelaki, namun saya menangkapnya bukan suatu guyonan tapi pelecehan.... di sinilah parameter sikap yang jauh jelas berbeda antara saya dan mas Al. Tuhan menciptakan hati manusia sungguh tidak sama, hati yang terdiri dari segumpal darah itu ternyata memiliki akar yang bisa menjalar kemana-mana. Celakanya akar ini bisa menjalar dengan cepat di ulu hati, di jantung, di otak dan di aliran darah. Efeknya sungguh luar biasa, hanya dalam hitungan detik... perasaan tidak enak, sedih, galau, dengan cepat merasuk dan tetesan air matapun hampir tertumpah ruah, akibat tekanan menahan marah.

UNtungnya Hati yang terdiri dari gumpalan darah ini bisa dikendalikan manakala otak mengirim sinyal untuk mendinginkan. Setelah helaan nafas panjang, dan memilah, akhirnya hikmah yang di dapat adalah rasa syukur, bahwa ternyata dugaan saya terhadap sikap mas Al meleset sangat jauh.... apa yang membuat saya marah adalah cerminan rasa bersalah saya terhadap Mas Al juga. Artinya, saya mensyukuri bahwa saya bisa menangkap maksud dari sikap Mas Al yang tersembunyi, walaupun dugaan ini bisa saja salah. Tapi paling tidak itu adalah premis saya sementera ini. Hipotesanya adalah Ada hubungan antara kemarahan saya dengan kesimpulan yang saya dapat, sehingga jawaban sementara yang saya dapatkan inilah yang membuat saya marah. Memang harus dibuktikan antara dugaan saya dan penyangkalan Mas Al. Biarkan waktu yang membuktikan apakah saya benar atau mas Al yang kukuh dengan komitmennya itu, aku tunggu saja. Namun, saya akan memenuhi janjiku untuknya, jika mas Al bisa membuktikan bahwa premis saya salah... tapi saya berharap dia tidak pernah bisa membuktikannya.

Apakah maaf yang ditulis lewat smsnya mampu mendinginkan hati saya juga? Entahlah... yang jelas saya berharap dengan menulis ini, saya bisa melupakan soal itu, biasanya apa yang saya tulis akan hilang juga memory itu, semua memory... jadi semacam angin, kenangan akan segera terhapus tak berbekas, setelah semuanya sudah saya tulis, ya semacam angin... semacam angin...

phusss hilang....

Jumat, Juli 17, 2009

Aku benci

Aku benci ketika logika aku bersuara dan mengingatkan, “Hey! Ini hanya ketertarikan fisik semata, pada akhirnya kamu akan tahu, kalian berdua tidak punya anything in common,” harus dimentahkan oleh hati yang berkata, “Jangan hiraukan logikamu.”

Aku benci harus mencari-cari kesalahan kecil yang ada di dalam diri kamu. Kesalahan yang secara desperate aku cari dengan paksa karena aku benci untuk tahu bahwa kamu bisa saja sempurna, kamu bisa saja tanpa cela, dan aku, bisa saja benar-benar jatuh hati kepadamu.

Aku benci jatuh cinta, terutama kepada kamu. Demi Tuhan, aku benci jatuh cinta kepada kamu. Karena, di dalam perasaan menggebu-gebu ini; di balik semua rasa kangen, takut, canggung, yang bergumul di dalam dan meletup pelan-pelan…

aku takut sendirian.

*Tulisan ini terdapat dalam buku Kepada Cinta (Gagasmedia, 2009), buku kumpulan surat cinta dari berbagai macam penulis.


ahhh

Gacela of Desperate Love

Federico Garcia Lorca
Translated by W.S. Merwin


The night does not wish to come
so that you cannot come
and I cannot go.

But I will go,
though a scorpion sun should eat my temple.

But you will come
with your tongue burned by the salt rain.

The day does not wish to come
so that you cannot come
and I cannot go.

But I will go
yeilding to the toads my chewed carnation.

But you will come
through the muddy sewers of the darkness.

Neither night nor day wishes to come
so that I may die for you
and you die for me.


Indonesian Version

Note:
This is the version featured in the translated novel
"The Sands of Time" by Sidney Sheldon.
It is only a part of the original.


Malam tak ingin datang
agar kau tak bisa datang
dan aku tak bisa pergi.

Tapi kau akan datang
dengan lidah terbakar hujan garam.

Siang tak ingin menjelang
agar kau tak bisa datang
dan aku tak bisa pergi.

Tapi kau akan datang
lewat lorong-lorong kumuh penuh kegelapan.

Baik siang maupun malam ingin datang
agar aku bisa mati untukmu
dan untukku.


doa

Do'a

Chairil Anwar


kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
MengingatMu penuh seluruh

CahayaMu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk

Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
Di pintuMu aku mengetuk
Aku tak bisa berpaling

aku ingin

AKU INGIN


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

(Sapardi Djoko Damono)

ADUH KUCING ....

Pagi tadi setelah memasak buat sarapan, saya nyiapkan makan buat seekor kucing. Kucing ini barangkali generasi yang ke sekian puluh kali, karena induknya sudah meninggal satu bulan yang lalu. Sang induk sebetulnya adalah kucing yang cukup cantik, dengan bulu yang berwarna belang telon keciklatan dan memiliki mata yang indah. Bulu-bulunya juga lebat, dan lagi dia seekor kucing yang penurut dan tidak rakus. Anehnya, anak-anaknya semua pada rakus dan susah diatur. Karena dia kucing cantik itulah, maka hampir setiap hari ada kucing jantan yang menggodanya. Dan tidak lama kemudian kucing cantik ini hamil. Begitu seterusnya selama hampir 10 tahun. Bayangkan berapa ekor anak yang telah dilahirkan, apalagi sekali melahirkan antara 2-4 ekor. Tapi karena saya tidak mau beternak kucing, maka setiap kali dia melahirkan, dan setelah saya rasa mereka cukup besar dan tidak lagi menyusu pada induknya, maka selalu saya buang ke pasar atau saya berikan ke tetangga. Namun anehnya, anak-anaknya tidak ada yang memiliki sifat lembut seperti induknya. Menurut saya, anak-anaknya, semua kasar dan galak. Beberapa kali saya selalu dicakar.

Nah, kembali kepada peristiwa tadi pagi. Sang kucing seperti halnya saudara-saudaranya yang sudah saya buang, (sebetulnya dia juga pernah saya buang berkali-kali, tetapi selalu bisa menemukan jalan pulang ke rumah) juga memiliki sifat rakus. sepetinya dia tidak pernah merasa kenyang. Seperti pagi tadi, setelah menyelesaikan rutinitas memasak untuk sarapan, saya pun menyiapkan makan untuk sang kucing ini. Sang kucing lantas mengeong-ngeong dan berputar-putar diantara kaki saya. Berkali-kali dia meloncat ke meja untuk mencoba makanan yang sedang saya buat.

Tiba-tiba kucing ini menjerit keras, dan mencakar kaki saya. Tentu saja saya kaget, dan saya pun juga berteriak... memanggil suami saya. Ternyata ekorm kucing ini kejiret ujung daster saya yang tanpa saya sadari sudah sobek-sobek karena dicakar. Ujung sobekan itulah yang menjiret ekor kucing ini. Karena ekornya terjiret daster saya, dia tidak bisa lari, hanya mengeong dengan keras. Celakanya kaki dan tangan saya dicakar dan digigit sampai berdarah. Sayapun ketakutan dan berteriak lagi memanggil suami yang tidak muncul-muncul. Kucing ini juga mulai marah dan ketakutan karena ekornya tidak bisa lepas dari daster saya, dan barangkali juga takut mendengar teriakan saya. Jadilah pagi itu teriakan saya dan geraman kucing bersahutan.... saya tidak bisa melangkah karena setiap saya melangkah selalu kaki dan tangan saya dicakar. Sedangkan kucing itupun juga tidak bisa jalan karena ekornya semakin kencang terkait di daster saya yang semakin robek-robek. Saya panik, kucing itu juga semakin marah. Akhirnya suami saya datang dan hanya melihat dengan bengong melihat saya ribut dengan kucing. "Ambil Gunting Mas... tolong ambil gunting...gunting daster saya" teriak saya panik, karena kucing itu samakin buas mencakar dan menggigit kaki saya. Saya semakin jengkel, karena mas Dwi hanya diam saja tidak bereaksi, malah buka kulkas cari makanan kucing. Saya yang saat itu masih pegang pisau berusaha memutus daster yang terlilit di ekor kucing, tapi tidak berhasil malah kucing itu semakin buas. Akhirnya setelah hampir sekujur kaki saya berdarah dan daster robek disana sini, entah bagaimana akhirnya daster yang melilit ekor kucing terlepas... meninggalkan rasa perih dikaki dan darah yang menetes dari jari saya....
Aduh pagi ini saya betul-betul jengkel. Jengkel dengan suami yang bangong saja melihat saya panik. jengkel dengan kucing yang merobek daster dan mencakar serta menggigit kaki dan tangan saya.


Sebetulnya saya suka kucing, tapi bukan yang mencakar begini....



Rabu, Juli 15, 2009

Berkah Malang di Malang

Disposisi sore itu tertulis, kalau aku diminta mewakili Kepala Dinas ke acara Depkominfo RI di Hotel Royal Orchid Batu-Malang tanggal 13 Juli. Acaranya sebenarnya hari Senin, tapi peserta diwajibkan registrasi hari minggu dan disediakan penginapan di Hotel tersebut selama 2 malam. Karena saya pikir perjalanan Malang-Surabaya tidak begitu jauh, saya memutuskan berangkat sendiri saja. Namun, ada masalah, karena ternyata dari bagian pembuatan SPJ mengabarkan waktu KIM di kedung kandang kemarin, SPPD sebanyak 15 lembar belum ada. Maka saya meminta Pak Anas dan teman lainnya untuk ikut saja ke Malang. Pak Anas usul hari minggu pagi kita berangkat sekalian jalan-jalan katanya. Saya manut saja, yang penting saya ada temannya berangkat.

Namun, keesokan harinya Pak Anas tiba-tiba membatalkan untuk ikut, ada acara keluarga alasan dia. Maka, saya pun membatalkan untuk berangkat hari Minggu, rencana tetap seperti di awal, berangkat hari Senin pagi jam 05.00 WIB. Cuma siapa yang sekaligus bisa mengantarkan saya pagi-pagi begini ke Malang? PAk Gafar meminta saya untuk berangkat diantar Pak Mul dengan kendaraan Dinas. Tapi kalau berangkat dengan pak Mul, itu berarti saya tetap merasa berangkat sendiri, karena saya tidak bisa diskusi dengan Pak Mul, karena dia cuma konsentrasi nyupir tok... sedangkan saya butuh orang yang bisa mengurus SPPD 15 lembar itu.

Untunglah ada sohib yang dengan senang hati mau mengantarkan.... sekaligus mengurus SPPD yang 15 lembar itu, namun setelah itu saya mendapatkan berkah malang... ah, berkah kok malang, biasanya berkah kan untung, atau setidaknya mendapatkan sesuatu yang menyenangkan... tapi memang di Malang itu saya mendapatkan berkah malang...saya katakan berkah karena saya kaget dan saya menikmatinya, dan malangnya... ah,biarlah untuk saya sendiri saja...

Minggu, Juli 12, 2009

CINTA Mas DWI.

Seperti biasa, ketika hari libur dan tidak ada rutinitas kantor, saya menyempatkan diri bongkar rumah. Dan kesibukan ini bisa seharian penuh, maklum banyak kertas berceceran di meja komputer, tempat tidur, dan buku-buku yang terserak di berbagai sudut rumah. Mulai dari komik, novel, kamus, koran, majalah, dan berbagai buku ngajar milik mas Dwi dan punya saya sendiri.

HAri ini, saya membersihkan berbagai buku, dan bendaa-benda berdebu di atas lemari pakaian. Dan di sana pula saya menemukan kenangan yang membuat saya menangis keras, seseunggukan... Yang membuat saya menangis adalah tiga pucuk surat yang saya taruh di album perkawinan. Surat itu tertulis 23 tahun lalu, ketika saya belum kawin. Dulu ketika saya menerima surat itu saya tidak saja menangis tapi juga bingung antara menerima cintanya dan menolaknya. Sebab saya tidak tahu apakah si penulis surat itu betul-betul mencintai saya atau hanya kasihan... Dan kini setelah saya membacanya lagi, saya merasakan betapa bodohnya saya, selalu mencurigai dirinya. Dan pada surat itu pula entah mengapa saya merasakan betapa dia mencintai saya... maka air mata saya tertumpah ruah baga air bah...

Surat itu
yang pertama tertanggal 25 Mei 1986, begini bunyinya :

Bogor, 25 Mei 1986

Puri,
Suratmu sing isine etungan bon-bonanmu wis tak tampa, engko nek aku bali nang Suroboyo bon-bonn iku arep tak tagih, siapno ae NB-ne.... keadaan mbakyumu apik-apik ae. Foto karo surat kelakun baik ora sido ilang. SUrat-suratm yo wis ditompo (aku mbko ilokno opo Pur nang surat kanggo mbakyumu...awas engko tak bales).... dst.

surat itu sebetulnya dua halaman,dan isinya memberi semangat pada saya agar tetap tabah, dan selalu membuat keajaiban positif. ADa pesan pada surat itu, saya diminta untuk tidak terlalu sering berkorban untuk orang lain.... Ada juga kekecewaan, karena saya tidak mau ikut bersamanya ke Bogor, walaupun sudah dibelikan tiket KA.

Surat ke dua ditulis pada 1 Nopember 1986
Bogor, 1 Nopember 1986
Puri.
Suratmu sudah kuterima, maaf aku terlambat membalasnya bukan arena apa-apa, aku sudah berusaha untuk menulis surat berkali-kali tetapi nggak jadi jadi...dst.

Isi surat itu singkat saja, hanya satu lembar tapi isinya sarat makna. Ada kerinduan pada isi surat itu... (tapi mengapa saat itu saya pura-pura tidak paham...?)

Dan surat yang ke tiga tertulis tanggal 23 Januari 1988

College Park, 23 Januari 1988
Puri sayang,
Akhirnya sampai juga aku di College Park, Maryland setelah melampui perjalanan yang sangat melelahkan selama lk 24 jam dari Jakarta-Hongkong-Tokio-Detroid-Balltimore-College Park....dst.

Surat ini adalah surat yang sangat istimewa, karena dia sudah berani menggambarkan perasaan dan isi hatinya (Sayang, saat itu aku cuma bisa tersenyum.... ketika membaca apalagi jarak yang sangat jauh, aku sempat berpikir, apakah dia akan kembali menemui aku atau jatuh cinta pada mahasiswa di Maryland?. Karena itu selama dua tahun dia kuliah di sana, aku biasa saja, seakan tidak pernah menunggu sang bangau terbang pulang kembali. Aku selalu berusaha untuk tidak berharap terlalu banyak pada dirinya.

Tapi ternyata dugaanku meleset jauh, aku terkesima dia ternyata menemui aku, dan melamar... Dan siang ini ketika aku membaca ulang surat-surat itu yang kusimpan pada album perkawinan kami, aku menangis, dan merasakan betapa besar dan tulus cinta mas Dwi ini.... ketika aku utarakan padanya, dia bilang "Kok baru tahu setelah hampir 25 tahun, sudah punya anak 2 lagi......?"
Ah mas Dwi, maafkan aku....