Rabu, Agustus 11, 2010

SAHUR


(dimuat di Kompasiana 11 Agustus 2010)
Ta’jil atau menu pembuka buka puasa seakan menjadi menu wajib bagi mereka yang berpuasa. Entah itu hanya sebiji kurma, segelas kolak, sepotong pisang goreng, menjadi menu andalan ketika bunyi bedug atau azan maghrib berkumandang.  Pada bulan Ramadhan inipun ta’jil banyak disediakan di masjid-masjid, di mall, di Pom Bensin sampai di balai RW. Ta’jil yang disediakan ini sangat membantu mereka yang sedang beribadah puasa,  untuk segera berbuka puasa.

Mula-mula sayapun turut menyediakan ta’jil di masjid Masyitoh, tempat adik saya mengaji di sana. Tapi adik saya mengatakan sudah banyak ta’jil yang dikirim penduduk sekitar untuk masjid itu. Lantas dia bertanya apakah saya bersedia menjadi pengirim sahur  para jamaah di sana? Sebab menurut adikku para jamaah ini terkadang hanya sahur minum air putih saja. Sayapun menyanggupi untuk menyediakan sahur bagi mereka  yang mengaji dan tadarus di sana selama Ramadhan. Tidak banyak sebetulnya hanya sekitar 10 orang saja, namun memasuki di penghujung Ramadhan atau biasanya disebut malam-malam ganjil semakin banyak jamaah yang mengaji di sana.  Karena makanan sahur ini akan diambil jamaah Masyitoh sekitar pukul 23.00, maka saya-pun memasaknya mulai sekitar pukul 20.00.

Maka sejak saat itu sampai sekarang, saya menyempatkan diri untuk menyediakan sahur mereka.  Setiap tahun yang mengambil sahur ini orangnya selalu bergantian. Jadi saya selalu menemui wajah baru. Namun satu hal yang sama, setiap kali saya menyambut mereka untuk mengambil masakan sahur, selalu berdesir hati saya, mereka selalu memakai baju gamis putih dan wajah yang demikian bersih, wajah yang menurut saya bersinar. Walaupun dahinya tidak menghitam seperti kebanyakan orang muslim lainnya, tapi wajah mereka tampak bersinar. Beda sekali dengan wajah saya yang kusam.

Kemudian terbersit keinginan, saya ingin menyediakan sahur juga bagi mereka yang tidak bisa sahur. Saya ingin siapa saja yang butuh sahur, tapi tidak punya uang untuk beli makanan, silahkan datang ke rumah. Saya ingin menyediakan di teras rumah, dekat lapangan basket yang dibuat suami saya. Kalau banyak anak-anak main basket setiap sore di rumah saya, seharusnya lapangan basket itupun juga bisa berfungsi untuk sahur gratis.

Tapi suami  tidak setuju dengan gagasan saya. Dia bilang saya akan merugikan usaha pedagang makanan, warung-warung yang berjualan, karena mereka yang seharusnya membeli, beralih ke tempat saya. Saya bilang, saya meneydiakan untuk mereka yang memang tidak bisa membeli makanan untuk sahur. Lantas dia mengatakan, bisa saja yang datang ke tempat saya adalah orang yang seharusnya bisa membeli di penjual-penjual makanan. Maka menurutnya saya termasuk orang yang merugikan pedagang.

Sungguh saya tidak ada niatan untuk merugikan orang lain, dan saya juga tidak ingin pamer. Saya hanya ingin agar para tukang becak, satpam, anak-anak kost yang orang tuanya tidak mampu bisa ikut sahur dan menjalankan puasa. Jika seandainya yang datang nati adalah mereka yang sebetulnya mampu membeli, itu di luar prediksi saya. Dan saya yakin, Tuhan tidak akan mematikan para pedagang itu. Saya selalu yakin ada faktor X, faktor keajaiban diluar prediksi dan hitung-hitungan statistik maupun rumus manusia. Saya adalah orang yang percaya bahwa ada kekuatan yang menakjubkan diluar perkiran dan prediksi. Air mata saya hampir menetes, ketika saya memutuskan tidak menyediakan sahur di lapangan basket.