Aku sempat protes, terhadap julukan itu. Mereka bilang aku memperlakukan mereka seperti layangan ditarik diulur, kemudian di lepas lagi... dan akhirnya layangan itu limbung. Lantas mereka menyebut korban-korbanku... ah aku kaget, se
"Lantas aku harus bagiamana...?" Kaum lelaki itukan seperti kucing yang cari-cari makanan... Disediakan makanan atau tidak disediakan mereka tetep mengeong... supaya aku tidak dicakar oleh para kucing ini, wajar jika aku-pun juga berhati-hati terhadap mereka. Ta
Jengkel juga aku disamakan dengan makanan kucing. Aku merasa tidak ada yang salah dengan diriku. Kalau toh ada yang menjadi kucing saat bertemu dengan aku, itu bukan salahku... salah mereka sendiri, toh banyak makanan lezat yang juga bisa disantap oleh mereka. Kenapa harus aku?...
Kata temanku, aku terlalu baik, terlalu memberi perhatian pada orang otang disekitarku. Hal-hal kecil yang menurutku biasa saja bisa menjadi para kucing itu merebak bulunya. Temanku memberi contoh, ketika aku berbicara dan memberi pandangan pada kucing, membalas guyonan para kucing, membantu para kucing, itu bisa membuat bulu para kucing membesar...
Tapi ketika para kucing itu mulai mengeong dengan suara lirih, aku lari ketakutan... sang kucing mengejar, dan aku lari semakin kencang, tapi ketika kucing lelah aku mulai mendekat, menjamah, setelah itu kucing itupun aku tinggal begitu saja... Julukan apa lagi yang pantas untukmu selain pembunuh berdarah dingin, serunya. Sambil menatapku tajam...
Sebentar seruku tak kalah kencang. Para kucing itu apa termasuk dirimu...?
"Ya..!" Serunya
"Kenapa kamu jadi kucing..?" dia diam, matanya melotot menatap aku tajam.
"Ada berapa kucing sebutkan.." Seruku jengkel
"si A, si B, si C, si D, si E, si F, si G... dan entah siapa lagi. Bahkan si A tidak melanjutkan kuliah gara2 kamu... si B, pergi ke Maluku dan tidak pernah kembali ke Surabaya, si C... sampai pensiun mengharap kabarmu... si D tidak kawin sampai sekarang.... dan aku, aku marah melihat kamu dikejar-kejar kucing.."
Aku diam tercekat.
"Dasar pembunuh berdara dingin..!"
"Tau tidak, kamu ini raja tega.." sambungnya.
Mataku melotot. Wajahku terasa panas.
"Kamu hanya berani di telepon, hanya berani sms... tidak bertanggung jawab..." Serunya
"Aku harus bertanggung jawab apa...?" tanyaku tak kalah serunya.
"Mereka para kucing itu sudah punya keluarga manis di rumah, apa aku harus mau dimakan mereka atau sekedar incap incip saja...?" Mataku mulai basah. Aku tidak sudi menangis di depan kucing brengsek ini.
"Kamu ini punya daya tarik terhadap para kucing" dia mulai menurunkan intonasi suaranya setelah melihat air mata mengambang di mataku.
"Kucing yang tertarik denganku adalah kucing brengsek macam kamu. Apa kamu tidak lihat, aku ini tidak punya apa-apa untuk membuat kucing tertarik..." kataku lirih.
"Aku termasuk kucing yang kau bunuh.." bisiknya dengan tajam
"Dan aku satu-satunya kucing yang berani menegurmu.."
"Lantas kenapa kamu masih mengejar aku, dan menjadi kucing brengsek...?"
"Aku punya nyawa rangkap, tidak takut kau bunuh..."