(dimuat di Kompasiana 11 Agustus 2010)
Agustus. Menyebut bulan Agustus, yang merupakan bulan keramat bangsa Indonesia, selalu membuat merinding seluruh tubuh. Terbayang bagaimana buyut dari buyut kita, kakek dari kakek kita, ayah dari ayah kita berlarian menyelamatkan diri dan keluarganya dari dentuman meriam dan senjata musuh. Bahkan tidak sedikit diantara mereka menjadi sasak hidup, menjadi martil, untuk akhirnya terkapar di bumi. Mereka membela tanah airnya dengan darah. Ya dengan darah... bahkan nyawa. Tanpa pamrih apapun, tanpa imbalan apapun. Yang mereka lakukan karena semata-mata kecintaannya pada tanah air, harga diri sebagaai seorang nasionalis yang tidak ingin dijajah.
Kini setiap memasuki bulan Agustus, apa yang kita lakukan? Mengibarkan bendera merah putih saja kita lupa, masing untung ada yang ingat walaupun dikibarkan pada H-2. Lagu-lagu perjuangan juga jarang diputar di pusat pertokoan. Jalan-jalan juga sepi kelap kelip lampu. Bandingkan jika perayaan vanlentine, perayaan menyambut tahun baru. Gebyar meriah di setiap sudut kota. Lagu-lagu romantisme mengalun syahdu di pertokoan. Jadi jangan heran, jika anak-anakpun juga mulai luntur semangat nassionalismenya.
Saya teringat, ketika pada tahun 70-an, setiap bulan Agustus sejak tanggal 1 Agustus, Aroma Agustusan sudah mengental, seluruh kampung dan rumah sudah mulai berhias merah putih, dan berlomba membuat gapura di setiap pintu masuk kampung. Anak-anak dan karang taruna mengikuti karnaval mengelilingi kampung. Mereka berpakaian adat, berpakaian pejuang, menghias sepeda mini mereka untuk diarak keliling kampung.
Sekarang, geliat 17 Agustus baru ada pas tanggal 17 Agustus itu sendiri. Itupun karena sekolah dan kantor mengadakan upacara bendera. Cinta itu kalau masih dikatakan ada cinta, hanya muncul sehari saja, saat 17 Agustus, saat upacara bendera Hari Kemerdekaan. Tidak terlihat “rasa” Agustusan di sepanjang bulan Agustus, bulan keramat bangsa Indonesia. Tengok di dada kita, apakah disana terselip lencana merah putih? Rasa Agustusan seperti bendera merah putih di setiap rumah, kantor, pertokoan, ataupun mall tidak nampak begitu kita memasuki bulan Agustus ini. Lagu-lagu perjuangan seperti Maju Tak Gentar, Garuda Pancasila, Satu Nusa Satu Bangsa, dll tidak terdengar gaungnya. Televisi maupun surat kabar pun juga tampaknya hanya mengulasnya nanti ketika tanggal 16-17-18 Agustus. Ah, ternyata kita hanya cinta sehari saja, hanya pada tanggal 17 Agustus saja.